Kenny masih belum tahu dia diajak kemana, hingga Barsena menuntunnya dan sampailah mereka di suatu rooftop yang tidak terlalu tinggi berpemandangan suasana perkotaan yang terlihat sangat sibuk dengan kemacetan yang ada di bawahnya, beberapa pandangan langit pun tertutup oleh beberapa gedung pencakar yang sangat jangkung, besar, dan megah itu.
Langit jingga yang hangat membuat Kenny tenggelam persis seperti sang surya yang ingin berpamitan pada Kota Jakarta, sedikit angin yang menyegarkan itu berhembus melewatinya.
“Balonnya buat apa sih?” Tanya Kenny yang kebingungan karena Barsena membawa sebuah balon berwarna biru.
“Gak buat apa-apa, pengen aja.” Jawab Barsena.
“Jadi mau mulai dari siapa?” Ucap Kenny yang tidak ingin berbasa-basi panjang itu.
“Emang kamu mau ngomong apa, Ken?”
“Yaudah deh, dari aku ya.”
“Oke.”
Sambil memandangi langit yang indah kala itu, Kenny mulai memberanikan diri untuk berbicara kepada Barsena.
“Seperti halnya perpisahan yang lumrah, aku mau ngomong tentang maaf dan terima kasih ke kamu?”
“Apa maksud kamu, Ken?” Barsena terlihat kebingungan karena ia tidak ingin berpisah dengan Kenny yang sudah dia anggap selayaknya teman.
“Biar aku selesaikan dulu, Sen.”
Barsena pun terdiam dan mencoba mendengarkan.
“Aku bakal keliling Indonesia. Kamu masih inget kan sebelum Melvin kecelakaan dia bilang kalau dia mau bawa aku ke tempat-tempat yang udah ia datengin. Aku mau nepatin janji Melvin, Sen.”
Barsena terlihat senang.
“Akhirnya kamu terlihat lebih berjiwa, gak terlalu kosong saat aku melihat ada impian yang ingin kamu raih.”
“Makanya, aku mau pamit sama kamu.”
“Petualangan kita kayaknya cukup sampai disini aja nih?” Tanya Barsena.
Kenny menghela nafas dengan sangat berat.
“Entah hanya bersambung atau benar-benar selesai, kayaknya untuk sementara petualangan kita selesai sampai disini, cerita demi cerita telah ditelaah bersama hingga habis menemui kata terakhirnya. Walaupun kita cuma berkelana dari kota ke kota, bukan kerajaan. Walaupun kita enggak lawan mahkluk-mahkluk mitologi, melainkan berjuang melawan perasaan sendiri. Dan walaupun endingnya kita harus berpisah, gak hidup bahagia bersama selamanya. Seluruh petualangan kita ini adalah dongeng terbaik yang gak bisa aku sangka bakal terjadi di kehidupan aku.”
“Sekarang kamu sudah mirip seperti ‘sang pujangga’ itu, hahaha.” Barsena mencoba mengoloknya atas kalimat yang terucap dari Kenny.
Kenny hanya tersenyum.
“Aku juga merasa sangat bersalah ketika menyatakan perasaanku yang ternyata hanya usahaku untuk memanipulasi perasaan ini saja. Aku mengerti kalau itu hanyalah tipuan sesaat, Sen. Mungkin kamu sudah sedari awal menyadarinya, tapi aku benar-benar dibuat mabuk oleh kisah yang sesaat itu. Maaf ya, selama itu pandanganku terhadapmu selalu saja berupa perbandingan dengan Melvin yang selalu terus terbayang ada di sampingmu. Aku kejam karena terus saja menganggap kalau kamu adalah penggantinya, padahal rela bukan berarti mengganti melainkan kedamaian di hati. Saat ini berkat kamu, aku dapat menemukan hal tersebut. Kedamaian hati yang sejak lama ingin aku miliki, perasaan lega yang sudah sangat lama tidak aku rasakan, walaupun agak sulit tapi aku bersyukur tuhan mempertemukan kita.”
Untaian-untaian kata dari tutur seorang wanita yang akhirnya berhasil menyembuhkan dirinya itu terdengar sangat indah di telinga Barsena. Barsena tentu sangat bangga mendengar kalau dia adalah salah satu tokoh yang berperan penting atas indahnya kehidupan Kenny saat ini.
“Kamu borong semuanya, Ken.” Gumam Barsena.
“Maksudnya?” Tanya Kenny.