KALA'KAY'

kieva aulian
Chapter #1

1. Petrikor

Jika ada mesin pelipat waktu, mesin itu pasti akan digunakan Kay untuk melipat masa kecilnya. Andai ia bisa merobek lembaran masa kecilnya, tentu ia akan mengoyak dan membuangnya ke tempat sampah. Andai ada foto masa kecilnya, ia tak kan menyimpannya dalam album. Ia pasti akan membakarnya jadi abu. Ia benci masa kecilnya. Dialah Kay, anak desa Wangun yang lahir ke muka bumi bersamaan dengan jatuhnya sehelai kalakay jati di tanah desa Wangun.

Ia memang beda, ia tak seperti kebanyakan anak kecil lain yang mencandai waktu dengan cerah ceria, Kay kecil terserimpung masa belia yang muram. Derita adalah udara baginya. Udara yang harus ia hirup meski ia tak suka. Derita adalah sejenis mahluk renta yang telah tinggal lama di dalam rumah jiwanya tanpa izin. Sementara bahagia adalah sebentuk mahluk asing yang tak pernah singgah dan tinggal di rumah jiwanya, bahkan untuk sekedar mengetuk pintu.         

Jika ada luka yang lebih menyayat dari luka paling perih, Itulah luka yang bisu. Luka yang terpojok di sudut jiwa. Luka yang membekap kata dalam senyap. Luka yang tak mampu berkata-kata tentang dirinya sendiri. Abjad hanya berputar-putar tak kunjung jelma jadi kata. Bilapun jadi kata, kata-kata itu terbang sesat dan tak kunjung mewujud jadi kalimat. Itulah luka seorang Kay. Luka yang bisu.

Kay, bocah kecil bernama lengkap Muhammad Kay Rimbawi. Orang-orang memanggilnya “Rimba”. Bocah yang lebih sering lapar. Sekalinya kenyang, ia hanya kenyang dengan pedih. Pedih yang tak pernah bisa ia puisikan. Pedih yang hanya bisa ia lukis dalam diam. Bukan ingin berahasia pada semesta, tapi ia ragu, apakah semesta mau mendengar cerita tentang lukanya? Apakah semesta perduli?.

Dialah Kay, anak jenius desa Wangun yang terpaksa tinggal di bawah pohon Johar bersama ibunya karena rumah tempat mereka biasa berlindung, telah terenggut oleh tangan-tangan rakus yang lalim. Dialah Kay, anak kecil yang sangat mengidolakan ayahnya, Kalam. Bila ada yang menanyakan cita-citanya, dengan tangkas ia akan menjawab, “Aku mau jadi seperti ayah.”

 Johar − rumah mereka − tingginya tak kurang dari dua belas meter. Entah berapa usianya, yang pasti tubuhnya kekar tapi keriput. Dedaunan yang jatuh, bertulang sirip genap. Bunganya kuning majemuk di ujung batang. Kelopak bunganya terbagi lima dengan hiasan hijau kekuningan. Pada tangkai sarinya terdapat kepala sari, coklat dan putik hijau kekuningan. Bunga... kuning-kuning berjatuhan diterpa angin gunung. Sesekali ia jatuh tepat di kepala Kay yang mengantuk. Selebihnya berserakan di tanah menjadi tikar, alas mereka tidur beratapkan langit.

Sejak enam puluh sembilan malam lalu, mereka berdua terpaksa berlindung di bawah pohon Johar yang rindang di pinggir hutan Wangun. Anis kembang tua setiap pagi berceloteh tentang derita, seolah menggenapi derita Kay. Seolah tak mau ketinggalan, di sore hari caladi ungu muda tak henti mengolok. Menemani kepedihan hati dua anak manusia yang nanar menatap hidup.

 Ainun, ibunda Kay bukan tak bersaudara. Ia masih memiliki seorang paman, Abah Wira, begitu Kay biasa memanggilnya. Tapi Ia sedang mengembara. Mencoba mencari pengalaman hidup di rerimbun perkebunan Sawit negara tetangga. Adapun ibu kandung Ainun yang tinggal di desa Campaka, tak jauh dari desa Wangun, telah lama berpulang. Ibunya tak meninggalkan apapun untuk diwariskan. Apalagi hubungan mereka tidak baik-baik saja. Dulu, ibunya tak merestui pernikahannya dengan Kalam. Entah dengan alasan apa. Semuanya tidak jelas, buram. Karena itulah Ainun terpaksa memilih tinggal di bawah pohon Johar bersama anak tercintanya, Kay. Sementara, ayah Kay, Kalam, berkeliaran di seputar kampung dan hutan. Meneriakan kata-kata tak jelas. Tak ada yang perduli. Pun matahari dan rembulan.

Hari itu, langit janggal. Matahari menari dengan terik. Awan tak tampak di sela langit karena angin malas bergerak. Awan duduk-duduk di pojokan utara langit sambil bercanda dengan sesamanya. Langit benderang. Gahang, menjilati tubuh kehidupan yang ringkih bersembunyi di balik lindungan. Alas bumi mendidih, menggeliat didera demagog panas yang angkuh. Namun tanpa prolog, air Tuhan tiba-tiba datang begitu saja. Ia hadir tanpa basa-basi. Dan petrikorpun segera menyeruak. Merayapi setiap jengkal tanah hutan dan desa Wangun. Mengaliri setiap rongga paru-paru penghuni desa dengan anggun.

Siapa yang tak suka Petrikor? Bau khas tanah panas yang tersiram air hujan. Dulu, orang-orang suka sekali menghidung wangi petrikor, saat dimana jumlah tanah lebih banyak dari jumlah aspal. Sekarang, disaat jumlah aspal mengalahkan tanah, orang-orang, jangankan suka, kenalpun tidak.

 Air Tuhan tumpah, seketika lengan bumi kuyup. Matahari menyingkir takut kebasahan. Langit ditelan gulita. Angin bersiul kencang, gaduh dalam hening. Aroma hujan begitu tajam menggeliat liar di dada Kay yang sesak. Bau alami tanah kering yang disiram air Tuhan, jadi oksigen ternikmat paru-paru Kay. Petrikor yang senandungkan luka paling diam. Senandung perihal perih, elegi dan kesabaran. Lalu air Tuhan yang deras itu melubangi kaki bumi. Tanah mengkahaf menapakan luka. Menggenapi luka di hati dua anak manusia yang merindu lindungan.

Sang hujan melipat waktu hingga tepian ashar. Selepas adzan, kafilah rerintik menandai ujung nyawa sang hujan yang letih menangis. 

 Kay kecil rebah di pangkuan ibunya. Jemari lembut itu tak henti dengan belai hangatnya. Minim kata sarat makna. Tangan ibu mengalirkan cinta. Cinta yang merambatkan kasih ke segenap lakuna Kay yang menangis. Sesekali bulir air mata ibu menetesi rambut Kay. Bulir yang mengiris bilur kehidupan Kay yang mensejarahkan pilu.

 “Kay... kamu harus kuat!”

 “Tapi bapak?”

 “Ayahmu lelaki hebat nak, ia hanya sedang berusaha mengumpulkan tenaga batinnya.”

 “Oh...” jawab Kay tak mengerti.

 “Ayah kamu itu seorang pejuang!” Kay terdiam

 “Ayah kamu itu seorang pahlawan!” Kay masih dalam diam hingga tanyanya meluncur deras.

 “Tapi...kenapa ayah tidak disini Bu?”

 Hela nafas panjang ibu begitu berat. Beban elusif yang berkelindan dengan ketakberdayaan diri nampak jelas mengeriputkan kulit mudanya. Kelamnya hidup telah meredupkan mata yang tadinya begitu binar.

 “Bapakmu sedang butuh menyendiri, ia sedang menata hati nak. Ia sedang mengumpulkan kekuatan.”

 “Tapi Bu...”

 “Nak...beri ayahmu waktu. Biarkan ia dengan kesendiriannya. Percayalah Nak...ayahmu tak kan pernah menyerah. Ayahmu akan selalu melindungi kita dengan segenap kekuatannya. Percayalah Nak!”

Sesaat kemudian, bersamaan dengan datangnya kilat yang menyambar, sesosok tubuh kurus kuyup lewat begitu saja dihadapan mereka. Sosok yang kosong, hampa tanpa rasa, tanpa jiwa. Sosok yang tak perduli keberadaan Kay dan ibunya yang menatapnya pilu dari bawah Johar.

Lihat selengkapnya