Bandung berubah. Kota ini terus bersolek. Berias dengan lampu-lampu kota yang membuatnya tak lagi temaram di malam buta. Berdandan dengan taman-taman beragam yang membuatnya lebih berwarna. Memoles diri dengan jalan-jalan layang yang membuatnya lebih megah. Meski begitu, kota ini tak pernah bisa menyembunyikan kerentaannya. Namun bukan renta yang ringkih, tapi renta yang menghadirkan keindahan tak terbeli. Renta yang menyimpan berjuta nostalgi. Renta yang menebarkan jejak-jejak kenangan hingga ke masa bayi.
Keriput kota ini menyimpan berjilid-jilid cerita dan cinta. Cerita yang dengan bangga akan ditulis dalam memoar para penghuninya. Warna warni kembang yang mekar di seantero kota, menandakan para penguninya rindu keindahan dan kenangan. Ciri bahwa para penghuninya tak ingin julukan yang diberikan dunia, lepas dari genggaman. Julukan kota kembang, tampaknya masih akan dan terus dijaga entah sampai kapan.
Bandung, kota yang bertambah cantik namun nyaris kehilangan sejuk. Penduduk yang makin menyesak membuat paru-paru kota mengkerut dan mengempis. Alam kehabisan khasanah oksigen untuk mengisi paru-paru penduduk kota yang rakus menghirup tanpa henti. Bandung, bertambah cantik namun bertambah ruwet. Tak ada lagi jalanan lengang, kemacetan telah mengepung hampir semua sisi kota dengan garang. Bunyi klakson adalah cerita pengantar tidur yang kini galib didengar anak-anak kota menutup malam.
Begitulah, sebagaimana kota metropolis lainnya, kota ini menyimpan sisi-sisi kelam. Sisi dimana logika-logika sosial , bahkan terkadang logika agama tak mampu menerjemahkan apatah lagi menafsirkan peristiwa demi peristiwa yang terjadi didalamnya. Sisi kelam masyarakat metropolis memang memiliki desahnya sendiri. Memiliki resahnya sendiri. Desah dan resah yang tak mampu diukur dan dijabarkan oleh teori-teori hidup dan kehidupan. Betapapun jutaan buku telah ditulis untuk menelanjangi lekuk tubuh kehidupan kelamnya, ia tetap tak terjamah utuh. Ia punya dunianya sendiri. Dunia yang mungkin hanya dimengerti Tuhan dan tidak oleh yang lainnya. Sisi kelam kota metropolitan adalah rahasia Tuhan di muka bumi.
Di sisi itulah Kay dan pamannya Asta hidup. Di kamar kontrakan 5 x 6 m, Kay bersama pamannya saling berbagi. Berbagi ruang, waktu, gelisah dan harapan. Tak ada apa-apa di kamar itu, hanya selembar tikar lusuh , setumpuk sajadah dan sarung, dan rak piring kecil serta gantungan baju yang terpaku di balik pintu masuk. Untuk urusan mandi dan derivasinya, WC umum rumah kontrakan setia menunggu para penghuni mengantri setiap pagi, sore dan malam.
Kontrakan itu terdiri dari sembilan kamar dengan ukuran dan bentuk kurang lebih sama. Bu Esih, juragan kontrakan yang ramah namun tegas. Dialah yang tak henti mengingatkan para penghuni kontrakan untuk mematikan lampu bila tak dipakai. Ia juga yang selalu berteriak bila ada penghuni kontrakan yang lupa memasukan motor atau sepeda di malam hari. Dialah yang sedari awal sudah mewanti-wanti untuk tidak membawa barang haram, atau wanita atau pria haram ke dalam kamar. Bila ada yang melanggar, Bu Esih tak segan untuk mengusirnya tanpa ampun.
Rumah kontrakan berkamar sembilan itu dikelilingi pagar besi tua berwarna merah. Warna merahnya mulai terkikis dan terusir oleh coklat kuning berkarat. Meski sempit, mereka hidup layaknya di dalam istana. Mereka hidup dengan rukun dan damai. Rasa senasib sebagai orang kampung yang berkelana ke kota, jauh dari keluarga, tak punya siapa-siapa di kota, barangkali itulah yang menjadi alasan mereka hidup guyub.
Kay, menjajakan koran setiap harinya. Lampu merah perempatan Suniaraja adalah tempat mangkalnya. Sementara mang Asta dengan seragam ojolnya dari pagi hingga malam terus berkelana di seputaran kota Bandung. Ia hanya sesekali rehat untuk shalat dan makan. Mereka berdua sadar bahwa jerih payah mereka jauh dari kata layak untuk hidup cukup dengan standar perkotaan. Tapi mereka menikmati saja episode hidup mereka. Selama ada mang Asta, Kay tak pernah mengeluh kecapaian. Selama ada Kay, mang Asta selalu bersemangat mencari penumpang. Asta tak pernah melupakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Satu hal yang tak pernah ia lupa bawa kemanapun dia pergi adalah seuntai tasbih batu hitam dengan ukiran hurup A putih di salah satu batunya.
. Begitulah, Kay dan mang Asta saling bahu membahu dalam kesederhanaan yang tulus. Asta, paman yang amat sayang pada Kay. Paman yang selalu berharap untuk dapat menyekolahkan kembali Kay, keponakan tunggalnya.
“Kay, kamu itu anak jenius Kay...jadi kamu harus sekolah!” sembari mengucek-ngucek rambut Kay yang kusut.
“Iya mang, tapi kan Kay ga punya uang buat sekolah.”
Hmm...sekolah? Sebentuk mahluk nyata yang dulu pernah ia jamah. Mahluk yang kini hanya impian belaka baginya. Untuk Kay sekarang, sekolah adalah kata termewah. Jauh di lubuk hati Kay, sekolah adalah fantasi termegah.
Betapapun ia sangat ingin kembali ke sekolah, ia rela melepas impian itu. Ia adalah anak yang mengerti dan faham rahasia kehidupan. Ia faham bahwa tak semua keinginan harus ia dapatkan. Tak semua hasrat harus jelma jadi kenyataan. Di usianya yang masih sangat belia, ia faham bahwa dibalik lepasnya sebuah impian, terbuka banyak kesempatan lain yang mungkin lebih indah. Dibalik pintu sekolah yang tertutup, ia memilih melihat pintu-pintu lain yang dibukakan semesta untuknya.
Tak bersekolah bukan berarti kehilangan segalanya. Tak sekolah bukan berarti ia berhenti belajar. Justru sebaliknya, ia adalah pembelajar rahasia yang luar biasa. Kemampuannya melebihi kemampuan anak-anak seusianya, bahkan melampaui kemampuan orang dewasa sekalipun. Kemampuan menghafalnya nyaris tak tertandingi. Hanya dengan membaca satu kali ia bisa menghafal hampir seratus persen kata yang dibacanya. Kemampuan berhitungnya luar biasa. Ia sudah buktikan itu sewaktu bersekolah di SD Wangun dulu. Guru matematikanya pak Ridwan, pernah mengujinya dengan memberikan soal hitungan rumit tentang perkalian, penjumlahan, pembagian dan pengurangan. Dalam waktu yang singkat, Kay mampu menjawab soal matematika itu dengan tepat, sementara Pak Ridwan masih asyik dengan kalkulatornya.
Kay tetap bersekolah. Ia bersekolah di taman kota Bandung yang asri. Saat ia menunggu lampu memerah, ia manfaatkan waktu untuk membaca. Buku bacaannya adalah koran yang ia jual. Sebelum dijual beritanya, ia baca dulu dan berhasil diserapnya. Ia selalu berslogan “Baca dulu baru jual!”
Tak hanya itu, selepas berjualan koran, ia mampir ke warnetnya Koh Hasan. Koh Hasan selalu memberikan jatah khusus untuk Kay berlayar di dunia maya, tentu selama ada meja yang kosong. Koh Hasan memberikan jatah khusus pada Kay karena kagum akan kejeniusan Kay. Ia ingin membantu Kay meraih cita-citanya, tidak dengan uang, tapi dengan memberinya kesempatan berlayar gratis di warnetnya.
“Ha...ha...kamu tenang aja Kay, mamang bakalan nabung, uangnya nanti buat kamu sekolah,” tutur mang Asta polos.
“Wah...Kay jadi ga enak mang.”
“Ga enak kenapa Kay?”
“Ya ga enaklah, masa mamang yang cape-cape ngojek uangnya buat Kay sekolah.”
“Ya ga pa pa atuh Kay, ini sudah kewajiban mamang. Lagian mamang tuh percaya kalau kamu sekolah kamu bakal jadi orang sukses. Inget Kay kamu itu jenius.”
“Emang jenius itu apa mang?” goda Kay. Ia sudah mulai akrab dengan pamannya, saudara sepupu Kalam, ayahnya. Asta yang baik tapi polos itu memang tulus mengasihi Kay.
“Hah...jenius itu apa ya?” ujar mang Asta kembali dengan kepolosannya.
Dalam hati, Kay bergumam. “Mang... jenius itu istilah untuk menyebut seseorang dengan kapasitas kecerdasan di atas rata-rata di bidang intelektual, terutama yang ditunjukkan dalam hasil kerja yang kreatif dan orisinal. Seseorang yang jenius selalu menunjukan individualitas dan imajinasi yang kuat, tidak hanya cerdas, tetapi juga unik dan inovatif” itulah definisi jenius yang dihafal Kay di luar kepala, hasil sekali membacanya dari wikipedia di warnetnya Koh Hasan.
“Yah...pokoknya yang jenius itu yang pinter banget lah Kay. Tapi inget Kay jangan pernah sombong!” bijak mang Asta menasihati ponakan satu-satunya itu.
“Emang kenapa mang?” tanya Kay penasaran. Selama ini ia merasa wajar-wajar saja bertinggi hati karena memang pada kenyataannya dia lebih pintar dari rata-rata orang disekitarnya.
“Gini Kay. sombong itu akan membuat kamu celaka. Mau sepinter apapun kalau kamu sombong, kamu pasti celaka.”
“Maksud mamang?”
“Kay, sombong itu perilakunya setan dan siapapun yang ikut dengan setan maka ia pasti celaka.”
“Oh...gitu mang.”
“Iya, makanya jangan pernah sombong Kay. Kamu harus tetap rendah hati, karena dengan rendah hati kamu akan selamat.”
“Wah ini maksudnya gimana mang?”
“Gini Kay, rendah hati itu cirinya para nabi, nah siapapun yang mengikuti nabi maka dia pasti selamat.”
“Oh...gitu ya mang...iya deh Kay ga kan pernah sombong.”
“Nah...bagus itu Kay, lagian sebenarnya apa sih yang mau kita sombongin. Semuanya juga cuma titipan Allah. Kita mah sebenarnya ga punya apa-apa Kay.”
“Iya mang”