KALA'KAY'

kieva aulian
Chapter #3

3. Mayat di kolong fly over

Urusan perut adalah urusan paling berbahaya. Ia sumber malapetaka. Urusan perut adalah urusan terpanjang di dunia. Ia selalu jadi bagian penting dalam sejarah manusia dan kemanusiaan. Bahkan urusan perang, sejatinya adalah urusan perut, hanya saja ia dibungkus dengan jargon-jargon mentereng; agama, politik, ideologi, kebebasan, keadilan, kebangsaan dan aneka jargon hebat lainnya.

Urusan perut, meski bukan segalanya, adalah urusan yang menempati urutan pertama dari sekian panjang daftar urusan manusia. Ia adalah sumbu pendek dinamit yang sensitif. Ia akan segera meledak dan melukai sejarah bila manusia abai. Bila manusia yang satu kekenyangan sementara manusia lain di sebelahnya kelaparan.

Urusan perut adalah urusan peradaban. Peradaban akan ajeg bila perut-perut terisi merata. Peradaban akan luluh lantak bila si kenyang berkuasa atas si lapar.

Omong kosong tentang cinta, bila benihnya ditaburkan diatas perut kosong yang meronta. Omong kosong tentang agama bila diterbarkan diatas perut-perut kosong yang menggonggong. Omong kosong tentang syair indah bila diperdengarkan atas perut-perut kosong yang ditandu. Pun sebaliknya, omong kosong tentang cinta, bila lahir dari perut yang tidur kenyang. Omong kosong tentang kesucian agama bila ia lahir dari perut yang begah. Omong kosong tentang syair indah, bila ia lahir dari perut yang jenuh.

Urusan perut adalah urusan semua mahluk hidup, tak hanya manusia, hewan, pohon, alien, bahkan hantupun berhadapan dengan urusan yang satu ini. Di lingkaran manusia ia pun jadi urusan yang merata, tak hanya presiden, raja, ketua parpol, kyai, Gus, menteri, guru, tukang beca, tukang urut hingga anak jalanan tak henti berususan dengan perut.

Sementara presiden rapat paripurna dengan para menteri , dalam waktu yang bersamaan, anak-anak jalanan juga sedang terlibat rapat akbar di kolong fly over. Tak jauh beda, masalah yang dibahas adalah masalah perut.

Samsul si gembul adalah inisiator rapat akbar itu. Ia mempertanyakan rutinitas makan malam mereka yang tak pernah beranjak dari uduk atau nasi goreng.

“Hei kalian...kenapa sih kita makan malem pasti sama uduk atau paling nasi goreng. Udah gitu nasi goreng dibagi empat, mana kenyang lah.”

“Ah...bacot luh...udah makan paling banyak juga” sergap Awan.

“Bukan gitu Wan...aku cuma mikir apa kita semua ini ga bosen, makan itu-itu mulu. Sesekali ganti kek sama yang lain.”

“Misal?”

“Yaa...bakso kek, mbak mie kek, mie tek tek kek, sate kek. Apa ajalah pokoknya bukan uduk atau nasi goreng.” Kay yang sedari tadi asyik dengan sisa uduknya akhirnya ikut nimbrung.

“Bener juga sih, sesekali kita perlu variasi, agar hidup tak monoton. Agar perut tak ansos.”

“Apaan tuh ansos?” tanya Awan.

“Anti sosial bos” jawab Kay.

“Tuh kan...bener kataku juga.” Samsul kegirangan mendapat dukungan.

“Kita perlu memperluas pergaulan perut kita kawan”, ajak Kay penuh semangat.

“Maksud kakak?” tanya Lasna.

“Ya...perut kita itu kurang piknik Na. Kalaupun piknik, pikniknya kurang jauh.”

“Aduh mulai deh...” Awan mulai mengeluhkan kata-kata Kay yang sulit dicernanya.

“Ih...bener loh, aku serius perut kita itu perlu diperkenalkan dengan makanan lain biar ga minder.”

“Minder?”

“Iya minder. Nih...ya kalian harus tahu, kalo perut kita minder, hidup kita bakal susah. Dikasih pizza mules, Dikasih ramen mencret-mencret. Dikasih burger diare. Ah pokoknya memalukan lah” sungut Kay bersemangat.

“Oh gitu yah...” ketiganya hampir bersamaan.

“Iyah...ok kalau gitu mulai besok menu makan malam kita rubah. Yang besok kebagian beli makan malam sapa?” tanya Kay.

“Aku sama si gembul” jawab Awan.

“Nah...besok malem jangan beli uduk, tapi kamu berdua mampir di toko pizza pinggir warnetnya Koh Hasan.”

“Oh...ok kalo begitu besok kita beli pizza Wan” seru Samsul.

“Tapi...tunggu-tunggu...” sergah Awan.

“Tunggu apa sih kamu Wan, tinggal beli aja kok pake tunggu-tunggu segala, ribet kamu Wan.” amuk Samsul.

“Iyah tinggal beli, tapi duitnya dari mana Sul...emang kita punya duit.” balas Awan sengit.

“Oh iya ya...Kay...gimana Kay...emang bisa beli Pizza dua puluh rebu buat kita berempat.”tanya Samsul polos.

“Dasar bloon, ya ga bisa lah, norak loh!” teriak Awan.

“Ih...siapa bilang nggak bisa, bisa kali...” ujar Kay.

“Emang bisa Kay, gimana caranya?” tanya Awan.

“Bisa, gini nih caranya aku kasih tahu. Aku kasih tahu trik rahasianya ya. Aku nggak akan kasih tahu sama yang lain, ini cuma buat kalian aja. Ini trik rahasia yang dijamin ampuh.”

“Halah...kelamaan Kay ayo kasih tahu” sergap Awan dan Samsul bersamaan.

“Ok...ok...sabar bung...sabar. Gini caranya. Uang dua puluh ribu masukin saku. Terus satu jam sebelum kalian ke toko pizza, kalian tidur dulu. Ini syarat mutlak loh ga boleh dilanggar, tolong kamu camkan itu!”

“Oh...ok..ok...terus?” tanya Samsul penasaran.

“Terus kalian tidur deh yang nyenyak, inget harus nyenyak loh, kalo ga nyenyak trik ini ga akan berhasil. Tolong kamu camkan itu!”

“Oh...ok...ok...terus” kini giliran Awan yang penasaran.

“Tahap selanjutnya, ketika adzan subuh berkumandang kalian cepet-cepet bangun, terus wudhu, terus shalat, udah beres.”

“Hah...terus beli pizza buat makan malemnya gimana Kay” semprot Awan.

“ Ya kamu tinggal beli pas kamu tidur itu lah Wan, gitu aja repot.”

“Hah...aku kok ga ngerti yah?” ujar Samsul sambil garuk-garuk kepala.

“Jadi belinya pas kita tidur Kay? tanya Awan.

“Iya...pas tidur”

“Itumah mimpi atuh Kay...kasebeleun siah suganteh bener” (Sialan, kirain beneran)

Kay terbahak sampai jumpalitan. Sementara Samsul masih dengan ritual garuk rambutnya.

“Bentar-bentar aku kok belum ngerti yah. Apa bisa kita beli pizza sambil tidur?”

Kay, Awan dan Lasna yang sedari tadi diam menyimak tak kuasa membendung tawa. Tawa yang memecah langit jadi serpihan-serpihan lucu. Mereka tergelak sementara Samsul masih dengan ritual garuk rambutnya.

*****


Malam hening. Sunyi desirkan sepi. Rembulan recah pasi. Mega kelam sesekali hinggap di punggung bulan, membiaskan hitam keemasan. Angin sedang bergairah untuk bernyanyi. Nyanyiannya mengiringi dedaun jambu menari. Tiga empat awan putih sesekali ikut tampil di layar biru langit Bandung yang sendu. Dibawah sana, di trotoar jalan, satu dua orang masih berlalu lalang. Mereka berjaket tebal tanda dingin menggerayangi tubuh. Sesekali motor berknalpot racing melintas. Bisingnya merusak gendang telinga dunia. Lamat-lamat sumpah serapah sesekali terdengar dari balik jendela.

Lihat selengkapnya