Pagi yang remang. Bila biasanya bias kuning terang, pagi itu matahari biaskan putih. Gerimis sisa hujan tadi malam, masih saja menemani manusia kota melewati pagi. Ada gerutu disana karena hujan tak sudi berkompromi. Namun disana, ada juga senyum penuh harap akan hadirnya pelangi. Bahkan ada pula kumandang terimakasih pertanda gerimis pagi dianggap suatu nikmat yang harus disyukuri. Begitulah manusia, beragam rasa, beragam cara menari bersama sang waktu.
Gerimis pagi, Kay mengambil keputusan untuk berpindah markas. Pagi itu mereka jadi anak-anak hujan. Menerobos kota yang basah. Menyelusuri gang-gang kota yang sesak. Rerintik yang sesekali diselingi petir menyambar, tak mereka perdulikan. Empat tubuh kecil itu berjalan dalam remang. Bagai para muhajirin menembus padang gersang. Dengan semangat berkobar mereka berjalan menembus dinginnya pagi. Kobar yang mampu menghangatkan tubuh mereka dari dingin pagi yang menggigit.
Mereka berjalan menginjaki kabut yang merayapi jalan kota Bandung yang hitam basah. Tekad mereka begitu kuat, apapun yang terjadi, mereka hraus menemukan markas baru. Mereka tidak ingin keberadaan markas mereka diketahui polisi. Mereka pun tak ingin markas mereka berdekatan dengan peristiwa kejahatan. Mereka ingin bermarkas ketenangan.
Setelah hampir lima jam berputar mencari , akhirnya, sebuah bangunan kosong sempit di lorong sunyi dekat stasion kereta mereka temukan. Mereka sadar bahwa sesekali bahkan seringkali, kereta lewat dan itu berarti telinga mereka akan pekak, tapi itu bukan masalah buat mereka.
“Kay...disini Kay...enak banget nih disini!” seru Awan bersemangat. Anak ini memang super ceria. Dialah sang penghibur. Tawa candanya begitu segar menghangatkan jiwa-jiwa yang kosong.
“Ih...ini kan rumah kosong...aku takut ah!” seru Lasna seraya mundur dua langkah.
“Ah...Lasna, kamu ini penakut banget sih. Udah disini aja Kay” ujar Awan mencoba meyakinkan.
“Emang kamu takut apa Lasna?” tanya Samsul, anak jalanan bertubuh gempal yang sangat tinggi empatinya, terutama pada Lasna.
“Aku takut ...eh...hantu.” pekik Lasna.
“Oh...jangan takut, ga ada itu hantu. Kamu tenang aja kita akan selalu melindungi kamu” bujuk Samsul. Tiba-tiba wajah Kay dengan mata melotot, mendekat menyeringai dari arah belakang dan berhenti tepat di muka Samsul sambil mengeluarkan suara paling menyeramkan, “Heeeeiiiii....”
“Haaahh....hantu!” jerit Samsul terloncat jatuh.
“Ha..ha..ha...si pemburu hantu kok takut sama hantu” ledek Awan.
“Ha...ha...ha...” ledak tawa mereka buncah tak tertahan, pun Samsul yang masih digerayangi hantu Kay yang kembali menyeringai. Lasna terpingkal, ekspresinya adalah ekspresi terlucu yang bisa diciptakan manusia. Sungguh pemandangan yang mengharu biru melihat gadis pendiam itu tertawa.
“Eh udah-udah ah...aku pikir ini tempat yang tepat untuk kita. Ga pa pa kan Lasna?” ujar Kay seraya melirik Lasna yang masih ketakutan bercampur geli.
“ Iya Lasna, lagian ga ada hantu kok” hibur Samsul yang tak kapok berlaga.
“Iy...iya deh” Lasna akhirnya menyerah.
Maka tanpa diperintahkan Kay sebagai pemimpin mereka, empat tubuh kecil itu bergegas membersihkan dan merapihkan rumah kosong itu. Bukan rumah kosong, lebih tepatnya kamar kosong, mungkin dulunya bekas gudang kecil. Ukurannya tak lebih dari 5 x 4 meter, percis ukuran kamar kontrakan Kay dulu.
Setelah acara bersih-bersih tuntas keempat anak manusia tanpa kasih sayang itu berdiri tegap di luar ruangan. Wajah mereka berseri tanda suka cita yang membuncah. Gaya mereka percis The fantastic four versi melayu. Kay sebagai Dr. Reed, Mister Fantastic si manusia elastis, Lasna sebagai Susan, Invisible Woman, si wanita ghaib. Awan sebagai Johnny Storm si manusia api dan Samsul sebagai Ben Grimmpercis si manusia batu. Senyum mereka lebar layaknya para pahlawan marvel. Kegembiraan hari itu mereka tutup dengan “Salad Lunch”, makan gorengan bala-bala yang Awan beli dari gerobak gorengan di dekat stasion.
Sepuluh keping bala-bala. Kay mengambil satu, Awan tiga, Lasna dua dan empat Samsul. Mungkin disesuaikan dengan daya tampung masing-masing. Ungkap syukur tak hentinya mengaliri jiwa mereka atas apa yang mereka terima hari itu.
*****
Itulah rumah baru mereka, bangunan tua bekas gudang kecil. Bangunan tanpa jendela. Bangunan tua yang ditinggal pemiliknya entah kenapa. Dari baunya, kemungkinan bangunan itu bekas gudang rokok atau tembakau. Baunya sangat menyengat. Untuk menghilangkannya mereka sering-sering membuka pintunya berlama-lama. Berharap angin datang menjemput bau tembakau itu dan membawanya pergi entah kemana.
Tampak luar dari bangunan ini kemungkinan dulunya bercat putih. Namun sekarang putih itu sebagaian besar telah tertutup hitam. Meski tua, bangunan itu memiliki atap yang kokoh. Tak satupun titik bocor. Meski hujan lebat, mereka selalu merasa nyaman tiduran di dalamnya.
Di rumah baru inilah banyak cerita terlahir. Drama kehidupan mereka sebagai sebuah keluarga baru tercipta dan mensejarah di rumah ini. Seperti di suatu malam ditemani sebuah lentera bekas yang masih menyala, mereka membuat kehebohan.
Awan bocah paling tengil tiba-tiba menggemparkan seisi markas dengan ide gilanya. Ia ingin mengadakan drama sebagai bentuk perayaan atas keberhasilan mereka mendapatkan markas baru. Semacam opening ceremony mungkin. Setelah berdebat panjang lebar, akhirnya mereka bertiga menyerah dan bersedia memainkan drama yang perannya telah ditentukan Awan.
Mereka memainkan lakon Prabu Siliwangi. Drama yang mereka mainkan selepas menonton sinetron Raden Kian Santang di halaman seberang warung mang Koko. Awan, tentu saja sesuai cita-citanya yang ingin menjadi seorang raja, berperan sebagai Prabu Siliwangi, Kay kebagian peran Raden Walasungsang, Samsul jadi Ki Selut, punggawa kerajaan dan Lasna kebagian peran Nyimas Rara Santang.
Awan sang Prabu Siliwangi benar-benar menikmati dan menghayati perannya. Obsesinya untuk menjadi seorang raja mendapat media yang tepat untuk berkembang biak. Dengan langkah arogannya dia mondar mandir sambil memberi perintah pada para punggawa. Sementara ke tiga pemeran lain lebih banyak diam memperhatikan sang prabu bertitah. Terkadang sang prabu berjalan mundur dengan tangan di dagu , mungkin untuk menjaga wibawanya. Saking mendalami perannya, saat ia berjalan mundur, tanpa disadari kaki sang prabu menginjak sebuah baskom “Brak!!”
Sang prabu terjungkal karena kaget, sang baskom terpelanting dan jatuh tertelungkup tepat diatas kepala sang prabu. Baskom itu naik derajat jadi mahkota raja. Tawa merekapun pecah berkepanjangan Rupanya Kay yang jail, menyimpan sebuah baskom tak jauh dari tempat sang prabu mondar mandir... Sejak itulah gelar Prabu Baskom resmi disematkan di dada Awan.
*****
Suatu malam yang lain, Samsul mengendap-endap. Ia tak mau kehadirannya diketahui tiga sahabatnya. Di saku celananya menyembul sebuah benda terbungkus plastik kresek. Sementara di tangan kanannya, empat bungkus nasi kuning terbungkus kantung plastik putih. Di dengarnya Kay sedang bercakap dengan Awan dan Lasna di dalam. Ia pun semakin membungkukan tubuhnya.
Diluar markas, ia duduk menyudut dalam gelap. Ia berharap tak ada yang tahu apa yang akan dilakukannya. Perlahan ia keluarkan benda yang sedari tadi menyembul dari saku kantung celananya. Lem...benda yang penasaran ingin dicobanya. Benda yang disembunyikan dari tiga sahabatnya itu. Benda yang ditakuti akan diketahui oleh tiga sahabatnya. Perlahan ia buka tutup lem berbentuk bulat terbuat dari kaleng itu. Aroma menyengat segera saja menyeruak, menusuk hidungnya yang mengendus-endus seperti anjing. Seperti yang diajarkan Toni kemarin, ia pun mendekatkan hidungnya ke arah lem kuning lengket itu.
Belum juga ia menghirup racun itu, seketika “Blak...!!! Sebuah batu seukuran kepalan bayi tepat mengenai kaleng lem yang akan dihirupnya. Kaleng lem itupun terlempar jauh, menggelinding dan jatuh di selokan hitam. Dengan mata terbelalak ia mencoba mencari dari mana datangnya batu itu. Dilihatnya Kay, Awan dan Lasna tak jauh dari posisinya duduk. Lunglai sudah Samsul dibuatnya. Ia hanya mampu menunduk. Ia ingat betul aturan yang disepakati mereka bersama. Aturan untuk tidak mencuri, mencopet, mengutil, mengemis, merokok, dan menghisap lem. Ia tidak pernah lupa aturan bersama itu, tapi ia penasaran. Rasa penasaran yang membuatnya rela menabrak aturan bersama itu. Rasa penasaran yang timbul karena pengaruh Toni dan kawan-kawannya.
Samsul duduk membatu. Kepalanya menunduk tajam. Bagaimanapun ia sangat takut pada Kay. Dimatanya, Kay adalah anak pemberani yang tak kenal takut. Kay adalah anak yang teguh memegang prinsip. Ia sangat baik sekaligus sangat tegas. Kay adalah sosok humoris yang galak.
“Jadi ini yang bikin kamu telat beli nasi Sul?” selidik Kay memulai pembicaraan. Samsul hanya terdiam. Ia tidak berani menjawab. Ia tahu bukan itu sebenarnya yang dimaksud Kay. Kay tidak sedang membicarakan nasi yang telat dibelinya. Kay hanya sedang membuka jalan.
“Sul...denger ya...kamu mau ngapain aja silahkan...aku ga punya hak ngelarang kamu....kamu manusia bebas Sul!” hentak Kay memecah sunyi.
“Sul...kamu mau ngerokok kek...mau ngelem kek...itu urusan kamu, bukan urusan aku, bukan urusan Awan, bukan urusan Lasna. Itu urusan kamu sendiri Sul...” Lagi Samsul hanya mematung didera ketakutan.
“Sul...kita ini kakak adik bukan, sepupu bukan...Aku ga ada urusan sama kamu Sul...terserah kamu Sul...tapi tolong jangan disini. Ini rumah kita bersama. Kita sudah sepakat Sul...ga ada yang gitu-gitu di rumah ini.” Samsul makin terpojok. Awan dan Lasna ikut membatu.
“Sul...kita bukan saudara, tapi....” belum tuntas Kay berkata-kata, tiba-tiba Samsul dengan tubuh gempalnya bangkit dari duduknya...tangannya secepat kilat merangkul kaki Kay yang terkejut .
“Kay...kita ini saudara Kay...saudara...” Kay yang terkejut dengan sikap Samsul, untuk sesaat hanya bisa terdiam. Awan dan Lasna memandangi peristiwa itu dengan pilu bercampur haru.
“Kay...kamu memang bukan kakakku...kamu bukan sepupuku...tapi aku saudaramu kan Kay?...Kay...Kay...” erangnya bercampur tangis. Ia semakin erat memeluk kaki Kay. Kay yang baru kembali pada kesadarannya mulai menguasai keadaan.
“Kay...Kay...kita saudara kan Kay?” kembali Samsul meraung.
Ada rasa haru yang tetiba merasuk dalam jiwa Kay. Namun ada pula rasa lucu yang seketika ikut muncul. Entahlah ia merasa tingkah Samsul itu begitu lucu, lucu yang mengharu biru.
Dengan seulas senyum, Kay mengangkat bahu Samsul. Samsul yang masih saja meraung mengikuti saja kemauan Kay. Muka merekapun berhadap-hadapan. Samsul pasrah dengan apa yang akan dilakukan Kay. Ia tak hendak berdalih. Ia mengaku salah. Ia siap menerima resiko apapun asal tetap diakui saudara oleh Kay, Lasna dan Awan. Wajah mereka berhadapan, namun Samsul tetaplah menunduk.
Seketika Kay memeluk erat Samsul. “Sul...kamu bukan saudaraku ..kamu keluargaku Sul” dan meledaklah tangis haru Samsul. Keduanya berpelukan erat seperti tak ingin lepas dan terpisahkan lagi. Awan dan Lasna tak mau ketinggalan, mereka bergabung dalam pelukan keluarga itu. Lasna tak hentinya terisak. Gadis kecil yang terbuang dari keluarga yang terbuang. Gadis kecil itu kini hanya punya tiga kakak, Samsul, Awan dan Kay. Ia tak mau kehilangan lagi. Tak hanya Lasna, Samsul, Awan dan tentu saja Kay, mereka tak mau kehilangan lagi. Tanpa kata, jiwa-jiwa mereka mengikatkan diri untuk tak lepas sampai kapanpun. Mereka adalah keluarga yang tak akan pernah terpisahkan. Tak kan ada kata kehilangan bagi mereka. Begitulah empat anak manusia malam itu berikrar setia.
Rembulan mengulaskan senyum di ketinggian. Awan hitam tak mau menghalangi pandangan bulan, mereka menyingkir rapi di tepian langit. Bintang-bintang kedap kedip haru. Teteskan air mata kelu menatapi anak-anak manusia yang berikrar setia. Anak-anak zaman yang mengikatkan jiwa raga mereka dalam sebuah ikatan bernama keluarga. Bintang-bintang itu tak mau ketinggalan. Merekapun berikrar dan mengikatkan diri dalam suatu ikatan keluarga yang mereka namai rasi bintang. Mereka menyusun diri membentuk rasi-rasi kecil yang bahagia.