Tiga puluh lima hari sudah mereka menempati markas baru. Pagi itu Kay dan Lasna kembali berjualan koran setelah libur dua hari. Pagi itu terik, matahari mungkin menuntut hujan untuk berhenti dan memberinya waktu untuk mempertontonkan keelokannya pada dunia.
Lima helai koran telah terjual Kay. Sementara Lasna lebih beruntung, lebih dari sepuluh helai koran telah berhasil ia jual. Mungkin wajah mungil dan mata sayunya jadi senjata ampuh penunduk hati pembeli.
Kay duduk di bawah flamboyan merah besar di sudut perempatan. Sementara Lasna berdiri menunggu pembeli di dekat lampu merah. Rasa kantuk tiba-tiba datang menyergap Kay. Semalaman ia tak bisa tidur teringat ibunya di kampung. Gelisah yang juga hadir karena memikirkan kata-kata pak Reza, polisi baik hati yang memintanya untuk pulang kampung ke Cianjur. Tak hanya itu wajah mayat wanita bersimbah darah itu kembali hadir dalam kantuknya tadi malam. Bayang wajah yang menghalangi mata untuk terpejam. Kini ia lelah dan teramat mengantuk.
Untuk sekejap Kay terlelap hingga sebuah teriakan membangunkannya.
“Kak...tolong...tolong!” Lasna rupanya. Sekelompok anak brandalan mengerubutinya. Sisa koran yang belum terjual berserakan di jalanan. Sebagian besar sobek tertiup angin. Sebagian lagi recah, mungkin disobek para anak brandalan itu. Tanpa pikir panjang Kay datang menyergap. Dengan membabi buta, berbekal sebuah tongkat kayu dari pohon jambu ia menghalau brandalan itu hingga kocar kacir.
Lasna menangis, terduduk di trotoar panas kota. Kay datang menghampiri dan menghiburnya. Kini mereka berdua sibuk memunguti serpihan koran yang terserak di jalan. Tak ada lagi yang layak untuk dijual, hingga mereka bermaksud membuang sisa koran itu ke dalam tong sampah.
Tiba-tiba sepasang kaki kasar datang. Dengan dingin tanpa perasaan, kakinya menendangi serpihan koran yang telah ditumpuk Kay dan Lasna. Hal yang tentu saja memancing amarah Kay. Tanpa pikir panjang diterjangnya anak itu dengan sekuat tenaga. Maka perkelahian jalanan pun tak terhindarkan. Satu lawan satu di siang yang terik
Perkelahian singkat yang tak sempat dilerai warga yang malas. Akhirnya Kay berada diatas angin. Muka anak brandalan itu babak belur dihantam tinju Kay yang dulu terbiasa menebang kayu di hutan Wangun. Seraya memegang kerah anak brandalan itu, Kay pun menebar ancaman.
“Kamu siapa hah? Berani-beraninya ganggu kami!”
“Gue Beben...gue ketua gank Blingsat. Penguasa jalanan Bandung...asal lu tau yah!” bentak si Beben seperti tak mau mengakui kekalahannya.
“Gue ga mau tau lu Beben kek bobon kek. Sekarang gua minta jangan pernah coba ganggu kami lagi!” cekat Kay seraya menguatkan sergapannya di leher baju si Beben.
“Eh...siape lu pake ngancem gue? Lu ga tau backing gue?...preman-preman pasar, mereka pasti bakal ngabisin lu sebentar lagi.” umpat Beben balik mengancam.
“Gua ga peduli, sekarang lu pergi dari sini atau gue habisin lu sekarang juga!” lagi ancam Kay tak main-main. Ia pun melepaskan cengkramannya.
“Lu tunggu pembalasan gue yah...gue bakal abisin lu semua!” umpat Beben sambil ngeloyor pergi.
“Bodo amat!” umpat Kay.
“Heh...siapa nama lu? Pasti gue cari...awas luh!” masih sempat Beben menebar ancaman.
“Nama gua Kay...lu inget-inget tuh...Kay!”
Beben pun berlalu. Menghampiri teman-temannya yang sedari tadi asyik menonton. Mereka berkerumun dan kemudian menghilang dibalik gang.
Lasna masih belum henti dari tangisnya. Terbayang kerugian yang pasti dialaminya. Ia tetap harus membayar setoran koran pada H. Syarif sementara kini tak ada lagi koran yang tersisa untuk dijual. Kay tetap menghibur dengan sabar.
“Lasna...sudahlah jangan sedih terus, pasti ada jalan keluar, percayalah.”
“Tapi kak...gimana bayar ke Haji Syarif?”
“Ah...tenang saja nanti saja kita pikirkan, yang penting sekarang kamu tenang jangan nangis lagi yah?” bujuk Kay
“Ya deh kak” ujar Lasna layu.
Tiba-tiba sepasang suami istri dengan dua anak gadis di kiri kanannya menghampiri. Gadis yang disebelah kanan, mungkin kakaknya, seusia anak kelas 11, ia lebih dulu menyapa
“Hai...kalian ga apa-apa?” tanyanya ramah
“Oh...ga apa-apa Kak...kami baik-baik saja” jawab Kay.seraya menoleh si empunya suara.
“Oh syukur deh...ini buat kalian!” tangannya seraya mengulurkan sekotak makanan dan minuman lengkap. Tangan Kay refleks menerimanya.
Belum lagi ucap terimakasih meluncur dari mulut keduanya. Adiknya dari sebelah kiri , seusia anak kelas 8, datang menghampiri dan menyerahkan kotak yang sama. Kali ini tangan Lasna yang refleks menerimanya.
Keduanya ternganga, belum sempat ucapan terimakasih terucap, sosok bapak dan ibu yang sedari tadi menyaksikan dua putrinya beraksi datang lebih mendekat. Dua lembar uang berwarna merah terjurai dari tangan tegap si bapak yang lembut.
“Ini kalian ambil buat ganti koran kalian yang rusak...ayo ambil.” Suaranya lembut menggetarkan. Kay dan Lasna meragu. Hingga suara seorang ibu hadir meyakinkan mereka. “Ayo sayang...kalian ambil uang itu jangan sungkan...ayo!” ujarnya lembut.
Kay yang sempat ragu kemudian menjulurkan tangan menerima kebaikan tak terhingga yang tiba-tiba muncul dihadapannya.
“Te...terima kasih pak bu...terimakasih kak” akhirnya ungkapan itu keluar juga dari mulut Kay.
“Iya...terimakasih pak.. bu..kakak...kakak” ungkap Lasna haru.
Ada gunung haru bersarang di sudut mata si bapak. Hampir saja buncah. Bibirnya menyunggingkan senyum seraya tangannya mengusap kepala Kay dan Lasna.
“Iya...sama-sama” ujarnya terbata. Istri dan kedua anak gadisnya menyaksikan adegan haru itu dengan leleh air mata yang lerai. Membulir di pipi-pipi merah mereka yang ranum.
“Ya udah kami permisi yah...baik-baik jaga diri kalian...ok?” ujar si bapak seraya mengajak istri dan kedua putrinya beranjak.
Hari itu berlalu dengan sejuta kata yang layak untuk dituliskan dalam memoar kehidupan. Rona bahagia menyemburat dari dua anak kehidupan yang gesang. Kebahagiaan yang kemudian mereka bagikan kepada dua sahabat mereka, Awan dan Samsul. Untuk dua hari ke depan perut mereka akan terjamin.
*****
Rupanya Beben tak main-main dengan ancamannya. Sudah dua hari ini anak buahnya mondar-mandir di sekitar markas baru Kay dan teman-temannya. Bahaya yang tak disadari Kay sang pemimpin.
Siang itu, selepas berjualan koran, Lasna pamit untuk membeli sandal japit baru, karena yang lama telah putus. Kay tak bisa menemaninya karena sedang sibuk membetulkan atap markas yang untuk pertama kalinya bocor terkena hujan deras kemarin. Sementara Awan dan Samsul belum muncul batang hidungnya. Biasanya mereka berdua berenang di saluran air besar Cinangka.
Lasna berjalan dengan gontai. Kaki-kaki kecil tanpa alasnya ringkih menapaki lorong gang yang sempit namun ramai. Meski gontai, wajahnya membinarkan ceria. Membeli sandal japit adalah kemewahan baginya. Sesampainya di warung pinggiran pasar dibelinyalah sepasang sandal japit hijau, warna kesukaannya.
Sandal baru itupun langsung dikenakannya bahagia. Dengan sedikit lenggak lenggok seperti peragawati memamerkan high heel barunya, ia bercermin beberapa saat di depan badan mobil Alphard yang terparkir di pinggir jalan. Sungging senyum tak henti mengembang. Senyum yang tak berlangsung lama. Senyum yang seketika berubah jadi tangis, ketika lima sosok anak berandal tiba-tiba sudah berdiri tegak di belakangnya.
“Cie...cie...artis...nih ye..” celetuk salah seorang dari mereka. Celetukan yang membuat Lasna meringis ketakutan.
“Hey...kamu temennya si Kay , kan?” suara Beben bagai geledek membelah langit. Lasna terpojok. Ia duduk teringsut di badan Alphard. Ia tak mampu menjawab, ia diserimpung ketakutan.
“Kamu baru beli sandal ya? coba liat! hah...buat gue aja” seru salah seorang dari mereka seraya mencoba menarik sandal japit baru dari kaki Lasna. Lasna bertahan sekuat tenaga. Tapi apa daya tangan brandalan itu begitu kuat dan Pltakkk!!! tali sandal kiri Lasna putus. Lasna bangkit menubruk tubuh salah seorang brandalan dan berhasil lepas dari kepungan. Birit ia berlari sekencang-kencangnya dengan satu tangan memegang satu sandal yang tersisa.
Kelima brandalan itu tanpa ampun mengejar Lasna yang ketakutan. Lasna lari tak tentu arah. Berkelebat diantara pohon palem payung jalan yang berderet rapi. Sesekali ia melintas menyeberangi jalan yang tak terlalu ramai. Hingga sampai di sebuah pertigaan ia dengan penuh ketakutan menyeberangi jalan yang sepi itu dan Brakk!!! Sebuah motor hitam menabrak tubuh mungilnya hingga terpental dan kepalanya membentur aspal hitam yang panas.
Darah segar segera saja memerahi hitam aspal kota yang gahang. Tak terdengar jerit kesakitan dari mulut mungil Lasna. Seketika ia membisu. Si pengemudi motor yang ketakutan dan tidak merasa bersalah segera bangkit dan kabur. Tak sempat seorang pun berhasil mencegatnya. Peristiwa itu berlangsung teramat cepat.
Kelima brandalan itu tiba di hadapan tubuh Lasna yang menggelepar di tengah jalan. Tanpa ba-bi-bu mereka segera hengkang, mereka tak mau dilibatkan dalam masalah itu.
Semesta menangis. Sehelai kalakay gugur sudah. Jatuh ke tanah untuk kemudian berguling ditiup angin. Kering, jatuh, jauh dan kemudian terlupakan. Simfoni alam lagukan elegi kematian yang menyayat. Pisau kelaliman dunia kembali melukai semesta. Langit terisis lantas menangis. Menangisi manusia yang tak kunjung dewasa. Menangisi sebuah kehilangan yang sia-sia yang kembali dan terus berulang. Tangan-tangan kasar terus saja merusak kehidupan. Melerai asa manusia yang tersisa dari kenyataan. Hidup, yang seharusnya indah, berubah jadi horor yang menakutkan. Perut bumi kembali dipaksa menelan tubuh tak berdosa, mengunyahnya hingga hilang tanpa sisa.
*****
Kay, Awan dan Samsul belingsatan mengetahui Lasna tak kunjung pulang. Firasat Kay yang tajam segera saja menerka bahwa telah terjadi sesuatu pada diri Lasna. Mereka pun berpencar mencari Lasna, namun nihil. Hingga akhirnya mereka berkumpul lagi di ujung gang.
Lagi, firasat Kay membawa langkah mereka ke bau peluh Lasna. Hingga akhirnya mereka menemukan kerumunan. Mereka pun menyeruak. Seorang polisi tampak mencoba mengatasi keadaan yang kalut. Tak kuasa kaki mereka menopang tubuh mereka yang kuyu, begitu menatap Lasna yang terbujur kaku bersimbah darah di aspal jalan kota yang terik.
Air mata bersulang dengan peluh. Asin perih merambati jiwa mereka. Lasna adik bungsu mereka telah berpulang dengan cara yang mengerikan. Luka perih menyayat-nyayat jiwa mereka yang kembali kehilangan. Gemuruh duka membadai di tatapan hampa mereka. Kehilangan yang teramat menyakitkan. Tak cukup seribu elegi untuk sebuah kehilangan Lasna. Tak cukup sejuta kata sabar untuk merelakan kepergian Lasna.
Sebuah satire tetiba membahana di gumam hati Kay yang membara tangis.
Tuhan...dengarlah sebentar saja, aku Kay.
Yang itu si Awan tukang berisik.
Yang gempal itu si Samsul, tukang makan.
Dan yang itu...yang terbaring di aspal, itu adik kami Lasna namanya
si gadis pendiam