KALA'KAY'

kieva aulian
Chapter #7

7. From Cianjur to Baltimore

Ustadz Halim, sosok sederhana yang baik hati. Ia tinggal bersama istrinya, bu Lenny di sebuah rumah sederhana berjarak sekitar 400 meter dari masjid desa Nangela, masjid Al Ihsan. Mereka bukan tak mampu hidup bermewah-mewah. Bisnis produksi kain yang mereka rintis sejak Ustadz Halim remaja telah menjelma menjadi bisnis besar dengan jumlah karyawan tak kurang dari 150 orang. Ustadz Halim memilih kesederhanaan sebagai jalan hidup. Sama seperti suaminya , bu Lenny juga adalah istri yang setia pada kesederhanaan. Bagi keduanya, kesederhanaan adalah pilihan, bukan keterpaksaan. Mereka berdua memang bersepakat menjadikan kesederhanaan sebagai gaya hidup, meski sesungguhnya mereka mampu untuk memasuki gemerlap kemewahan dunia.

Tak hanya sederhana, yang jadi ciri keluarga mereka adalah kehangatan. Nyaris tak pernah ada suasana dingin dalam rumah sederhana itu. Hari-hari mereka penuh kehangatan. Mereka saling memberi kehangatan meski keduanya belum dikaruniai seorang anakpun. Ustadz Halim yang belakangan dipanggil ayah oleh Kay, adalah sosok suami yang selalu lembut dalam bertutur kata. Tak pernah sekalipun ia berkata dengan nada tinggi apatah lagi berkata kasar. Tak hanya pada bu Lenny, pada Kay pun demikian. Ia tak pernah mengeluarkan kata kasar. Ia bahkan nyaris tak pernah memerintah, ia hanya mengajak tak lebih dari itu.

Ia adalah sosok ayah yang amat jarang bernasihat. Kata-kata santunnya, sikap lembutnya, senyumnya, belaiannya, pelukannya. Itulah nasihatnya. Nasihat yang utuh memberikan nafas kehidupan. Nasihat yang tak mungkin bisa ditampik oleh manusia tersombong sekalipun.

Meskipun orang-orang memanggilnya dengan gelar istimewa, ustadz, ia dengan lembut menolak sebutan itu. Ia tak seperti sebagian orang yang sangat senang dengan julukan ustadz tersemat di dadanya. Pak Halim merasa tak pantas mendapat sebutan itu. Iapun tidak seperti segelintir orang yang menyematkan sendiri gelar itu dengan bangga di dadanya, meski tak ada orang yang memberinya gelar terhormat itu. Ayah Halim sekali waktu pernah berseloroh, “Kalo ustadznya kaya ayah, gimana umatnya?”. Sebuah seloroh yang menunjukan kerendahan hati yang luar biasa.

Meski ia seorang hafidz dan jebolan pesantren ternama, ia tak rajin mengobral dalil. Tak seperti kebanyakan ustadz yang sangat rajin mengobral ayat suci, ia teramat jarang mengutip ayat suci. Dia memiliki cara sendiri dalam mengutip ayat suci. Sebelum mengutip ayat suci terlebih dulu ia melakukannya barulah kemudian ia mengutip ayat suci yang menjadi dalil atas perilakunya itu.

Ia pun selalu menolak dengan lembut saat orang-orang memintanya untuk berceramah. Tak seperti sebagian orang yang memang mencari hidup dari dan untuk ceramah. Yang menjadikan ceramah sebagai ladang kehidupan mencari nafkah. Mereka yang memilih jalan ini, menghabiskan umurnya untuk memperkaya, mempertajam, dan mempermanis lisannya agar laku dan semakin mahal. Agar disukai di tv, agar di like dan di subscribe di youtube.

Dakwah seorang Halim adalah perbuatannya. Ia memberi contoh bekerja dengan ulet dan sabar bukan dengan berceramah tentang keuletan dan kesabaran. Ia lebih memilih menyapu jalan dan membersihkan saluran air di sepanjang jalan perumahan dibandingkan berceramah tentang “kebersihan itu sebagian dari iman”. Ia memilih bersedekah dengan sembunyi dan terkadang terang-terangan dibanding berceramah tentang keajaiban sedekah.

Begitu pula dengan bu Lenny, sosok lembut yang setia mendampingi ayah Halim. Ia melengkapi celah-celah sosok ayah Halim. Wanita yang kemudian dipanggil Kay dengan panggilan Ibu itu adalah ibu rumah tangga biasa. Meski diizinkan oleh ayah Halim, ia tidak ikut mengelola bisnis besar mereka. Itu adalah pilihannya. Ia merasa tidak cukup memiliki kemampuan dalam bidang bisnis. Kesehariannya adalah memasak, mencuci, menyapu dan mengepel rumah. Setiap sore ia mengajar anak-anak mengaji Iqra di masjid Al Ihsan. Belakangan Kay sesekali ikut mengajar anak-anak disana.

Sisi lain dari keduanya adalah segarnya canda tawa mereka. Meski orang-orang memandangnya sebagai pasangan yang ‘alim, mereka berdua seperti tak pernah kehilangan bahan untuk menghangatkan rumah dengan canda tawanya. Ayah Halim sepulang dari tempat kerjanya, selalu membawa oleh-oleh cerita lucu. Entah darimana dia mendapatkan cerita-cerita lucu itu. Ia sangat senang membagikannya pada bu Lenny dan Kay. Tak jarang Kay terpingkal-pingkal mendengar dan melihat cara ayah Halim bercerita.

“Kay, pernah denger cerita tentang iman?”

“Wah belom tuh yah, emang gimana ceritanya yah? Cerita dong!” ungkap Kay penasaran. Bu Lenny sambil berlalu lalang mempersiapkan makan malam turut menguping.

“Nah...ibu ikut nguping tuh Kay..ha...ha...ha...” Bu Lenny yang tercolek, sudut matanya mendelik ke arah ayah Halim

“Ih siapa juga yang nguping...ibu cuma curi denger aja kok”

Lihat selengkapnya