Bila pergi adalah pilihan maka pulang adalah kepastian. Begitu juga Kay. Ia yang telah lama pergi, kini harus pulang. Ada buncah rindu menggelayut di dadanya. Kerinduan yang ingin segera ia tumpahkan menjadi hujan agar tak menggelayut berat di langit-langit jiwa. Agar kata-kata rindu tak jadi basi. Bukankah rindu yang hanya berupa awan dan tidak jadi hujan akan mengeringkan jiwa dan kata-kata. Sudah terlalu lama jiwanya dilanda kemarau. Ia rindu hujan. Ia rindu petrikor. Ia rindu ayah, ibu dan om Reza.
Ia duduk di pesawat menuju tanah air dengan gelisah. Baginya pesawat itu terbang terlalu pelan. Ingin sekali ia berteriak agar pilot menginjak pedal gas dengan sekuat tenaga agar ia cepat sampai. Agar ia bisa segera memeluk Ibu dan ayah Halim, serta om Reza. Ia lupa bahwa pesawat tak sama dengan bus yang biasa membawanya pergi kesana kemari menyusuri jalanan kota.
Ingatannya tiba-tiba terbang dan hinggap di desa Wangun. Desa tempat ia lahir. Kenangan yang membawanya menjelajahi setiap inci desa nan indah itu. Ia tak menyangka, dirinya yang lahir dari sebuah desa yang lebih dekat ke hutan dibanding ke kota itu sekarang tengah terbang dari Amerika ke tanah air. Anak kampung mampu jadi doktor di negeri orang. Kay tersenyum sendiri. Ada rasa bangga, namun segera ia tepis. Nasihat mang Asta, pamannya yang hilang, seketika hadir lagi di benaknya.”Ulah agul ku payung butut, teu meunang nulak cangkeng dina punduk” (Jangan sombong karena sesuatu yang sebenarnya tidak seberapa bernilai, Jangan merasa angkuh karena memiliki kemampuan) “Ah mang Asta, kamana atuh emang teh?”, gumam Kay dalam hati.
Ada rasa bersalah yang mengaliri jiwanya. Ia merasa bersalah karena waktu itu tidak total mencari mang Asta. Tapi apa daya, waktu itu ia masih kecil dan tak punya seorangpun untuk bersandar keluh. Ia tak punya tempat berbagi gelisah. Ia harus menelan sendiri setiap resah yang hadir menghantam jiwa kecilnya. Ia harus menelan sendiri setiap luka. Mencari jawab sendiri atas setiap geliat tanya. Waktu itu Kay adalah bocah yang tersesat di dunia renta. Ia tak mampu mengimbangi kecepatan nafsu dunia yang bergerak begitu cepat. Ia tak bisa mengimbangi dunia yang angkuh berlari tanpa menoleh barang sesaat dirinya yang oleng, tersandung dan terseret-seret.
Tangan kecilnya tak mampu menjamah dan menggenggam barang satu bulir saja bahagia dunia. Ia seperti menggenggam air. Seberapapun ia berusaha menggenggamnya, yang keluar dari genggamannya selalu lebih banyak. Ia hanya mampu basah tanpa hilang dahaga, basah tanpa rasa sejuk. Ada bulir hangat yang tetiba membasahi pipinya. Ada rindu yang buncah pada sosok mang Asta, pamannya yang hilang.
Sekelebatan wajah ayahnya, Kalam, muncul. Ada rasa sakit yang tiba-tiba menggigit hatinya. Wajah ayahnya yang kuyu, tulang belulang tampak menonjol seperti hendak lepas dari daging, tiba-tiba hadir dalam ingatannya. Celotehan “jahanam”nya. Tarian hujannya. “ah... kasian bapak” desah Kay dalam hati. Sebulir air mata hangat mengembun di sudut matanya. Ibu...ia teringat Ibunya nan lembut, Ainun. Ibu yang selalu mengalirkan cinta ke kedalaman jiwa Kay yang rapuh. Ibu yang selalu menyentuh saat ia butuh. Ibu yang selalu membela saat ia terluka. Ibu yang selalu melindungi setiap kali ancaman tiba. “Bu...dimana ibu?”
*****
Sepuluh tahun yang lalu, bertepatan dengan kelulusan Kay dari bangku sekolah dasar, bayangan Kalam nampak berkelebat memasuki pedalaman hutan Wangun. Diatas batu besar sungai Cikeruh yang kerontang ia duduk menekur. Badannya yang tinggal tulang tak menarik perhatian harimau untuk menerkam. Tak membangkitkan selera srigala untuk sekedar mencicipi tubuhnya. Ia duduk terpekur menyambut kematian. Setelah duduk berjam-jam diatas batu besar itu, Sang malaikat mautpun mengalah. Ia datang menjemput ruh Kalam yang tak sabar mengecap ajal. Semesta tak mau lagi melihatnya berkeliaran menimbulkan kegaduhan. Semesta tak ingin lagi membiarkannya mendendam. Sudah tiba waktunya. Sudah habis catu hidupnya. Ia harus pulang. Pulang ke pangkuan Ilahi. Tergolek diatas kuburannya, batu besar sungai Cikeruh. Dan sehelai kalakay gugur. Jatuh ke tanah basah.
Sementara Ainun, selepas wafatnya nek Ilah, Ia pergi mengikuti kemana kaki membawanya melangkah. Ia tak diizinkan tinggal lagi di rumah peninggalan nek Ilah. Anak cucu nek Ilah keberatan Ainun tinggal bersama mereka. Mereka mengusir Ainun tanpa belas kasihan. Ainun melangkah tanpa tujuan. Tak ada lagi sanak saudara tersisa. Akhirnya, ia kembali ke hutan Wangun mencoba mencari suaminya, tapi nihil. Ia jatuh sakit, Ia sampai di puncak letih. Ia harus berjalan tanpa sesuap makanan di dalam perutnya. Beratnya beban pikiran membuat raganya tak mampu bertahan. Ia jatuh sakit tepat dibawah pohon Johar. Rumah tempat dia dan Kay dulu berteduh. Ia menghembuskan nafas terakhirnya bersamaan dengan gugurnya bunga Johar kuning yang tepat jatuh di keningnya selepas kumandang adzan maghrib. Dan lagi, sehelai kalakay gugur. Jatuh ke tanah basah.
*****
Lamunan Kay sejenak terhenti. Turbulensi akibat perubahan kecepatan aliran udara mengejutkannya. Lamunannya pun buyar seketika. Setelah pesawat kembali tenang, lamunannya kembali berputar. Air mata yang sedari tadi membasahi pipinya seketika mengingatkannya pada air mata Lasna. Gadis kecil yang lebih sering menangis dari pada tertawa. Ia hanya tertawa sesekali karena melihat tingkah konyol Prabu Baskom. Selebihnya adalah air mata rindu pada ibunya yang tega meninggalkannya di jalanan kota Bandung di suatu subuh yang hening.
Gadis kecil yang lemah itu diturunkan dari motor pacar baru ibunya di seputaran jalan gunung batu yang sepi subuh itu. Setelah dirayu untuk jalan-jalan menaiki motor bertiga, ia diturunkan begitu saja, tak ubahnya anak kucing yang dibuang pemiliknya karena merasa terganggu dengan keberadaannya. Itulah yang diingat Lasna. Itulah terakhir kali ia bersama ibunya, sedang ayahnya sudah lebih dulu berpulang untuk selama-lamanya.
Lasna kecil yang kemudian tersesat di rimba kota yang gahar. Tak ada yang perduli, ia melipat waktu dengan menadahkan tangan. Dari satu tangan ke tangan yang lain. Tak jarang ia mendapatkan tepisan bahkan tamparan, bukan uang atau makanan. Lasna kecil kemudian bertemu Awan, Samsul dan terakhir Kay. Setelah bertemu Kay, Lasna kecil tak pernah mengemis lagi. Harga dirinya bangkit meski kemudian ia hanya jadi seorang penjaja koran.
Batin Kay kembali mengingat wajah gadis cantik itu. Gadis yang harus mengakhiri hidupnya dengan tragis. Sering sekali wajah bersimbah darah itu muncul dalam mimpi Kay. Ada penyesalan besar, kenapa dia dulu tak menjaga Lasna dengan sepenuh hati. Ia terpaksa melonggarkan pengawasan pada Lasna karena tak enak hati pada Awan. Keputusan yang mungkin keliru.
Ingatannya lantas membawanya pada Awan dan Samsul. Dua sahabat yang seperti pamannya, Asta, menghilang tanpa jejak, tanpa pesan, tanpa pamitan. Ada rindu yang menggelegak di dalam dadanya. “Hey...dimana kalian?”
*****
Di sebuah peternakan ayam yang cukup luas milik ayah tirinya, nun jauh di Ciamis sana. Raja Awan alias prabu Baskom sedang mengawasi para karyawan peternakan dengan seksama. Ia dipercaya ayah tirinya menjadi manajer produksi. Cita-citanya untuk menjadi seorang raja tercapai sudah. Meski tak menjadi raja disebuah istana yang megah. Ia tetaplah raja, raja kandang ayam.
Sementara nun jauh di Lampung sana, di sebuah pabrik boneka milik nenek angkatnya, Samsul asyik dengan pekerjaan tetapnya, mengelem bagian demi bagian boneka yang sudah dipotong sampai utuh jadi boneka. Seperti masa lalunya, ia kembali berurusan dengan lem. Tapi tidak untuk menghirupnya tapi mengolesnya.
Tanpa sepengetahuan Kay, dulu mereka berdua tertangkap razia dinas sosial. Karena sudah tertangkap untuk kesekian kalinya, mereka berdua dipulangkan ke keluarga masing-masing. Awan dikembalikan ke ibunya yang sudah menikah lagi dengan seorang juragan ayam. Sementara Samsul dikembalikan ke keluarganya di Lampung. Nenek angkatnya menerimanya dengan penuh suka cita dan mempekerjakan Samsul di pabrik bonekanya.
*****