Clara asistent Kay di Sequoia menyerahkan sebuah amplop bersurat. “Hey...ini zaman surel bukan?” tanya Kay heran.
“Yes, tapi inilah kenyataannya seseorang telah menulis surat pribadi dengan tulisan tangan untukmu, bercap pos Sofia dan kini surat itu ada di mejamu. Selamat membaca!” , sindir Clara seraya meninggalkan ruangan Kay.
Kay yang masih tak percaya mendapat kiriman surat dengan tulisan tangan itu, membolak-balik amplop sebelum benar-benar membukanya. Tulisan tangan si pengirim sangat indah, rapi dan wangi. Yaa...surat itu wangi. Wangi yang mungkin datang dari tangan si penulis. Sha Evalina Duscha nama pengirimnya, alamatnya Islamic Center Banya Bashi Mosque Bulgaria.
Bismillahirahmaanirrahiim...Kay pun membuka surat itu. Ada debar aneh di jantungnya. Ketukannya tidak seperti ketukan biasa. Ada yang mendesir di dada Kay entah apa dan entah kenapa. Dari namanya, kemungkinan besar pengirimnya adalah seorang perempuan. “Kenapa harus mendesir,” dengus Kay, “toh ini bukan surat cinta. Siapa tahu surat itu surat ancaman atau surat iseng dari seorang psycho. Ah...ngaco “geram Kay pada pikirannya sendiri.
“Weiy..!!” teriak Kay. Ia terbangun dari kursinya saat melihat isi surat itu. Surat itu berbahasa Slavik Selatan, bahasa yang biasa digunakan orang Bulgaria. Bahasa yang erat hubungannya dengan bahasanya orang Makedonia, Serbia, Kroasia, Ukraina bahkan Rusia. Huruf-huruf tidak jelas berjejer tanpa makna.
Clara yang ikutan kaget mendengar teriakan Kay, kembali memasuki ruang Kay tanpa mengetuk pintu. Ia khawatir bosnya mengalami sesuatu yang tidak diinginkan.
“Ada apa bos?” tanyanya tergesa.
“Hah...ini nih ada-ada aja ni orang, nulis surat pake bahasa Slavia, mana aku ngerti.”
Clara terbahak melihat ekspresi bosnya yang menurutnya lucu dan kekanak-kanakan.
“Ah...buat seorang jenius apa sih yang ga bisa?” ledek Clara. Itulah suasana di kantor Sequoia. Nyaris tak ada batas tegas antara atasan dan bawahan. Bukan hanya pada Clara Kay bersikap seperti itu, kepada seluruh karyawannya ia bersikap sama. Semenjak mendirikan Sequoia, ia mencoba membangun suasana rumah di kantornya. Kantor rasa rumah. Slogannya juga sangat sederhana “feels like home”. Slogan sederhana yang terbukti mampu meningkatkan kinerja dan potensi karyawannya di semua lini.
Clara kembali ke ruangannya setelah mengetahui bahwa bosnya yang baik itu baik-baik saja. Rupanya bosnya hanya shock setelah melihat deretan huruf yang tak dikenalnya.
Kay kembali pada surat itu. Ada rasa penasaran bercampur enggan. Dering ponselnya datang menyela. Segera ia asyik bercakap dengan orang diseberang sana. Dan untuk sementara surat berbahasa Slavik itu terlupakan.
Menjelang waktu pulang, Kay kembali teringat surat dari Sha. Ia pun kembali membolak-balik surat itu. Rasa penasarannya kembali bangkit. “Aha...aku ingat sekarang” teriak Kay. Dia mengambil ponselnya dan mengambil gambar surat itu dengan kamera ponselnya. Ia lantas mengirimkan pict itu ke Dario, kawan lamanya. Teman mahasiswanya dulu asal Kroasia.
Tak berapa lama kemudian ponsel Kay berbunyi, pesan dari Dario. Diiringi dengan smiley mengejek, Dario menulis “Kay...itu surat komplain dari konsumenmu di Bulgaria. Dan kamu harus tahu 85% isi surat itu isinya sumpah serapah...ha..ha...trus kamu disuruh menghubungi dia langsung +359 625 764” tuh nomornya. Dario, teman paling kocak yang pernah dimiliki Kay setelah Prabu Baskom.
Keesokan harinya, Kay menyerahkan surat itu pada Christoper, karyawan senior bagian Handling Complaint. Dan iapun menganggap permasalahan itu sudah beres. Tapi apa lacur, tak kurang dari dua jam kemudian, Christoper datang dengan muka memelas.
“Sorry bos, aku ga bisa handle nih cewek”
“Hah...kenapa bisa gitu?”
“Bos...sudah saya coba jelaskan, tapi dia tetep ngotot pengen langsung bicara sama bos. Ni cewek crazy bos”
“Oh...ya udah ntar saya hubungi dia”
“Sorry bos, ini dari tadi dia nelponin aku terus” Christoper menyerahkan ponselnya sambil nyengir. Kay tak berkutik, betapapun menyebalkan sikap konsumen, baginya konsumen tetaplah raja. Kay pun menarik ponsel itu dan mendekatkannya ke telinga.
Tanpa disangka, seketika, bak rentetan mortir, suara perempuan berbahasa inggris segera memberondongnya tanpa ampun. Kay yang awalnya kaget kemudian mencoba tenang dan membiarkan perempuan bernama Sha itu ngomel nyaris tanpa jeda.
Itulah awal perkenalan mereka yang unik. Percakapanan jarak jauh antara konsumen dengan produsen. Percakapan yang kemudian justru menjadikan hubungan diantara mereka terjalin semakin erat, aneh memang. Dan semesta seperti mendukung. Kay sang jenius kali ini dibuat tak berkutik, ia menyerahkan nomor ponselnya, sesuatu yang amat sangat sulit didapatkan oleh orang terdekatnya sekalipun.
Selepas kepergian orang-orang tercintanya, Kay menutup sebagian besar dirinya. Untuk urusan bisnis ia adalah pribadi yang sangat terbuka, namun dalam waktu yang bersamaan, untuk masalah pribadi ia sangat tertutup. Entahlah, mungkin ini karena trauma kehilangan yang beruntun dan terus mengiringi langkah hidupnya.
Atas semua kehilangan itu, Kay merasa dirinya seperti boneka yang dipermainkan anak kecil bernama waktu. Sesekali ia disayang, dielus dan dipeluk. Namun di waktu lain ia diabaikan, ditelantarkan bahkan dibuang. Ia tak berdaya. Kejeniusannya tak mampu melawan kekuatan “anak kecil” bernama waktu. Otaknya yang encer tak mampu menahan kehendak sang waktu. Apapun keinginan sang waktu, ia hanya bisa manut tanpa daya, meski ia bersungut, berteriak , dan melawan. Seberapapun kuatnya ia menahan laju sang waktu, pada akhirnya ia hanyalah seonggok mahluk tak berdaya yang duduk di pojokan dunia sambil meratapi kehilangan demi kehilangan.
Tak seperti biasanya, kali ini ia memberikan nomor ponselnya begitu saja. Memberikan pada seorang wanita yang baru dikenalnya. Pada wanita asing yang marah-marah. Pada wanita yang tinggalnya nun jauh disana, di Sofia Bulgaria. Ada apa dengan Kay? Entahlah semesta seperti membiarkan semuanya mengalir meski entah kemana semua ini akan memuara.
Dari pembicaraan antara konsumen dengan produsen, di kemudian hari, perlahan tapi pasti percakapan itu beralih jadi pembicaraan antara dua manusia berbeda kewarganegaraan. Di kemudian hari, bergeser menjadi percakapan antara dua manusia berlawanan jenis. Lantas meranum menjadi percakapan dua anak manusia yang sama-sama merindukan hangatnya cinta. Tak butuh waktu lama, dua bulan saja, percakapan demi percakapan mewarnai hari-hari mereka berdua.
Tengoklah pesan whatsapp Kay pada Sha, saat dirinya dilanda rindu: “Bila yang tersisa hanya sebutir rindu, aku pesan satu!”
Waktu, yang bagi Kay selama ini tampak monokrom berubah memozaik. Hidup serasa lebih berwarna. Ia menemukan hidupnya kini penuh gradasi warna. Warna-warna yang sebenarnya asing baginya. Ia sendiri tak mengerti apa sebenarnya makna dari warna-warna itu, yang ia tahu, warna-warna itu membuatnya tersenyum, membuat hatinya berbunga. Tak hanya sampai disitu, mozaik itu mendatangkan juga gelisah, resah dan satu rasa yang belum pernah dirasakannya sepanjang hidupnya, cemburu.
Tengoklah pesan whatsapp Kay pada Sha saat dilanda cemburu: “Saat kau sebut nama seorang pria selain namaku, kuminta Tuhan mengganti semua nama pria di dunia dengan Kay. Dan saat kau menyebut namaku, kuminta Tuhan menjadikan aku satu-satunya pemilik nama itu.”
Entahlah, setiap kali Sha menyebut nama seorang pria, hati Kay membatin dan dengan resah menyatakan ketidaksukaannya. Ia tidak mengerti sejenis apa sebenarnya cemburu itu. Ia tak mampu menemukan definisinya, kini ia hanya bisa merasakannya. Perlahan ia sampai pada sebuah dugaan, ia sedang jatuh cinta. Ia tak mengerti, ia hanya bisa bersenandung I am in love with you”.
Kay mendapat undangan untuk memberikan orasi ilmiah dari salah satu NGO yang konsern pada masalah Internet Healthy using. Acara akan diadakan di salah satu landmark ikonik kota Sofia, Ivan Vazoz National Theater.
Kay dan Sha kemudian berjanji untuk bertemu seusai acara. Mereka akan bertemu untuk pertama kalinya di sebuah cafe yang bersejarah bagi mereka, Puzl CoCafe .
*****
Ivy di Sofia
Sofia bersalju. Kota membeku, dingin yang ambigu. Manusia gigil dalam senyap sendu. Tapi tidak bagi Kay, tubuhnya memang menggigil tapi hatinya tidak. Hati atau tepatnya cintanya tengah hangat mekar kemayu. Sha, gadis cantik berkerudung bermata bulan telah menawan hatinya. Cinta Sha adalah selimut hangat bagi jiwa Kay yang gigil dan kosong.
Sha, Sha Evalina Duscha nama lengkapnya. Gadis mualaf asal Bulgaria. Gadis yang akhirnya dipertemukan tate a tate Tuhan dengannya di sebuah cafe kecil tak jauh dari Ivan Vazov National Theater tempat Kay menyampaikan orasi ilmiahnya.
Gadis cantik bermata bulan. Gadis yang kilatan matanya seperti Gumusservi ( cahaya rembulan yang terpantul pada permukaan air) Gadis yang bukan hanya membuat Kay jatuh cinta, namun juga jatuh kagum padanya. Dimata Kay, Sha adalah wanita pemberani, betapa tidak? Menjadi muslimah di negara yang mayoritas penganut ateis tentu mempersyaratkan sebuah keberanian yang luar biasa. Tak hanya sampai disitu, kecerdasan dan keluasan wawasan Sha juga menarik perhatian Kay. Sha bukan hanya menguasai bahasa Bulgaria, tetapi juga Inggris , Arab bahkan Indonesia meski terbata. Suatu hal yang memang luar biasa.
“Sha...apa arti cinta menurut kamu?” tanya Kay di suatu senja dingin di Puzl CoCafe tempat mereka pertama kali bertemu secara langsung.