Berita gembira itu Kay sampaikan pada Om Reza yang disambut gembira dan suka cita. Pernikahan dua insan berbeda negara dan budaya itu direncanakan akan berlangsung dengan sederhana. Hanya akan dihadiri sahabat terdekat. Sha mewakilkan pernikahannya pada wali hakim. Ia menyampaikan keluarga besarnya tak bisa datang karena beberapa alasan. Alasan yang tidak diperdulikan Kay yang sedang dimabuk cinta.
Demikian pula Kay, satu-satunya keluarga tersisa, Om Reza tak bisa hadir. Jarak dan tugasnya di tanah air adalah alasan yang tak bisa ditawar lagi.
Malam menjelang akad, di teras belakang rumahnya, Kay duduk termenung. Lamunannya jauh menerawang menembus batas-batas. Sebenarnya Kay tak menyangka bahwa dia akan sampai di gerbang pernikahan. Selama hidupnya ia kurang bergairah dengan segala tetek bengek persoalan cinta. Ia menghabiskan energi dan waktunya untuk sains dan bisnisnya. Namun takdir berkata lain, Tuhan mempertemukannya dengan Sha dengan cara yang ajaib.
Kay yang berhati dingin, benar-benar mencair saat bertemu pandang dengan sudut mata Sha yang mengkilapkan cahaya di Puzl Co Cafe. Kay merasakan apa yang banyak disebut penyair sebagai “yang tak terdefinisikan”. Ia ingat Jalaluddin Rumi, sufi legendaris yang pernah bertutur, “Cinta adalah laut ke tak adaan” . Ia pun teringat Ibnu Arabi yang dalam Al Futuhat pernah menulis “Cinta adalah minum tanpa hilang haus” yang kemudian menegaskan bahwa cinta itu tak terdefinisikan.
Yaa...Kay tak pernah menemukan definisi cinta. Ia tak pernah perduli dengan cinta, tapi kini ia merasakannya. Ia tak pernah mengundang rasa itu untuk datang, singgah, dan kemudian tinggal di hatinya. Rasa itu datang begitu saja seperti hantu yang datang tanpa diundang. Selama ini dalam pandangannya, cinta hanyalah proyeksi nafsu belaka. Cinta tak lebih dari sekedar alat yang digunakan manusia untuk menyatakan pada dunia bahwa ia ada. Cinta tak lebih dari sekedar kewajiban sejarah manusia untuk menegaskan bahwa mahluk beranama manusia itu pernah ada di dunia ini.
Kay seperti kena batunya. Ia yang selama ini tak perduli, kini dipaksa untuk acuh. Ia yang selama ini mengelak kini tertembak. Ia yang selama ini menghindar kini tertusuk. Kay tersenyum geli manakala mengingat itu semua. Ia jadi teringat pada sebuah obrolan santai dirinya dengan Pramad saat kuliah dulu. Pramad adalah mahasiswa asal India yang mengaku dirinya tampan. Playboy kampus, penebar jaring cinta paling efektif dan efisien. Selain mengaku tampan sesuai dengan namanya, dia juga punya kebiasaan aneh dan itu unik milik Pramad sendiri. Kalau kebiasaan umum orang India yang berbahasa Inggris sering menambahkan kata “na” setelah kalimat tanya. Pram berbeda, apapun konteks kalimatnya ia selalu mengawali kalimatnya dengan kata “na”. Hal yang lama kelamaan membuat Kay jengah.
Di taman kampus, beberapa tahun lalu, selepas kuliah, mereka bercakap sambil menikmati chocolate cup dengan toping krim diatasnya.
“Na...kamu pernah jatuh cinta Kay?”
“Hah...apa Pram?”
“Na...tuli rupanya kamu, kamu pernah jatuh cinta?”
“Oh...belum tuh, males”
“Na...hah...males, kok males emang kenapa?”
“Ya...males aja”
“Na...ya males kenapa, segala sesuatu kan ada alasannya Kay”
“Males Pram, aku males ngerasain sakitnya. Bukankah jatuh itu sakit Pram?. Aku malah ga ngerti kenapa manusia mau jatuh cinta, padahal dia tahu jatuh itu menyakitkan”
“Na...memang sakit, tapi ya jangan disamain dengan jatuh karena kepeleset atau karena ketubruk lah Kay!”
“Emang apa bedanya? Sama-sama sakit kan?”
“Na...bedalah, kalau jatuh biasa itu yang sakit fisik tapi kalau jatuh cinta yang sakit itu psikis kita, hati kita, emosi kita.”
“Nah...tuh kamu sendiri sudah tahu jawabannya. Pram, sakit psikis itu berat. Cinta membuat kita sakit jiwa. Cinta itu bikin kita gila Pram...Ih...males aku”
“Na...kamu itu belum pernah jatuh cinta kok sok tahu gitu sih?” Darimana kamu tahu sakitnya hati, emosi, gelisah kalau kamu belum pernah jatuh cinta, aneh kamu ini Kay.”
“Tidak semua pengetahuan datang dari pengalaman, tapi bisa datang dari rasionalisme, intuisi dan wahyu”
“Na...aku tahu itu, tapi cinta itu beda sama pengetahuan Kay. Cinta itu sepenuhnya empirik”
“Ah...masa sih Pram?”
“Na...kamu ga percaya Kay, coba kamu pakai rasionalisme yang kamu banggakan itu. Coba cari definisi cinta dari para ahli, para filsuf, para penyair, kamu bisa hafal tapi kamu tidak akan pernah benar-benar mengerti apa itu cinta.”
“Trus...”
“Na...coba kamu pakai intuisi kamu untuk menemukan cinta, pasti gagal Kay. Ga mungkin intuisi kamu jalan kalau kamu belum mengalami cinta.”
“Trus...”
“Na...kamu itu dari tadi trus, trus mulu pakai kata yang lain dong!”