Tepi pagi lima belas Desember. Musim gugur yang hangat. Di kanvas langit biru Baltimore, malaikat mencampur merah dan kuning hingga mentari jingga. Lantas mereka menaburkan awan jadi mozaik putih tipis, menggenapi romansa lukisan Tuhan yang sedang kasmaran. Eksotisme tercantik di langit bumi. Sayang, eksotisme itu berada di ujung nyawa. Eksotisme itu akan segera menemui ajalnya.
Sepoi angin senandungkan harmoni. Sentuhannya menjatuhkan dedaun maple yang sedang bertransformasi dari hijau ke kuning merah. Atas nama kesetiaan, dedaun itu tak pernah jatuh di musim lain selain musim gugur. Atas nama keindahan, dedaun itu selalu jatuh dalam tari romansa yang magis. Pun tentang dimana dedaun itu mendarat, bukanlah laku acak. Secara presisi, malaikat mengatur dimana setiap daun akan jatuh. Agar drama liturgi tak hilang makna.
Wendel Ave, jalan panjang di depan rumah Kay adalah jalan istimewa. Bila jalan-jalan lain pepohonannya homogen, Wendel Ave berbeda. Di sepanjang kiri jalan berderet maple, sementara di kanannya adalah Quaking Aspens. Bila maple merah kuning maka Quaking adalah kuning keemasan. Bila mereka berguguran, jalanan Wendel Ave, berubah jadi permadani jingga keemasan. Keindahan yang tak kan sempat membuat mata berkedip.
Tak hanya jalanan, rumput halaman yang hijau beranjak jadi gradasi mozaik merah kuning hijau yang menawan. Albert Camus sejenak melintas di batin Kay yang tengah terpana dengan eksotisme dedaunan musim gugur, “Musim gugur adalah musim semi kedua ketika setiap daun adalah bunga” petikan yang indah, bisik Kay.
Yaa, musim gugur adalah salah satu lukisan terindah Tuhan di muka bumi. Lukisan yang akan selalu dirindukan kedatangannya dan disesali kepergiannya. Musim gugur adalah semacam kado Tuhan untuk manusia. Kado untuk merayakan kemanusiaannya. Kado agar manusia tak lupa bersyukur. Kado agar manusia melupakan barang sejenak berat dan sesaknya kehidupan. Kado agar manusia rehat sejenak dari hiruk pikuk dunia yang tanpa akhir.
Angin musim gugur adalah mahluk yang mampu menggelitik pena para penyair. Seperti Aldo Leopold yang sangat Kay sukai, “Angin yang membuat musik di jagung November sedang terburu-buru. Batang berdengung, sekam yang longgar mengayun ke langit dalam putaran berputar-putar, dan angin bergegas...Sebuah pohon mencoba berdebat, anggota badan telanjang melambai, tetapi tidak ada yang menahan angin.”
Yaa...angin adalah penguasa musim gugur. Tak ada yang mampu menahannya. Angin adalah mahluk arogan, arogansi yang cantik. Ia tak hanya menggugurkan daun, tapi ia pun menyelisiki ruang paru-paru manusia dan mengisi penuh jiwa manusia dengan cinta. Itulah yang mungkin menggiring manusia untuk berpuisi bahwa musim gugur adalah musim cinta. Musim romansa.
Dalam kamar yang tak terlalu luas tapi hangat, Kay dan Sha sedang shalat Ashar berjamaah. Kay mengimami sebisanya. Sebuah kebiasaan yang mereka lakukan bila waktu dan kesempatan memungkinkan. Mereka menjalankan agama dengan senyum. Kay yang “lebih dulu” memeluk Islam karena telah berislam sejak lahir tak memaksakan agama pada Sha yang baru satu tahun setengah memeluk Islam. Tak pernah sekalipun Kay mengerutkan dahi apalagi membelalakan mata saat berbicara tentang agama pada Sha. Bahkan ia hanya menerangkan bila Sha bertanya. Ia tak pernah mengajari, ia tak pernah menasehatkan Islam lewat lisannya. Seperti yang diajarkan ustadz Halim, ia menjelaskan Islam lewat sikap, laku diri dan tentu saja semuanya diiringi senyum.
Adapun Sha, ia sangat menikmati hari-hari barunya bersama Kay. Kesederhanaan adalah rumah yang membuatnya larut dalam bahagia. Ia begitu menikmati setiap moment sederhananya bersama Kay. Cinta yang jauh untuk disebut mewah. Cinta tanpa kata-kata romantis, hanya canda tawa yang mengalir alami. Itulah romantisme mereka. Sha tidak merasa diperlakukan sebagai seorang ratu atau permaisuri apalagi bidadari, ia merasa diperlakukan sebagai manusia. Itulah yang membuatnya bahagia.
*****
April, dengan suka cita, malaikat membuka pintu gerbang musim semi. Sisa-sisa salju masih bercak di batang pepohon. Angin meruai, meliuk menjamahi sudut-sudut kota dengan lembut. Mengalun teliti seolah tak ingin melewati barang satu dua sudut. Sang waktu, dengan caranya yang unik mempercepat dirinya enam puluh menit. Daylight Saving Time, semesta menyimpan cahaya di siang hari. Manusia menikmatinya meski dengan itu mereka harus kehilangan sebagian jam tidurnya.
New york Botanical Garden, Tiga ribu pohon sakura hadiah persahabatan Jepang untuk masyarakat Amerika bermekaran. Sementara cherry di tepian kolam, merah ranum menawarkan diri untuk dipetik. Merah, kuning, ungu meliuk liuk mengikuti irama angin, bunga surga itu turun ke bumi, menginjakan kaki untuk pertama kalinya di tanah. Tempat ia akan menemui ajalnya.
Setiap kali melihat bunga sakura, Kay hampir selalu bergumam, “Sepertinya ada malaikat yang ceroboh. Saat menanam bunga ini di surga, dua tiga biji benih terlepas dari genggamannya. Lantas jatuh ke bumi. Tumbuh dan menghiasi bumi dengan indah. Mungkin malaikat itu menyesali kecerobohannya, tapi manusia mensyukurinya.”
Disebuah sudut taman, seorang musisi dengan gitar di tangan mendendangkan Here Comes The Sunnya The Beatles versi akustik yang brilian. Sha dan Kay bersenandung kecil mengikuti alunan irama indah buah karya Lennon Mc Cartney itu dengan ceria. Disanalah rupanya mereka menikmati matahari musim semi yang hangat. Tak diduga, selepas Here Comes The Sun, si penyanyi jalanan menyanyikan We Lost The Summernya TXT, group K-Pop yang jadi kegemaran Sha. Lagi, sebuah musik akustik yang brilian. Sementara Kay hanya mengikuti ketukan dengan kaki, Sha yang khatam lagu itu asyik bersenandung mengikuti petikan gitar musisi brilian itu.
“Cause we lost the summer, When we lost each other” syair indah itu mengalun lembut dari bibir tipis Sha. Kay sesekali melirik wanita bermata bulan itu. “Ah...dia istriku Tuhan,” bisiknya dalam hati. Meski belum dikarunia anak, Kay teramat bahagia hidup bersama Sha. Begitupun Sha, ia menikmati hari demi hari bersama suami tercintanya. Suami yang dulu ia sumpah serapahi lewat surat bertulis tangan dirinya. Suami yang dulu ia maki-maki di telepon. Kini laki-laki pintar itu telah jadi suaminya. Dalam jeda lagu, Sha sempat melirik Kay dan bergumam, “Ah...dia suamiku Tuhan.”
*****
Demikianlah cinta, saat bertemu sungai, ia akan mengalir dengan gelisah dan keruh, namun saat menemukan delta, ia memuara, ia akan tenang dan bening. Begitulah pernikahan, ia adalah muara dari dua arus sungai yang mencari titik temu. Tapi manusia tak boleh lupa bahwa muara sebenarnya dari aliran sungai cinta bukanlah delta yang bening dan tenang melainkan lautan. Ketenangan dan kebeningan cinta dalam delta hanyalah sesaat. Delta hanyalah persinggahan sementara perjalanan cinta. Manakala cinta benar-benar memasuki muara sejatinya, lautan, keganasan laut disertai dengan berbagai ancamannya siap mengeruhi beningnya cinta.
Cinta akan diuji dengan ombak ganas yang siap mengkaramkan perahu cinta terkokoh sekalipun. Cinta akan diuji oleh badai yang seringkali tak terdeteksi kapan datangnya. Tak terduga seberapa besar amuknya. Cinta akan diuji oleh hewan-hewan ganas lautan yang siap mencabik siapapun yang berani memasuki wilayahnya.
Sembilan bulan sudah Kay dan Sha berumah tangga. Semua baik-baik saja hingga tiba suatu hari dimana Kay merasa terusik. Terusik oleh dua tiga orang yang tampak memata-matai gerak geriknya. Kay dengan ketajaman firasatnya bukanlah orang biasa yang tidak bisa merasakan gangguan samar itu.
Sejak malam hari di rumahnya, pagi saat dia dan Sha lari pagi, saat dia pergi ke kantor, hingga saat dia bepergian ke luar kota atau luar negeri, Kay merasakan beberapa pasang mata terus mengintainya. Kay mencoba bersikap wajar, meski ia penasaran dengan niat para pengintainya itu. Tak ada yang terjadi, semuanya hanya sebatas cerita tentang pengintaian, tak ada kekerasan dan tindakan kriminal yang mereka lakukan, mereka hanya mengintai.
Pengintaian yang menelan waktu. Hampir tiga minggu sejak pertama kali di musim gugur itu pengintaian itu terus saja dirasakan Kay. Pernah dua tiga kali hal itu ia diskusikan dengan Sha.
“Sha, kamu ngerasa ada yang aneh nggak belakangan ini?”
“Aneh...? apanya yang aneh Kay?”
“Sepertinya ada yang memata-matai kita Sha, atau memata-matai aku mungkin.”
“Ah...aku ga ngerasain apa-apa Kay, mungkin perasaan kamu aja Kay?”
“Ya mungkin aja sih, tapi rasa dan firasatku merasakan ada yang sedang memata-matai kita Sha.”
“Kenapa kamu berpikir seperti itu Kay?”
“Coba deh kamu liat di CCTV kita, setiap malam ada saja mobil yang parkir semalaman di seberang jalan rumah kita.” Ujar Kay seraya merujuk CCTV canggih; salah satu produk perusahaannya sendiri. CCTV yang nyaris tak terlihat karena besarannya yang super mikro, yang menempel di beberapa titik strategis rumah mereka.
“Ah...bukannya itu hal yang biasa saja.”
“Gak Sha...ini ga biasa, coba entar kamu lihat lagi deh di rekaman CCTV kita dengan lebih teliti.”
“Oh...ok...ntar aku liat.” Jawab Sha terkesan tak acuh.
“Bukan cuma itu Sha, kalau aku pergi ke kantor, aku ngerasa ada yang mengikuti dan memata-mataiku.”
“Oh ya...kenapa kita ga lapor polisi aja.”
“Yah ga mungkin lah Sha, ga ada bukti.”
“Oh iya yah.” jawab Sha polos.
“Terus Sha...setiap kali aku pergi keluar kota atau ke luar negeri, di pesawat aku juga ngerasa ada yang memata-mataiku Sha.”
“Wah...gawat kalau begitu Kay, terus kita harus gimana?”
“Aku juga belum tahu Sha, tapi kita lihat ke depan lah, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa.”
“Ya...Amin...”
*****
Bandara Internasional New Orleans Louis Amstrong, bandara yang indah. Mata Kay yang binar terkagum muncul dari balik jendela pesawat Southwest Airlines. Saat menuruni tangga pesawat ada yang mendesir di kuduknya. Ia kembali merasakan kehadiran mata-mata yang mengawasinya. Hal yang baru ia rasakan sesaat setelah menapakan kakinya di aspal bandara. Sementara selama di pesawat ia tak merasakan kehadiran mata-mata itu.
Kay merasa terganggu, kali ini bila ia bisa memergoki mata-mata itu ia akan berteriak dan memintanya pergi dari kehidupannya. Ia menuju pintu keluar bandara, dimana disana panitia telah menjanjikan untuk menjemputnya. Dan syukurlah, tak jauh dari pintu keluar sebuah Range Rover Autobiography Black Edition dengan seorang berjas hitam mengangkat papan nama bertuliskan “Mr. Kay” telah berdiri menunggunya.
Tak lama kemudian ia sudah duduk nyaman di jok belakang Range Rover yang rupanya sudah dimodifikasi pemiliknya. Ada yang berbeda dengan mobil itu. Jok depan dan belakang dibatasi kaca hitam tebal. Kay duduk sendirian, sementara seorang sopir dan penjemputnya tadi duduk di depan. Kay tak bisa menikmati pemandangan New Orleans karena kaca tebal hitam double purpose menghalangi keindahan kota Jazz yang banyak jadi buah bibir itu.