Kay anak kampung Wangun yang telah mencicipi aroma musim gugur Baltimore yang menakjubkan, sempat menikmati musim semi yang penuh romansa di Maryland, kini terpaksa harus pulang kampung. “Dari kampung kembali ke kampung” , gumamnya dengan seulas senyum getir. Tujuan pertama yang terlintas di pikiran Kay adalah mencari pusara ibunya, Ainun. Entahlah, sebenarnya ia tak mempunyai informasi apapun tentang keberadaan makam ibunya, ia hanya mengikuti firasatnya saja. Firasat seorang anak yang merindu kasih seorang ibu.
Kay tidak bertanya pada siapapun saat mencari makam ibunya. Entahlah ia merasa enggan. Mungkin goresan luka masa lalu masih berbekas bahkan berkarat dihatinya. Masih jelas diingatannya bagaimana anak-anak desa Wangun memanggilnya “Tuh anak si ébél” (Tuh anak orang gila). Rasa sakit hati yang membuatnya enggan bertanya. Iapun enggan dan tak mau dikenali sebagai si Rimba. Anak kampung Wangun. Anak si Kalam yang gila, atau anak si Ainun yang suaminya gila.
Begitulah semesta, ia menuntun anak manusia yang tulus merindu. Anak manusia yang dilanda hiraeth. Membimbing langkah demi langkah anak manusia yang merindu cinta ibunya. Setelah menempuh lebih dari tiga jam perjalanan di desa Wangun ia berhasil menemukan pusara ibunya. Tak terperi kegembiraannya saat menemukan pusara ibunya. Padung bertuliskan nama ibunya, Ainun, meski samar, tapi itu sudah cukup bagi Kay untuk meyakini bahwa itu memang makam ibunya. Perempuan luar biasa yang teramat ia cintai.
Pusara itu letaknya tak jauh dari pohon Johar tempat dulu ia tinggal. Pohon itu kini sudah tak ada. Tak ada jejak sejarah yang bisa dinapaktilasi Kay. Pohon itu telah tumbang dan habis dimakan usia. Hanya sedikit sisa akarnya yang menyembul ke permukaan. Kuburan itu terpencil, ia berada di balik rerimbun pohon bambu yang rapat menutupi keberadaan kuburan itu
Tapi , anehnya kuburan itu tampak terawat. Tak ada belukar disana. Rerumputan liarpun tak tampak. Bahkan diatas pusara, tampak taburan bunga mawar dan melati yang masih segar, . Mawar dan melati yang menghiasi rumah peristirahatan terakhir ibunya.
Makam itu berupa gundukan tanah merah dengan padung (kayu penanda) yang tulisannya sudah samar. Hanya ‘Ain..” yang masih bisa terbaca tanpa tanggal lahir, tanpa tanggal kematian. “Alhamdulilah, ternyata ibu ada yang memakamkan dan bunga-bunga segar itu. Ah siapa rupanya yang mengunjungi dan merawat makam ibu?” gumam Kay dalam hati. Siapapun pelakunya, Kay amatlah berterimakasih.
Lamunan Kay melayang, mencoba menerka-nerka apa yang terjadi dengan ibunya dulu. Mungkin jasad ibu ditemukan warga yang mengenalinya dan dikuburkan di dekat pohon Johar, rumah mereka dulu.. Ibunya tidak dimakamkan di pemakamam umum yang letaknya kurang lebih tiga km dari pohon Johar bekas rumahnya dulu. Entahlah, apakah warga Wangun tidak suka dengan keluarga Kalam, ayahnya yang gila atau apa, Kay tidak perduli. Baginya, ibunya dimakamkan saja sudah bersyukur.
Kini lamunannya terbang menerka-nerka siapa yang menaburi bunga di makam ibunya. Setelah memeras otaknya ia sampai pada sebuah dugaan bahwa orang itu pasti kenal dengan ibunya. Ia mulai meraba-raba silsilah keluarganya. Ia hanyut menelusuri pancakaki (jalur keturunan keluarga) keluarganya. Setelah lama meraba-raba, sebuah nama lantas menarik-narik ingatannya untuk menyimpulkan. Abah Wira, paman ibunya. Yaa...nama itulah yang kemudian terlintas dan diyakini Kay sebagai penabur bunga di makam ibunya.
Karena tidak punya banyak pilihan, maka nama Abah Wira yang dulu ketika kecil ia baru dua atau tiga kali bertemu menjadi tujuan Kay berikutnya. Meski terakhir kali ia berkunjung ke rumah bah Wira adalah saat ia masih sangat kecil, namun ia bisa mengingat arah dan tempat rumah bah Wira. Maka, setelah berpuas dengan doa dan tangisan diatas pusara ibunya. Kay melangkah, dengan satu tujuan, rumah bah Wira.
Tidak seperti hutan Wangun yang masih tetap terjaga keasliannya, Desa Wangun sudah banyak berubah. Ia nampak lebih berwarna . Dulu desa Wangun monokrom, hitam putih. Sekarang, meski lebih berwarna, dimata Kay, justru Wangun tampak lebih renta. Renta yang berwarna, atau berwarna tapi renta. Jalan yang dulu sempit dan becek bila hujan sekarang sudah beraspal meski dibeberapa bagian terdapat lubang-lubang kecil yang digenangi air hujan. Hitam pekat tapi renta.
Pepohonan yang ditanam alam di sepanjang sisi jalan desa, kini berganti dengan pepohonan yang ditanam warga, hijau namun renta. Rumah-rumah panggung yang dulu kusam kini sebagian besar telah berubah jadi rumah semi permanen putih-putih namun renta. Entah dengan para penghuninya? Apakah mereka telah berubah?. Yang Kay rasakan, sepanjang ia berjalan menelusuri jalan aspal dan melewati rumah-rumah penduduk, tak satupun yang menyapa namanya, Kay yakin tak ada yang mengenalinya. Kalaupun mereka menyapa, sapaan itu hanya sebatas kata “punten” dan “mangga”.
Satu hal yang membuat Kay terkejut adalah kenyataan bahwa hampir setiap orang yang ditemuinya, baik di jalan maupun di beranda rumah, mereka semua memegang ponsel. Layaknya masyarakat urban, mereka juga tampak larut dalam keasyikan dunia maya yang memang menggoda. Mereka lebih memperhatikan ponselnya dibanding orang yang bersua dengan mereka di jalan. Hmm...apakah ini modernisasi?
Begitulah dunia dan manusia sebagai penghuninya, mereka berlomba menggapai apa yang mereka sebut modernitas, berebut saling sikut untuk mendapat gelar manusia modern. Dalam upayanya meraih modernitas, manusia dimanjakan oleh teknologi. Teknologi yang memberikan mereka aneka kemudahan. Kemudahan yang kemudian menggiring manusia sampai pada titik jenuh dengan lebih cepat. Teknologi memang mengakselerasi pencapaian namun tanpa disadari mengakselerasi juga kejenuhan.
Manusia-manusia yang jenuh di dunia yang renta adalah mayat-mayat hidup yang kehilangan kemanusiaannya. Mereka berubah menjadi monster-monster mengerikan yang melahap sisa-sisa kebijaksanaan hidup dengan rakus. Lihatlah sebagian kaum ibu yang dulu dikenal begitu santun dan lembut kini berubah jadi “the power of emak-emak” yang siap menyalip setiap kendaraan di depannya dengan send terbalik. Emak-emak yang siap melawan siapapun yang menegurnya meski dialah yang sebenarnya berbuat salah. Emak-emak yang tak kenal budaya antri. Mereka adalah manusia modern yang kehilangan nilai kehidupan.
Masyarakat desa yang dulu begitu santun, perlahan tapi pasti mulai kehilangan ciri khasnya. Mereka kini menunduk bukan karena santun saat bertemu orang, tapi menunduk karena asyik dengan dunia maya yang melenakannya.
Rumah abah Wira yang dituju Kay adalah satu-satunya orang yang mungkin masih Kay kenal. Abah Wira adalah paman dari ibunnya Kay, Ainun.. Kay berjudi, ia tidak yakin abah Wira masih hidup, masih ingat padanya, atau kalaupun masih ingat, apakah ia masih mau menerimanya, entahlah. Ada bimbang yang menghalangi jalan, tapi waktu terus melipat kesempatan, hingga ia harus bergegas.
Kay juga ingat saat dulu terusir dari rumahnya, Abah Wira sedang merantau ke Malaysia, jadi TKA disana, tepatnya di perkebunan sawit milik sebuah perusahaan swasta. Kay meragu, apakah abah Wira sudah kembali dari Malaysia atau dia masih tinggal disana. Ah entahlah, ia mencoba saja tetap melangkah.
Rumah abah Wira berada di ujung desa Wangun. Jauh juga dari rumah Kay yang dulu dirampas juragan Firly. Rumah yang terpencil dari rumah-rumah penduduk desa Wangun lainnya. Masih sama dengan puluhan tahun lalu, rumah itu masih berupa rumah panggung dengan beberapa lubang di dinding. Sudah lama rupanya kayu-kayu itu tidak mandi cat. Warnanya begitu kusam. Tapi bagi Kay meskipun kusam ia tampak muda. “Assalaamu’alaikum...sampurasun...” ujar Kay dua tiga kali.
“Wa’alaikum salam ...rampes...” jawab seorang laki-laki renta berbaju dan celana hitam lengkap dengan totopong (ikat kepala batik khas orang Sunda) di kepalanya, dia abah Wira. Kay segera meraih tangan yang sudah teramat renta itu untuk diciumnya dengan penuh rengkuh. Abah Wira masih termangu, rupanya ia belum mengenal sosok pencium tangannya itu.
“Bah...damang (sehat) ? tanya Kay ramah.
“Alhamdulilah...saé (sehat)..ké...saha ieu teh? (sebentar...siapa ini ya?)