KALA'KAY'

kieva aulian
Chapter #13

13. Keledai Kebun Cengkeh

Segar udara Desa Wangun dihirup Kay dalam-dalam. Udaranya jauh lebih segar dari udara Baltimore yang cenderung dingin. Desa yang hijau. Pohon adalah warga mayoritas desa Wangun. Jumlahnya jauh melebihi populasi manusianya. Mereka memasok udara bersih bagi paru-paru para penghuni desa. Mereka juga yang memberikan lindungan ketika mentari terik menyengat. Kay menelusuri jalan setapak. Kanan kirinya adalah mahoni, kelapa, kersen, beringin dan beberapa pohon karet serta cengkeh di halaman rumah penduduk.

Pohon-pohon itu adalah rumah yang ramah untuk para burung. Anis kembang, anis gunung dan anis merah silih berganti hinggap di dahan mahoni yang berjejer rapi di sepanjang tepi jalan. Sementara caladi dan cikrak mahkota coklat asyik bertengger di dahan kersen yang tengah merah ranum . Matahari masih malu-malu, mengintip di balik punggung gunung Lanjung. Sementara sudah sedari tadi ayam jago ribut dengan kokoknya mengusik tidur.

Selepas jalan setapak, langkah Kay mulai menginjak aspal yang mulus. Sejauh mata memandang adalah cengkeh. Cengkeh, yang katanya tanaman rakyat itu berjajar lurus seperti tentara hendak perang. Sebagiannya tengah digelayuti bunga merah kehijauan. Beberapa puyuh batu melintas takut-takut diantara pohon-pohon cengkeh yang rindang. Sekerat kabut masih merayapi jalan aspal yang hitam memanjang. Kabut, sesuatu yang sudah sangat lama tak dijumpainya. “Yaa Allah keindahan yang tak terperi,” bisik Kay dalam hati.

Di seberang kebun cengkeh, hijau kotak kotak. Sawah menghorizon indah dan luas. Meski tak seluas dulu, ia masih mempertontonkan kecantikannya. Hijau mengalirkan kesegaran ke dalam relung-relung jiwa. Hijau yang meneduhkan mata. Bondol haji bergerombol merampoki bulir-bulir padi yang sedang ranum. Bebegig (orang-orangan sawah) tak digubrisnya. Teriakan petani dari kejauhan juga tak dihiraukannya.

Di sepanjang jalan sisi persawahan, air bening mengalir tanpa halangan. Saluran irigasi yang terpelihara, mengaliri sawah petani dengan riang. Hijau-hijau berkantung kuning, bulir-bulir padi siap dipanen. Sejenak langkahnya terhenti, kawanan meri (itik) tanpa komando menyeberang. Penyeberang yang arogan. Siapapun harus berhenti selagi mereka menyeberang. Arogansi yang indah. Berjejer rapi menggunakan insting, riuhnya menggema di seantero desa. Kay menikmati arogansi para itik dengan seulas senyum. Peternak, sang tuan, berjalan paling belakang, mulutnya bungkam. Ia tak perlu bersusah payah mengatur dan menghalau pasukannya. Ia hanya mengikuti dari belakang dan membiarkan Tuhan yang mengatur pasukannya.

Selepas pasukan berani hidup itu lewat, Kay melanjutkan langkahnya. Namun tak lama, ia kembali harus menghentikan langkahnya saat sekawanan kambing datang melintas. Tubuh mereka gemuk-gemuk tanda tak kekurangan pakan. Padang rumput di sela-sela pohon cengkeh adalah surga makanan mereka. Usai mereka menyeberang, Kay tak lantas melangkah, ia ingin menikmati pemandangan indah itu. Ia ikut menikmati lahapnya para kambing menyantap hidangan Tuhan. Keindahan itu tuntas diregup Kay, lantas ia simpan dalam benaknya dan membiarkannya tinggal selamanya, agar jiwanya tetap hijau, indah dan sejuk.

Setelah berjalan lagi beberapa menit sampailah ia di kebun Abah Wira.

“Abah nanem cengkeh juga ya?”

“Iya lumayan Kay buat nambah-nambah.”

“Berapa umurnya cengkeh ini Bah?”

“Sudah lebih dari lima tahun, sudah dua kali panen lumayanlah.”

“Abah jual kering atau basah?”

“Jual kering Kay, ke perusahaannya almarhum juragan Firly”

Blarr!!! Nama itu tiba-tiba menyengat jiwa Kay. Nama itulah yang terpatri di memorinya sebagai penyebab utama ayahnya gila.

“Hey...kenapa ngelamun? Kamu masih marah sama juragan Firly?”

“Oh...ngg...nggak Bah...nggak”

“Atau jangan-jangan kamu menyimpan dendam ya sama dia?”

“Ah nggak bah...nggak” kilah Kay.

“Syukurlah kalau kamu ga dendam, percuma dendam ga ada manfaatnya, ikhlaskan saja Kay...lepaskan saja Kay”

“Iy...iya Bah.” Ingatan Kay hinggap di sosok Om Reza yang dulu juga sempat menasehatinya untuk tak mendendam.

“Juragan Firly meninggal lima tahun lalu Kay. Posisinya sekarang diganti oleh bu Firly dibantu dua anaknya, pak David dan neng Rhea.”

“Oh..innalillaahi wa inna ilaihi rojiuun

Abah Wira mengajak Kay duduk dibawah pohon mangga besar yang usianya sudah amat renta. Pohon yang sudah banyak jasa dengan buahnya dan lindungannya. Berteman dua gelas teh pahit dan empat potong jagung rebus mereka pun bersulang cakap di tengah terik matahari yang turut menguping.

“Kay, memang balas dendam itu sepintas seperti tindakan yang wajar, namun sebenarnya itu adalah bentuk kekerdilan jiwa manusia”

“Ehm...maksud abah?” tanya Kay dengan kening yang berkerut

“Ya...balas dendam itu hanya sekedar memenuhi keinginan nafsu namun sejatinya ia akan melahirkan dendam baru. Kay...manusia yang selalu memperturutkan nafsunya adalah manusia yang kerdil jiwanya”. Kay terkagum dengan kebernasan Abah Wira. Ia tak menyangka sosok yang begitu sederhana ternyata menyimpan kebijaksanaan yang luar biasa.

“Kay...kamu pernah dengar dongeng kaum Hodo dan Groma?”

“Oh...belum Bah, ceritain dong Bah?”

“Dalam legenda itu diceritakan di dunia raksasa ada dua kaum, Hodo dan Groma. Hodo dipimpin oleh seorang raja bernama Dewa Yagi. Suatu ketika kaum Groma yang terkenal serakah berusaha memusnahkan kaum Hodo”

Hening sejenak. Abah Wira seolah menguji ketertarikan Kay.

“Terus gimana Bah...”

“Ha...ha...kamu tertarik juga rupanya Kay.”

“Iya lah Bah, Kay suka dongeng-dongeng seperti itu”

“Ya sudah abah terusin. Para dewa Groma menyerang Yagi yang memiliki organ tubuh yang ajaib. Saat mereka berhasil menusuk Yagi, darah Yagi menyembur begitu deras. Darah itu hampir menenggelamkan negeri Hodo.”

Sejumput teh pahit sempat mampir di tenggorokan abah Wira, sebelum ia melanjutkan dongengnya.

“Para dewa Groma bersuka cita. Mereka mengira semua kaum Hodo telah punah ditelan air bah darah dewa Yagi. Ternyata mereka salah, ada sepasang suami istri yang selamat dari pemusnahan, yakni Amidor dan istrinya.” Abah kembali jeda, sekedar mengambil nafas.

“Berminggu-minggu keduanya terombang-ambing ombak hingga akhirnya terdampar di sebuah pulau yang kemudian mereka namai Sagosa. Disanalah mereka beranak pinak hingga akhirnya menjadi sebuah negeri yang kemudian dipimpin Amidor sebagai raja.”

“Terus mereka membalas dendam kepada kaum Groma Bah?” tanya Kay.

Lihat selengkapnya