“Jadi gimana? kamu serius sama si Rhe, kan?” tanya bu Firly pada Kay. Mereka bertiga di ruangan direktur. Bu Firly yang menyukai Kay, memanggil Kay dan Rhea untuk dirintisnya sebuah jalan penyatuan atas cinta mereka. Bu Firly bukan hanya suka, tapi ia juga kagum akan kemampuan Kay memajukan perusahaan. Dalam pikirannya, bila ia menikahkan Kay dengan Rhea maka perusahaan turun temurun itu akan terjaga bahkan akan maju pesat di masa depannya.
“Gimana Kay?” ulang bu Firly tegas namun ramah.
“Euh...maksud Nyonya gimana ya? saya tidak faham.” Jawab Kay bingung. Sementara Rhea duduk tertunduk dengan jantung berdegup kencang. Ia takut ibunya yang terkenal egois, arogan dan emosional itu akan menghancurkan “cinta tanpa kata” mereka.
“Ah pake pura-pura segala kamu Kay, kamu suka kan sama si Rhe?”
“Su..suka gimana ya Nyonya?”
“Suka...cinta...cinta...kamu cinta kan sama si Rhea?”
“Oh....euh saya ...euh gimana ya...” ujar Kay ragu.. Jauh di lubuk hatinya sebenarnya masih ada luka yang bernanah. Ia masih belum mampu melupakan luka sejarah keluarganya. Tapi ia pun tak bisa memungkiri bahwa ada rasa suka pada sosok Rhea, tapi ia tak tahu apakah itu cinta atau hanya sekedar suka yang hanya lewat dan mampir sekejap.
Belum lagi trauma kegagalan pernikahan pertamanya dengan Sha yang masih membekas luka. Meskipun ia sudah berikrar untuk lebih menatap masa depan dibanding menangisi masa lalu, penghianatan itu masih sering datang dalam lamunan dan mimpinya, betapa pilu hatinya mengingat apa yang telah dilakukan Sha pada cinta mereka.
“Oh...jangan-jangan kamu tidak suka pada si Rhea anak saya yah?” bu Firly mulai menunjukan sifat egois dan arogannya.
“Oh...bukan...bukan begitu Nyonya, siapa yang tak suka dengan wanita seperti Rhea.” elak Kay.
“Jadi kamu suka kan sama Rhea?”
“Iy...iya...Nyonya, saya suka.”
“Nah...gitu dong gentle, saya suka itu”
Plong...ada rasa senang yang menjalari hati Rhea. Dia tak menyangka kalau ibunya tidak marah.
“Kalau memang kamu suka sama si Rhea, ya kalian menikahlah!” ujar bu Firly tanpa tedeng aling-aling.
“A...apa menikah?” tanya Kay kaget.
“Iya...menikah, tak baik cinta itu dibiarkan berlama-lama tanpa ikatan. Sudah...menikahlah kalian!” tandas bu Firly tegas.
“Ta...tapi Nyonya...euh...”
“Kenapa? Kamu ragu? Kamu takut ga bisa ngidupin si Rhea, kamu tenang aja, biar semuanya saya yang atur.”
Suatu ungkapan arogan yang sangat dibenci Kay. Sejak dari dulu ia sangat menjunjung tinggi spirit mandiri. Ia tidak suka diberi, ia jauh lebih suka memberi.
“Nah...kamu gimana Rhe? Kamu mau kan nikah sama Kay?”
“Euh...iy...iya Moms.” jawab Rhea terbata namun menyiratkan bahagia yang teramat sangat.
“Nah baguslah kalau begitu. Sudah, kalian tenang saja, semuanya biar Moms yang ngatur.
*****
Malam sehabis Isya. Bulan kuning oranye. Cicada jantan dengan tymbalsnya bernyanyi “klik” saling bersahutan. Walang kerik menimpalinya dengan bising. Jangkrik sang ikonik malam tak mau ketinggalan menyemarakan simfoni malam itu. Tapi tiba-tiba seperti “gaang katincak” (Orong-orong terinjak) mereka bisu, diam terpaku, ketika suara petikan kecapi mengalun pelan. Mendayu, menenangkan mereka yang berisik sedari tadi maghrib.
Appoggiatura petikan kecapi yang mengiris hati, menerbangkan kenangan, mencabik rasa rindu jadi serpihan puisi tanpa judul. Merecah nostalgi jadi bulir-bulir air mata yang gerimis membasahi udara. Ruang dan waktu mengabur terbawa alunan kecapi yang mengaliri sungai hati. Denting dawainya meninju-ninju hati yang berawan jadi mega hitam yang kemudian berarak menuju titik pencurahan. Jadi embun yang menemani kesedihan.
Petikan itu diikuti lantunan suara, suara bah Wira. Indah tak terperi. Ia memang seniman penjaga marwah seni sunda. Suaranya mengalun, liriknya mengiris jiwa Kay yang melayang entah kemana.
“Kanyaah indung mo suwung (Cinta ibumu tak berbentuk)
Lir jaladri tanpa tepi (Seperti laut tak bertepi)
Lir gunung tanpa tutugan (Seperti gunung tanpa lembah)
Asihna teuing ku wening ( Kasihnya teramat suci)
Putra teh didama dama (Anaknya dipuja-puja)
Dianggo pupunden ati (Dijadikan pujaan hati)
Seketika lamunan Kay melayang ke sosok ibunya, Ainun. Rasa rindu begitu mengiris hati. Jiwanya menangis, merindukan belai ibu di setiap malamnya. Ia menangisi dirinya karena tak sempat berbakti pada ibunya. Tak sempat membahagiakan dan membanggakan ibunya. Ibu yang teramat dirindukan kini telah tertidur selamanya. Ibu yang tatapannya bening. Ibu yang senyumnya cahaya. Ibu yang air matanya telaga. Tak terasa, air mata Kay menetes membasahi pipinya yang cekung.
Suara Bah Wira berhenti sesaat. Tak lama kemudian, pupuh sinom Cirebonan, mengalun dari pita suaranya.