KALA'KAY'

kieva aulian
Chapter #18

18. Bara di Ujung Desa

Malam jatuh, menyelimuti desa Wangun dengan gelap dan sunyi. Di balik selimut malam, tiga orang pria mengendap-ngendap di semak-semak belakang rumah abah Wira. Malam semakin menghitamkan mereka yang berpakaian serba hitam. Dengan gerakan kilat yang nyaris tanpa suara tiga jerigen bensin telah usai mereka tebar di sekililing rumah. Dengan satu jentikan jari, api pun meraksasa, menggunung, mengurung dua anak manusia yang tengah dilena mimpi didalamnya.

Api menggunung dengan cepat, meretas melahap rumah abah Wira yang sudah renta. Dibantu angin yang mendorong-dorong sang api untuk menggila. Bara itu menggeretas keras meninju sunyi malam yang semula hening. Ketiga orang itu berkumpul di kejauhan, sepertinya mereka ingin memastikan bahwa kedua penghuni rumah ikut musnah dilalap sang kobar yang lalim.

Kay adalah orang pertama yang menyadari bahaya maut datang mengancam. Rasa panas, suara geretas kayu terbakar dan asap yang mengepul menarik-narik indera penciuman Kay. Kaget, ia pun terbangun. Terbangun di tengah bara yang ganas mengepung. Hal pertama yang muncul di pikirannya adalah abah Wira.

Ia mencoba bergerak keluar dari kamar, tapi sulit, api sudah sangat dekat dengan tubuhnya. Tapi rasa khawatir dan cintanya pada abah Wira membuatnya nekad menembus api. Kulitnya dijilat api. Perih tapi ia tak perduli. Ia terus merangsek keluar dari kamar dan menghampiri pintu kamar abah Wira.

Dengan luka yang mengeluarkan aroma gosong di lengan kanannya, Kay sampai di depan pintu kamar abah Wira. Api sudah hampir menelan semua yang ada dalam rumah. Disudut itu asap hitam mengepul tebal. Kay tak mampu melihat dengan jelas keadaan di sekitarnya.

Ternyata pintu itu terkunci dari dalam, sekuat tenaga ia membuka meski tangannya panas membara menggenggam pegangan pintu yang sudah memerah. Betapapun ia memaksa membukanya pintu itu tetap geming. Lamat-lamat terdengar suara batuk dari dalam kamar, tapi itu tak lama. Perlahan suara itu menghilang dan tak terdengar lagi dari dalam kamar. Rupanya abah Wira yang sedang sakit, jatuh pingsan.

“Bah...Abah....ayo keluar Bah...!” seru Kay setengah menahan tangis.

Lengan kanannya yang luka bakar ia jadikan alat untuk menggedor pintu itu. Setelah berpuluh kali ia mendobrak, pintu tebal itu akhirnya berhasil dibukanya. Tubuh bah Wira tergeletak di lantai samping kasur. Tubuhnya tak bergerak, nafasnya lemah dengan jeda yang lama. Sementara api semakin mendekat, bahkan sesekali mampu menjilat kulit Kay dan abah Wira.

Kay tak punya pilihan, ia harus membopong abah Wira keluar, apapun resikonya. Ia mengambil selimut yang menghitam di sudut ranjang. Diselimutinya tubuh abah Wira dan ia pun segera membopongnya.

Dua tiga langkah keluar dari kamar bah Wira, sebuah balok kayu besar dari atap rumah yang terbakar, berderak. Tanpa disadari Kay, balok kayu itu perlahan runtuh dan “Blak!!!” balok kayu besar yang merah bara itu menimpa bambu-bambu penyangga rumah. Bambu yang meruncing setelah tertimpa balok kayu itu, menusuk paha kanan Kay. Tak sampai disitu balok kayu yang membara itu jatuh menindih tubuh Kay dengan kejam. Kay kehilangan kesadaran untuk beberapa saat.

Hingga percikan dan semburan air datang tiba-tiba dari arah luar. Teriakan-teriakan warga yang akhirnya tersadar telah terjadi kebakaran datang memberikan bantuan. Puluhan orang berupaya keras memadamkan api. Tetapi mereka tidak berani masuk, karena kobaran api sudah sangat besar dan tak mampu mereka padamkan. Kay yang kembali menemukan kesadarannya setelah wajahnya menerima semburan air segera bangkit. Mengangkat balok kayu yang menindih tubuhnya. Sementara bilah bambu runcing tetap menancap dalam di pahanya. Darah yang menyemburat dari pahanya tak dirasakannya.

Tubuh abah Wira yang sudah tak bergerak kembali dibopongnya. Seperti orang gila yang kehilangan akal dan dengan kekuatan tersisa Kay berlari menembus api hingga mampu keluar dan kemudian jatuh pingsan di halaman depan rumah abah Wira yang tinggal tulang menghitam.

Ketiga laki-laki pembakar sudah lama beranjak dari situ. Mereka takut dipergoki warga yang mulai datang berkerumun.

Abah Wira tak tertolong. Tubuhnya yang sudah renta ditambah sakit yang tengah mendera membuatnya tak mampu lolos dari maut yang ditebar manusia-manusia laknat yang lalim. Sementara Kay selamat meski dengan bilah bambu yang menancap dalam di pahanya dan luka bakar yang cukup parah di lengan dan tangan kanannya. Sepeda ontel tua yang tak pernah masuk rumah, turut selamat. Ia jadi satu-satunya milik Kay yang tersisa.

*****

. Tumpukan tanah merah. Ini adalah pusara kehilangan yang kesekian kalinya untuk Kay. Abah Wira, kakek sekaligus orang tua tersisanya kini telah kembali ke haribaan Ilahi yang rupanya rindu padanya. Pusara bah Wira disandingkan Kay dengan pusara ibunya, Ainun. Lagi, sehelai kalakay gugur. Jatuh ke tanah basah.

Rasa pedih karena kehilangan, mampu melupakan Kay dari rasa sakit kulitnya yang terbakar. Mampu melupakan rasa perih akibat luka dalam di pahanya yang tak henti mengucurkan darah. Kay yang kembali terluka. Kay yang kembali kehilangan. Kini duduk terkulai di pusara bah Wira. Satu-satunya orang tercinta yang tersisa.

Air mata kehilangan bersulang dengan air mata amarah yang membuncah. Ia yakin rumah mereka secara sengaja dibakar orang. Percis seperti peristiwa pembakaran markas ‘D’Kawanas’ di dekat stasion dulu. Bau bensin masih cukup kuat menusuk-nusuk hidung keluar dari bangkai kebakaran yang menghitam.

Antara pedih dan marah, pikirannya mengelana mencari-cari sosok yang menjadi aktor dibalik laku jahat itu. Pikirannya hinggap di sosok mandor Didin. Sudah lama mandor Didin menampakan ketaksukaannya pada keberhasilan Kay memajukan perusahaan hingga diberi kedudukan manajer produksi, yang itu berarti mendepak dirinya dari kursi empuk itu.

Ya tak salah lagi, pasti dia orangnya! Seru Kay dalam hati. Tanpa pikir panjang lagi ia segera beranjak meski dengan kaki yang teringsut menahan sakit, menuju rumah mandor Didin untuk menuntut balas. Pesan abah Wira dan Om Reza untuk tak membalas dendam tak lagi dihiraukannya. Sudah cukup! Geram hatinya tatkala mengingat nasihat bijak itu.

Dengan langkah garang ia bergerak. Tak butuh waktu lama untuk sampai di rumah megah mandor Didin. Kay datang dari arah belakang rumah. Tepat sebelum ia lantang berteriak, Kay tersedak saat mendengar suara makian dari arah halaman belakang rumah mandor Didin. Niatnya untuk berteriak memanggil mandor Didin terjeda sesaat.

Ia pun menunda hardikannya. Kay menyelinap dibalik pohon-pohon besar yang berdiri kokoh di sekitar benteng berongga yang mengelilingi rumah mandor Didin. Dari rongga itu Kay dengan jelas bisa melihat dan mendengar apa yang sedang terjadi di dalam.

“Goblok kamu!” dan “Plak!!!” entah untuk keberapa kalinya tamparan David mendarat telak di pipi kanan kiri mandor Didin. Mereka tidak berdua, sosok bu Firly pun ada disitu. Pikiran Kay segera terbang mengelana mencari jawab atas drama yang tengah dipertontonkan dihadapannya, “apa yang sebenarnya terjadi?”, gumamnya dalam hati.

“Ma...maaf Bos...euh Nyonya....saya ngaku salah.”

“Hah percuma kamu minta maaf Din. Kamu memang ga becus!” bentak David.

“Percuma kamu saya bayar mahal Din, hanya untuk membakar sampai mati dua orang saja kamu ga bisa.” Lirih suara bu Firly menghantam benak Kay.

“Si Kay, anak wanita jalang itu masih hidup, kamu memang ga becus!” lagi bentak bu Firly. Kedua orang di dalam drama itu , bu Firly dan David tak sadar bahwa emosi telah membutakan mereka. Mereka terus saja berteriak, seolah tak takut rahasia mereka akan mengudara dan didengar oleh telinga semesta.

“Kamu kan tahu Din, saya menaruh dendam pada si Ainun, wanita jalang itu!” bentak bu Firly dengan emosi bercampur tangis. “Blam!!” rupanya wanita jalang yang sedari tadi diteriakan bu Firly adalah Ainun, ibunya. Merah mata Kay dibakar api amarah yang meluap dari dalam dadanya. Bila tak ingat keadaan, ia pasti akan berlari dan melabrak tiga orang jahanam yang kini berdiri dihadapannya.

“Iy...iya nyonya saya minta maaf.” Gemetar suara mandor Didin ketakutan.

“Sudah lama saya ingin membunuh wanita jalang itu, tapi sialnya dia keburu menghilang dan mati sendiri. Nah...sekarang anak wanita jalang itu muncul di depan mata, aku bener-bener muak, aku ingin sekali dia mati hangus terbakar sebagaimana wanita jalang itu telah membakar hatiku dengan cemburu.” Ungkap bu Firly seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri.

“Anak jahanam yang nyaris aku nikahkan dengan anakku sendiri, tapi kamu gagal membunuhnya Din...kamu gagal...! selalu gagal!” bentak bu Firly menahan tangis.

“Ma...maaf Nyonya.”

“Ok...kamu saya maafkan, saya kasih satu kesempatan lagi. Habisi dia...habisi si Kay anak jahanam itu! Tapi inget kalau kamu gagal lagi maka kamu yang akan saya habisi!”

Amarah Kay meluap, siap meletus menjadi lahar yang akan melahap apapun yang ada di sekitarnya. Giginya gemerutuk menahan emosi yang meletup-letup. Jarinya geram meremas batang pohon tanpa ampun. Kay pun bersiap berdiri untuk melabrak ketiga jahanam dihadapannya..

Kay membulatkan tekad. Ia tak mau lagi bersandiwara. Ia akan labrak manusia-manusia durjana itu. Ia akan lantang mengatakan bahwa dia adalah Rimba anak si Kalam dan Ainun. Dia datang membawa dendam. Ia datang untuk membalas semua kejahatan mereka.

Tuhan yang selama ini diam, tetiba bersuara. Ia memanggil-manggil Kay untuk datang ke rumah-Nya. Untuk membasuh amarahnya dengan dingin dan sejuknya air wudhu. Ia mengajak Kay berpaling dari angkara murka, Ia mengajak Kay pulang ke dalam pelukan cinta-Nya. Panggilan itu mampu menghentikan niat Kay untuk sementara.

Lihat selengkapnya