Dengan kaki terseret, Kay berlari memasuki hutan Wangun. Bayang-bayang para pengejarnya − anak buah mandor Didin − terasa makin dekat saja. Bukan ia takut mati, tapi ia tak mau mati sia-sia. Membiarkan diri dikeroyok enam sampai tujuh orang suruhan bu Firly yang akan membunuhnya tentulah sebuah laku konyol. Ia tak mau mati konyol, ia memilih melarikan diri. Dan tempat yang ia tuju sebagai tempat pelariannya adalah hutan Wangun.
Pelariannya dimulai saat tengah malam, ketika ia terbangun dan curiga dengan suara-suara di sekitar kebun cengkeh bah Wira, tempat ia bersembunyi selepas peristiwa bu Firly memerintahkan mandor Didin untuk membunuhnya. Setelah ludesnya rumah abah Wira, Kay tak punya siapa-siapa lagi untuk disinggahi, ia terpaksa bermalam di saung kebun cengkeh bah Wira.
Firasatnya mengatakan bahwa ada sekitar enam sampai tujuh orang suruhan bu Firly yang mencarinya hingga ke kebun cengkeh bah Wira malam itu. Sebelum mereka tiba, Kay sudah lebih dulu beranjak. Ia menyeret kakinya yang luka parah untuk menghindari anak buah bu Firly yang kalap. Luka di paha kanan yang kembali mengeluarkan darah nyaris tanpa henti itu membuatnya lemah. Tapi ia berusaha sekuat tenaga untuk terus berlari. Dan ia merasakan bahwa mereka, para pemburunya terus mengejarnya di tengah kegelapan malam desa Wangun.
Kemanapun Kay berlari, suara mereka terdengar semakin mendekat. Kay pun memutar otak dan ia menemukan jawabannya. Ia harus lari ke dalam hutan. Ia teringat mitos yang sampai sekarang masih dipercayai masyarakat sekitar hutan Wangun, bahwa hutan itu terlarang untuk dimasuki sampai ke pedalamannya. Masyarakat sekitar hanya boleh dan berani memasuki hutan Wangun tak lebih dari pinggirannya saja.
Maka Kay pun berlari ke arah hutan Wangun, dan ia masih mendengar dengus para pemburunya. Ia pun mempercepat larinya. Berbekal sebuah obor Kay menembus pekat hutan Wangun. Semak dan onak seperti memberi jalan. Para binatang penghuni hutanpun tak ada yang berani mengganggunya. Ia tak perduli mitos larangan itu. Tak ada yang bisa menghentikannya. Dan benar saja, perlahan ia mulai kehilangan suara-suara para pemburunya. Semakin dalam ia memasuki hutan, semakin senyap suara-suara para pemburunya.
Hingga akhirnya lelah jualah yang menghentikannya. Ia nyaris kehabisan darah. Kerongkongannya panas dan kering. Rasa haus yang menggigit luar biasa. Ia pun berusaha mencari air, ia berusaha mencari sungai.
Semesta sedang bersahabat, tepat di tengah hutan ia menemukan aliran sungai Cikeruh. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat di tolak. Obor, satu-satunya teman yang meneranginya terjatuh ke dalam aliran sungai dan seketika mati. Tiba-tiba kegelapan menerkamnya dengan sengit. Gulita menyergapnya tanpa setitikpun cahaya.
Langit sedang enggan berteman. Bulan bersembuyi di balik mega hitam. dan para bintangpun tampak menjauh. Cekam hitam yang mencekat. Dengan meraba-raba, tangan Kay mencoba mengambil air dan meminumnya. Tegukan ternikmat sepanjang usianya. Dua tiga tegukan yang untuk sesaat melupakan perihnya luka bakar dan luka berdarah saat terkena air.
Selepas puas dengan air segar sungai Cikeruh, barulah Kay menyadari keberadaanya kini. Ia baru sadar bahwa ia sedang berada di pedalaman hutan terlarang, hutan Wangun. Ia kini berdiri di tengah kegelapan yang sempurna. Tak ada satupun kunang-kunang disana. Rasa takut kemudian menjalari sekujur jiwanya. Ia yang sempat berada di keramaian Bandung, Ia yang sempat menikmati indahnya musim gugur Baltimore Maryland, kini terkurung gelapnya hutan Wangun.
Ia sendirian, tak ada ayah, ibu, mang Asta, ayah Halim, bu Lenny, om Reza, bah Wira. Tak ada Lasna, Awan, Samsul, Rhea apalagi Sha. Ia benar-benar sendirian. Tak kuat menahan kesendirian dan kepedihan, teriak Kay kemudian memecah kesunyian hutan Wangun. “Jahanam...!!!!
Teriakannya membangunkan pepohonan yang sedari tadi berdiri menahan kantuk. Teriakannya membangunkan para binatang yang sedang tertidur di sarangnya. Teriakannya menakuti para predator nokturnal yang sedari tadi berkeliaran mencari mangsa.
Seperti belum puas dengan teriakannya, Kay mengulangi teriakannya, kali ini dengan lebih keras, “Jahanam...!!! Jahanam....Jahanam....Jahanam...!!!” hingga serak. Ada kelegaan setelah ia meneriakan kata itu, tapi letih tak tertahankan lagi. Tubuhnya ambruk di tengah sungai Cikeruh yang masih menyisakan sedikit air di musim kemarau panjang ini.
Jiwanya tak lagi kuat menahan beban hidup yang begitu berat menindihnya. Sisa-sisa kesabarannya telah habis terbakar, bersamaan dengan terbakarnya rumah bah Wira. Sisa-sisa kesadarannya juga telah raib sesaat setelah mengetahui rahasia kebiadaban keluarga Firly. Ia tak punya lagi kewaskitaan untuk mencerna nasihat-nasihat bernas ayah Halim, mang Asta, om Reza dan bah Wira yang mewan-wanti dirinya untuk tidak mendendam. Kini dendam itu telah membara dan tak ada yang mampu memadamkannya.
Dalam letih lelah itu nafsunya menggelegak, terlintas dalam pikirannya untuk membalas semua kebiadaban keluarga Firly, meski ia tahu itu semua tak mudah. Ia dengan lukanya yang parah, secara fisik tentu sulit melakukan rencana balas dendam itu. Tapi jiwanya yang sudah tak kuat lagi menahan benci membuatnya membulatkan tekad untuk melakukan balas dendam.
Ketika tekad itu membulat utuh, tiba-tiba sebekas cahaya di langit membuka tirai kegelapan hutan Wangun. Perlahan tapi pasti cahaya itu membesar dan akhirnya menerangi pandangan Kay. Kay baru menyadari bahwa ia sedari tadi berdiri di dekat sebuah batu besar. Ia yang kini duduk terkulai ternyata setengah terbaring di dekat batu besar itu.