KALA LESA

iza arsalan
Chapter #1

Prolog

PROLOG

Batavia, 1893

Batavia, 1893. Di tengah kawasan elit pemukiman kolonial, berdiri sebuah rumah megah bergaya campuran Indis dan arsitektur Jawa klasik. Pilar-pilarnya menjulang dengan warna putih pudar, dan jendela-jendela tingginya terbungkus tirai tebal yang tak pernah benar-benar terbuka. Halaman depannya terjaga rapi, namun terlalu sepi. Bangunan ini milik seorang bangsawan yang disegani banyak pihak—Sang Hyang Mada.

Di lantai atas rumah itu, terdapat sebuah kamar yang dari luar tampak seperti kamar biasa. Dindingnya berpola kayu jati, ranjang empat tiang berdraperi lembut di tengah ruangan, dan lemari besar antik berdiri di salah satu sudut. Aroma kayu dan dupa tipis melayang di udara. Tidak ada rantai. Tidak ada jeruji. Tapi kamar itu tetap menjadi penjara. Karena di setiap interior—bahkan ranjang, dinding, dan lantainya—terukir aksara Jawa kuno yang tak terlihat oleh mata biasa. Ukiran itu adalah segel yang mengekang kekuatan Raka, memantulkan mantra yang terhubung langsung ke Cincin Pustaka. Dimanapun ia berdiri di dalam kamar itu, ia selalu dalam pengawasan.

Raka tinggal di sana. Bukan sebagai tamu. Tapi sebagai tawanan. Diperkenalkan kepada publik sebagai “adik ” Sang Hyang Mada—seorang bangsawan muda yang pendiam—padahal kenyataannya, Raka adalah Hayam Wuruk, mantan raja Majapahit yang disegel dalam tubuh mudanya sendiri. Ia tampak seperti pria muda yang sehat. Kulitnya pucat, mengisyaratkan ketampanan yang dingin dan membekas. Mata tajamnya menyimpan kedalaman yang sulit dijelaskan—tatapan seorang raja yang pernah melihat kerajaan runtuh. Wajahnya tirus, dengan hidung panjang yang tegas. Rambut hitam legamnya jatuh ke tengkuk, dibiarkan tumbuh dengan bentuk yang sedikit memanjang di belakang dan terurai ringan di sisi wajah. Jauh  di dalam, tubuh dan jiwanya dirantai oleh Cincin Pustaka, yang ada di tangan Sang Hyang Mada. Segel itu terhubung langsung ke sebuah tato kecil berbentuk aksara Jawa kuno di lehernya—hampir tak terlihat, namun hidup dan menyala ketika cincin diputar.

Di pergelangan tangan kirinya, tampak luka berbentuk silang seperti tato tua yang membara samar. Setiap kali cincin Mada bersinar, luka itu ikut menyala, menghantam saraf-sarafnya dengan rasa nyeri yang tak terucapkan. Di saat seperti itu, kekuatannya lenyap seketika, seperti rohnya direnggut dari tubuh. Ia telah berada di sana. Duduk di sisi ranjang, diam, seperti patung yang dijaga mantra. Ruang itu bukan hanya kamar—ia adalah segel, dan Raka, pusat dari kekuatan yang dikurung di dalamnya.

Tangannya terlipat di pangkuan. Tubuhnya kaku. Ia tak tahu berapa lama waktu telah lewat sejak pagi. Matahari tenggelam, langit menua, malam merambat masuk—semuanya tidak penting. Ia hanya menunggu. Karena malam ini, Sang Hyang Madaakan datang.

Dan setiap kali Sang Hyang Mada datang, satu bagian dari jiwanya akan terkoyak. Ia tidak bisa melawan. Tidak malam ini. Tidak selamanya.

Suara langkah di lorong luar bergema pelan. Berat. Langkah berat terdengar di koridor. Dua sosok tinggi melintasi lorong menuju kamar: Raksa dan Lodra, pengawal abadi. Mereka berdiri di depan pintu, lalu membukanya perlahan. Sang Hyang Mada melangkah masuk. Berwibawa. Pintu kamar tidak diketuk—ia terbuka sendiri, seolah tunduk pada pemilik cincin itu.

Sang Hyang Mada melangkah masuk. Posturnya tenang. Tatapannya menusuk. Ia memandangi Raka seperti menatap peninggalan kerajaan yang kini hanya jadi alat.

“Masih mencoba menatapku seperti raja, Raka?” Suara Mada tenang, tapi tajam seperti bilah keris yang tak terlihat. Raka tak menjawab. Tapi napasnya mengeras. Sekilas. Hampir tak terlihat.

Sang Hyang Mada mengangkat tangan kanannya—cincin pusaka itu memantulkan cahaya lentera.

Namaskuru rudhireṇa svīyena, 

("Bersujudlah pada darahmu sendiri,")

Tubuh Raka gemetar. Seolah tulang-tulangnya berderak tanpa suara. Dari pori porinya, asap emas tipis merayap keluar.

Ātmā te saṃhṛtaḥ māmikena, 

("Rohmu telah kuambil darimu,")

Matanya menyala putih keemasan. Dadanya terangkat, menggelepar, seolah jiwanya ditarik paksa dari dalam tubuh

Yaḥ uttiṣṭhati vipakṣeṇa, sa śūnyaḥ bhavati.

("Siapa yang bangkit dalam pemberontakan, ia akan menjadi kehampaan.")

.Luka silangnya menyala, menyebar rasa sakit ke seluruh sarafnya, membuat tubuhnya kejang. Dan malam pun kembali menelan jerit bisu sang raja abadi.

Di luar, Batavia tetap hidup seperti biasa—tak menyadari bahwa di salah satu kamar tersegel oleh mantra leluhur, seorang rajasanagara masih bernapas. Tapi hidupnya bukan lagi miliknya.

"Masih menolak tunduk?" suara Mada datar, hampir seperti gumaman, tapi setiap hurufnya bergema dalam ruang itu.

Raka menggertakkan rahangnya. Tangannya bergetar, bukan karena takut, tapi karena menahan gejolak kekuatan yang tak lagi bisa ia kendalikan. Luka silangnya memanas kembali, menyalakan rasa sakit yang mematikan.

Sang Hyang Mada mengangkat tangannya. Cincin itu berkilat sebentar. Sekejap kemudian, tubuh Raka bergetar hebat, lututnya menghantam lantai marmer.

"Lihat kau sekarang," ucap Mada, melangkah mendekat. "Darah raja mengalir di nadimu, tapi kau tak lebih dari bayang-bayang. Tanpa cincin ini, kau hanya ingatan."

"Bunuh saja aku," desis Raka. Suaranya serak, seperti batu yang dihancurkan waktu.

Sang Hyang Mada tertawa pendek. Tawa rendah dan pahit, seperti tawa orang yang tahu betul bahwa permainan ini belum selesai.

"Jika aku membunuhmu, siapa yang akan menggantikan saat waktunya tiba? Siapa yang akan menghadapi mereka ketika gerbang akhir terbuka?" Ia berjongkok di depan Raka, menatap langsung ke matanya. Mata yang dulu pernah memimpin ribuan pasukan, kini penuh bayangan kalah dan dendam.

"Ini bukan tentangmu," lanjutnya. "Ini tentang dunia yang belum siap kehilangan kendali." Cincin di jari Mada kembali berdenyut. Raka menggertakkan giginya saat dadanya seperti dibakar dari dalam. Luka silangnya menyala lagi.

"Bangkit," perintah Mada akhirnya. "Kau tetap darah Majapahit. Tapi kekuatanmu... milikku."

Dengan napas berat dan tubuh yang digerakkan lebih oleh paksaan magis daripada kehendak sendiri, Raka berdiri. Tidak ada kata keluar dari mulutnya. Tapi dalam diamnya, amarahnya tumbuh seperti api yang disiram minyak. Ia mulai menghafal setiap luka, mencatat tiap rasa sakit. Ia menyusun satu hal: pembalasan.

Karena ketika waktunya tiba... Dunia akan tahu bahwa seorang raja tidak pernah mati. Ia hanya... disembunyikan oleh waktu.

---

Kereta kuda berlogo keluarga Mada melaju pelan di jalan utama kota kolonial. Di dalamnya, Sang Hyang Mada duduk tenang, dua pengawalnya setia menjaga dari belakang. Raka duduk di seberangnya, mengenakan pakaian bangsawan muda: kemeja batik halus, jas panjang hitam pekat.  Bagi publik, ia diperkenalkan sebagai adik Sang Hyang Mada. Tidak ada yang bertanya. Tidak ada yang berani.

Di balik jendela kaca kereta, mata Raka menatap dunia yang terasa asing. Ia melihat pasar penuh tentara Belanda, kuli pribumi yang dipaksa mengangkut rempah dan logam ke gudang-gudang pemerintahan, ibu-ibu memeluk anaknya karena lapar, dan lelaki tua bersimpuh pada tanah yang telah dicuri darinya. Ia tidak melihat tanah ini sebagai negeri. Ia melihatnya sebagai luka.

"Sebentar lagi kita sampai," ucap Sang Hyang Madaringan, matanya tak pernah benar-benar melihat keluar jendela. "Kau hanya perlu berdiri. Diam. Tersenyum, bila perlu."

Raka mengepalkan tangannya, seolah ingin mencabik pakaian yang membungkus tubuhnya. Mada melihat gerakan itu dan hanya memutar cincin di jarinya pelan.

"Apa raja kita menolak tunduk...?" Mada bertanya setengah berbisik, seakan tak perlu jawaban.

Raka mengepalkan tangannya lebih keras. Setiap putaran cincin menyiksanya bertubi-tubi. Luka silangnya ikut menyala, menghantam batinnya dengan denyutan menyakitkan.

Sang Hyang Mada menunduk sedikit, mendekatkan wajahnya ke arah Raka. Bisikannya nyaris menyatu dengan derak roda kereta di atas jalanan berbatu.

"Katakan padaku, Raka... apa kau menolak tunduk?"

Raka tak mampu bicara. Rahangnya terkunci oleh sihir, lidahnya kelu. Ia hanya mampu menunduk dan mengangguk pelan, tubuhnya berkeringat dingin, seperti sedang disayat dari dalam.

"Bagus," Mada bergumam pelan, lalu kembali menatap ke luar jendela.

"Karena kau bukan lagi Raja Hayam Wuruk yang agung. Kau Raka... tahananku. Bayang-bayangku. Dan tidak akan bebas. sampai aku mengizinkannya." Kereta terus melaju. Dan sang bayangan raja... hanya bisa diam.

---

Kereta berhenti perlahan di depan sebuah bangunan megah bergaya Neoklasik yang mencolok di antara bangunan-bangunan Batavia. Pilar-pilar tinggi menopang balkon lebar, jendela-jendela besar dengan tirai tebal tergulung rapat. Di atas gerbang besi yang dijaga dua prajurit Belanda berseragam merah tua, terpampang papan ukir berlapis emas:

“Het Huis van Jenderal Hendrik van Rijkvoorde”

—Kediaman Resmi Komandan VOC Wilayah Barat Hindia.

Tanpa aba-aba, Raksa dan Lodra turun lebih dulu dari kereta. Langkah kaki mereka berat tapi tak terburu-buru, seperti patung raksasa yang diberi nyawa. Tubuh mereka yang luar biasa besar dan tinggi langsung menarik perhatian beberapa tamu yang baru tiba. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar, tapi tidak satu pun berani menyuarakan ketakutan mereka. Semua tahu—mereka bukan penjaga biasa.

Raka menyusul turun. Rambutnya disisir rapi, wajahnya bersih tanpa ekspresi, namun matanya tak bisa menyembunyikan luka yang tak terlihat. Ia seperti bayangan berpakaian bangsawan, tapi tanpa ruh di dalamnya. Raksa dan Lodra berjalan di sisi kanan dan kirinya. Mereka bukan sekadar mengawal. Mereka adalah pengikat. Segel hidup. Bila Raka sedikit saja melenceng dari kehendak Sang Hyang Mada, mereka bisa meremukkan tubuhnya dalam satu kedipan.

Tak lama kemudian, Sang Hyang Mada turun dari kereta. Kehadirannya membuat waktu seperti berhenti. Langkahnya pelan, jubah hitamnya menyapu anak tangga. Kalung berornamen Garudha Majapahit tersemat di leher, dan cincin pusaka di jarinya tampak berkilat singkat saat ia menengok ke arah bangunan.

Lihat selengkapnya