BAB 1
DARAH YANG TERKUNCI
Udara pagi belum sempat membawa kesejukan. Di dalam kamar itu—tempat di mana waktu seakan membusuk bersama doa-doa yang tak pernah sampai—Raka terjaga dalam diam. Tubuhnya masih terbaring di lantai, satu lengan menyanggah badannya yang remuk, sementara mata setengah terpejam menatap kosong langit-langit yang di kayu jati dengan lampu gantung berukiran huruf jawa. Dari luar seperti seni, tapi ini adalah rupa belenggu. Bekas segel di lehernya masih hangat.
Terasa seperti bara yang dipendam di kulit, tak pernah padam sepenuhnya. Setiap kali ia bernapas, ada rasa logam di lidah, dan dadanya nyeri seperti ditusuk dari dalam. Ia tidak tahu sudah berapa lama ia seperti itu. Beberapa jam? Sehari penuh? Yang pasti, di dalam kamar ini, waktu tak berlaku. Dinding-dinding dipenuhi aksara kuno, yang berdenyut perlahan dalam cahaya merah redup. Mereka tak pernah tidur. Mereka adalah mata dan rantai. Segel hidup yang merantai tubuhnya, pikiran dan kekuatannya.
Tapi yang paling menyakitkan bukan itu. Yang paling menyakitkan adalah kesadaran bahwa ini bukan kutukan dari musuh. Ini belenggu dari orang yang dulu pernah ia percayai. Langkah kaki terdengar di luar. Pelan… berat… tak terburu, tapi tak terhentikan.
Pintu terbuka. Cahaya pagi menyelinap masuk seperti penyusup.
Lalu masuklah Sang Hyang Mada— tinggi, kekar, dengan kulit gelap yang mengilap di bawah cahaya yang merayap masuk dari celah pintu. Sosoknya menjulang dengan postur yang penuh kekuatan, seolah tidak ada yang bisa menandingi ketegasan dan kedalaman kekuasaannya. Sorot matanya yang tajam memancarkan kebencian yang tak terukur, seperti api yang telah lama menyala di dalam dirinya, membakar setiap bentuk belas kasih yang pernah ada. Langkahnya, meski terkesan berat dan penuh amarah, tetap penuh kehormatan. Setiap gerakan tubuhnya menciptakan rasa bahwa ia adalah pusat dari segala hal, tempat dari mana segala kekuatan berasal.
Ketika Sang Hyang Mada memasuki kamar itu, ada perubahan yang langsung terasa di udara. Aksara Jawa yang menghiasi seluruh dinding kamar, yang selama ini tampak seperti ukiran biasa, mendadak menyala terang. Cahaya merah menyala dari setiap garis aksara, menciptakan suasana yang sangat menekan, seakan-akan mereka menjadi hidup—mengawasi, mengikat, dan menghukum.
Raka, yang sudah lemah dan terbelenggu dalam kutukan, merasakan sebuah perih yang menusuk di dalam dadanya. Segel-segel di leher dan tubuhnya yang selama ini terasa panas mulai berdenyut lebih kencang, seiring dengan cahaya aksara yang semakin menyilaukan. Semua yang ada di dalam kamar seakan menekan Raka, membuatnya merasakan sakit yang lebih dalam, lebih pribadi—seperti semua memori, penyesalan, dan pengkhianatan menimpanya sekaligus.
Ketika Mada menyentuh cincin di jari manisnya, sebuah getaran tajam langsung terasa di dalam tubuh Raka. Kekuatan yang luar biasa seolah berdenyut langsung melalui cincin itu, menembus segala lapisan segel yang ada di tubuhnya. Kekuatan itu tak hanya mengikat, tapi juga mengikis kekuatan yang tersisa dalam dirinya. Seakan menyiksa, setiap tetes energi Raka yang terpendam menghilang dengan sekejap, terhisap oleh cincin yang menyatu dengan kekuatan gelap Sang Hyang Mada.
Raka mengerang, menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan, sementara Sang Hyang Mada hanya berdiri diam di hadapannya, seolah menikmati penderitaan yang tak kunjung usai.
Di belakangnya, Raksa dan Lodra mengikuti. Tubuh mereka seperti dinding batu hidup, siap melumpuhkan apa pun yang bergerak.
Sang Hyang Mada berhenti beberapa langkah dari Raka, menatapnya dengan amarah dan kebencian yang mendidih.
"Inilah akibatnya ketika kau mencoba melawanku, Raka."
Raka tak menjawab. Ia mencoba bangkit, perlahan, masih gemetar. Tapi saat cincin di jari Mada diredupkan, ada sesuatu dalam dirinya yang terbangun. Seperti embusan udara ke bara yang tertimbun—kekuatan sihirnya menyala setengah.
Raka terengah-engah, matanya merah menyala. Kilatan cahaya api menyambar di bola matanya. Itu bukan sihir. Itu adalah kemarahan. Kekuatannya, meski terbelenggu, masih terasa seperti bara yang membara di dalam dirinya. Tangan kirinya yang terluka, masih bergetar, mulai mengeluarkan api merah yang menyala. Kekuatan yang dipendamnya bertahun-tahun, meski lemah, mulai mencuat—seperti kilatan kilat yang siap menghancurkan.
Raka memusatkan energi, tangan yang terulur itu mengarah ke lantai marmer di bawahnya. Seperti sungai yang terjebak di balik bendungan, ia melepaskan kekuatan sihirnya, mengarahkan energi ke lantai.
Kamar itu bergetar. Lantai marmer yang dingin dan keras berderak. Beberapa helai marmer melontar, lalu retak. Getaran yang memekakkan telinga meluas, merobek kesunyian pagi yang sepi. Segel-segel di dinding menyala lebih terang—seolah merespon kekuatan yang mulai keluar dari dalam diri Raka. Sesaat, ada kilatan harapan dalam dirinya. Mungkin, ia masih bisa melawan.
Namun, Sang Hyang Mada menggerakkan cincin di jarinya, dan seketika api merah itu meredup. Rasa sakit yang tak terelakkan menyergap Raka. Tangan kiri yang mengeluarkan api ditangkap oleh Raksa, yang langsung mencengkeramnya dengan kekuatan yang sangat kuat.
“Aku tak akan pernah tunduk, Mada!!” serunya putus asa. Tangan kanannya ikut menyala—api biru membungkus telapak dan jarinya, seolah roh purba dalam dirinya ikut menjerit. Bola matanya yang semula coklat muda, kini sepenuhnya membiru—tajam, menyala, menantang.
Lodra maju dengan cahaya biru di tangannya, menekan keras bahu kanan Raka. Kekuatan terakhir yang tersisa dalam tubuh Raka terkunci telak. Darah mengalir dari hidungnya, rasa sakit mengoyak dadanya hingga ke jantung. Tubuhnya bergetar, tak hanya karena kekalahan, tetapi juga karena pengkhianatan yang terus-menerus.
“Kau pikir masih bisa melawan?” bisik Mada, di telinga Raka, matanya menyala penuh kebencian.
Sang Hyang Mada menatapnya bengis, suaranya seperti racun yang menetes lambat. “Sudah kubilang, Raka,” katanya, suaranya rendah dan mengerikan. “Jangan pernah melawanku.” Dengan satu gerakan cepat, Mada melemparkan tubuh Raka kembali ke lantai. Raka merasakan tubuhnya terhempas ke bawah dengan keras, tulangnya seolah ingin hancur. Darah segar mengalir dari bibirnya, dan ia terbatuk keras, menggigil di atas lantai yang dingin.
Raksa dan Lodra, pengawal setia Mada, segera menahan tubuh Raka, mencengkeramnya dengan kekuatan yang tak tertandingi. Dengan posisi berlutut, segel-segel di dinding kembali menyala, menambah kepungan yang semakin kuat, menambah beban yang terasa tak tertahankan.
Sang Hyang Mada mendekat, berdiri dengan angkuh di hadapan Raka yang terkulai lemah. “Hari ini,” katanya dengan suara yang dingin, “kau akan ikut bersamaku. Kita akan melakukan ritual. Dan aku tak ingin ada perlawanan lagi.”
Raka menahan napasnya, merasakan setiap kata Mada seperti belati yang menusuk.
“Setelah itu, kau akan melakukan tugasmu. Sebagai bayang-bayangku, untuk mempersatukan Nusantara. Dengan darahmu. Dengan kekuatanmu. Atas... namaku.”
Langkah kaki mereka menggema hingga senyap.
Sang Hyang Mada berjalan lebih dulu, diikuti Raksa dan Lodra yang masih mencengkeram kedua lengan Raka kemudian melepaskannya secara perlahan. Tubuh pemuda itu limbung, terhuyung seperti wayang yang kehilangan tali penyangganya. Tapi ia tetap tegak—atau memaksa dirinya untuk tetap demikian. Sorot matanya dingin, membakar dengan sisa-sisa harga diri yang belum padam.
Pintu kamar ditutup perlahan. Sesaat kemudian, udara kembali sunyi. Namun cahaya merah dari aksara-aksara di dinding belum sepenuhnya padam. Mereka terus menyala samar, seakan menyimpan dendam dari ritual yang tertunda.
Tak lama setelah mereka pergi, seorang pelayan pribumi masuk ke kamar. Lelaki bertubuh pendek, berkulit sawo matang, dengan wajah yang kelelahan oleh usia dan waktu. Di tangannya, ia membawa mangkuk berisi air hangat.
"Gusti, ini airnya," katanya lirih, meletakkan mangkuk itu di dekat Raka.
Raka menerima air itu… hanya untuk menatap wajahnya sendiri di permukaannya. Luka, darah, bekas terbakar. Bibirnya pecah dan merah, wajahnya bengkak.Ia menatap dalam-dalam, lalu menampik mangkuk itu dengan kasar. Suaranya jatuh ke lantai, pecah, membuyarkan bayangan yang baru saja dilihatnya.
"Ambilkan yang baru." Perintahnya
"Baik, Gusti," jawab si pelayan pelan. Ia menunduk dalam, penuh hormat, sebelum perlahan melangkah keluar dari kamar.
Tak lama kemudian, pelayan itu kembali membawa air hangat yang baru. Kali ini, ia juga membawa pesan.
"Tuan besar bilang, Gusti diperintahkan untuk berbenah dan turun ke ruang tamu." pelayan tersebut berkata sopan dan penuh hormat
Raka tak menjawab. Ia mengambil kain handuk basah dari baki dan menyekanya perlahan ke bibirnya yang berdarah.Ia berdiri perlahan, mengenakan kembali pakaian yang diberikan padanya—kemeja batik halus dengan jas beskap berwarna kelam, celana panjang lurus, dan rantai jam saku tersemat di dadanya. Penampilan bangsawan era kolonial.
Tapi bagi Raka, pakaian itu tak lebih dari kulit palsu seorang tawanan. Busana kebangsawanan itu bukanlah lambang kejayaan, melainkan topeng yang dipaksakan atas kehancurannya. Ia bukan lagi raja. Ia hanya bayang-bayang dari sesuatu yang telah direbut darinya, dan terus dipaksa berjalan di bawah kendali Sang Hyang Mada.
Begitu Raka melangkah keluar dari kamar, dua sosok telah menantinya di ambang pintu. Raksa dan Lodra berdiri tegak, tubuh mereka membentuk dinding daging dan kekuasaan. Seperti penjaga gerbang neraka yang tak memberi jalan bagi siapa pun kecuali mereka yang telah ditaklukkan. Mereka tidak mengucap sepatah kata pun.
Tanpa perlu aba-aba, mereka bergerak bersamaan. Langkah kaki mereka nyaris tak bersuara, namun terasa berat di udara. Kedua tangan mereka terangkat perlahan, hanya sejajar dada, sebelum telapak mereka mendarat dengan mantap di bahu kanan dan kiri Raka.
Bukan sekadar sentuhan. Itu adalah penekanan. Perintah. Penaklukan.
Saat telapak mereka menyentuh tubuhnya, terjadilah sesuatu yang tak kasatmata, tapi menggetarkan sampai ke sumsum.
Seketika, hawa sihir mengalir dari telapak tangan itu. Ia bukan panas seperti api, bukan dingin seperti es. Ia adalah listrik sunyi—tajam, dingin, dan dalam—menusuk seperti jarum halus ke dalam kulit, merembes ke urat, dan menyentuh sesuatu yang jauh lebih dalam dari daging: inti kekuatan Raka.
Raka tersentak pelan, matanya terbuka lebih lebar dari sebelumnya. Bahu-bahunya menegang, tubuhnya seperti tertahan oleh beban yang tak kasat mata. Ia tak menjerit. Tak menggeliat. Tapi di dalam dirinya, sebuah badai sihir sedang diremukkan, dipaksa tunduk oleh kekuatan luar yang begitu terlatih dan kejam.
Getaran itu menyentuh bagian terdalam dirinya—tempat di mana kekuatan leluhur dan darah kerajaan bersemayam. Tempat yang tak seharusnya disentuh oleh siapa pun. Tapi dua tangan itu, dua penjaga Mada itu, masuk ke dalamnya tanpa permisi, tanpa ampun.Ia merasa kosong. Berat. Dingin. Sihirnya tak lagi ada. Tak lagi meronta. Tak lagi berbisik. Yang tersisa hanyalah tubuhnya—yang kini berjalan tertunduk, tak berkutik. Langkahnya lambat dan berat, bukan karena luka, tapi karena jiwanya sedang dipaksa untuk diam. Untuk patuh.
Kedua pengawal itu masih menempelkan telapak tangan mereka di bahunya. Tak erat, tak kasar. Tapi cukup untuk menjadi belenggu. Cukup untuk menjadi pengingat bahwa ia bukan siapa-siapa lagi.
Namun di balik langkah yang lesu itu, tatapan Raka tetap menyala. Dalam diamnya, dalam kehancurannya, dalam tubuh yang disegel sihir asing—ia belum padam. Tidak sepenuhnya.
---
Langkah-langkah menuju ruang tamu terasa seperti perjalanan menuju ujung dunia.
Tangga besar di hadapan mereka menjulang seperti monumen penghakiman. Pilar-pilar marmer putih berdiri megah menopang langit-langit tinggi, memantulkan cahaya pagi yang lembut. Anak-anak tangga dari batu marmer hitam berkilau disinari matahari yang menembus jendela besar di belakang. Tapi bagi Raka, setiap langkah menuruni tangga itu adalah penderitaan.
Raka menuruni tangga itu perlahan. Setiap langkah terasa seperti menuruni takhta yang dulu pernah ia duduki. Tubuhnya masih ditekan oleh sihir dari telapak tangan Raksa dan Lodra yang menempel di bahunya—kanan dan kiri, seperti belenggu yang tak terlihat.
Hawa sihir dari telapak tangan mereka menyebar pelan, tapi mematikan—seperti arus listrik dingin yang menusuk langsung ke pusat kekuatannya. Sekejap, tubuh Raka tersentak. Bukan karena rasa sakit di kulit, tapi karena pusat sihirnya yang kembali diguncang. Ia tertunduk, kedua kakinya gemetar menahan sisa-sisa keseimbangan.
Tubuhnya lemah, jiwanya tertindas. Ia berjalan perlahan, berat seperti menahan beban dunia. Kemeja batik dan jas beskap yang dikenakannya tampak rapi, tapi warnanya gelap seperti kabut duka. Rantai jam berayun lembut di dadanya, bergemerincing pelan setiap kali ia melangkah.
Kulitnya pucat, seperti lilin yang terbakar dari dalam. Peluh menetes di pelipisnya, membasahi bagian samping wajah. Rambutnya yang panjang setengah leher, hitam dan halus seperti sutra, sedikit berantakan. Ia tetap memaksa berdiri tegak, namun getar tubuhnya tak bisa disembunyikan.
Ruang itu luas, dindingnya tinggi dengan panel kayu gelap dan jendela besar bergorden beludru merah. Di tengahnya, sebuah kursi ukir yang menyerupai singgasana ditempati oleh Mada, duduk dengan pongah, kaki disilangkan, satu tangan bertumpu di lengan kursi, dan tatapan tajam yang tak memberi ruang untuk bernafas. Ia mengenakan jubah hitam pekat, panjang hingga betis, berhiaskan benang emas yang menjalar seperti akar-akar tua dari masa silam. Di pinggangnya tergantung keris berhulu gading, tampak kuno namun masih menyimpan aura bahaya. Celana panjang berpotongan militer yang rapi membungkus kakinya, menyatu sempurna dengan sepatu kulit hitam yang mengkilap.
Cincin perak di jarinya memancarkan cahaya lembut namun mematikan—seolah menjadi sumber dari sihir yang menyelubunginya. Wajahnya seperti batu karang: keras, tak bergeming, namun mengancam dalam ketenangan. Sorot matanya tajam, seperti bisa menembus daging dan membaca isi jiwa. Tatapannya tak lepas dari sosok yang menuruni tangga.
Raka tiba di ruang tamu. Ia berdiri di tengah ruangan, tegak tapi tertunduk, seperti wayang yang digantung di tengah panggung—tahu bahwa ia ditonton, tahu bahwa dirinya bukan lagi aktor utama. Seketika secara perlahan Raksa dan Lodra akhirnya melepaskan genggaman mereka.
seketika, udara berubah.