BAB 2
TIGA PUSAKA KERAJAAN
Kereta kuda mewah itu melaju pelan di tengah kota Batavia, membawa Raka menelusuri jalanan yang tampaknya tak pernah berakhir. Kuda-kuda yang menarik kereta itu dengan anggun, meskipun lembut, tak mampu menyembunyikan penderitaan yang sedang menimpa sang penumpang. Raka, duduk di kabin mewah berbeludru merah. Bertuliskan seluruh segel aksara jawah. Melemahkan, menyiksa dari kedalaman ruhnya, tubuhnya terkulai lemah. Wajahnya pucat pasi, peluh membasahi dahi, sementara segel Bandha di tengkuknya menyiksa dengan tekanan yang semakin dalam. Kekuatan sihir yang mengikatnya membuatnya semakin sulit bernapas, semakin sulit untuk mengendalikan tubuh yang terus dipenuhi rasa sakit.
Di luar jendela, Batavia terlihat seperti kota yang telah kehilangan kehangatannya. Gedung-gedung besar dengan arsitektur Eropa yang dingin berdiri menjulang, bayangan masa lalu kekuasaan kolonial yang memancarkan rasa penindasan di setiap sudut. Jantung Raka berdegup lebih cepat, bukan karena perjalanan yang tak pasti, tetapi karena ingatan yang kembali menghantui—sebuah kota yang dahulu pernah penuh dengan kebesaran, kini hanyalah bayangan dari masa lalu.
Kenangan akan kerajaan yang pernah ia pimpin, kini hanya sisa-sisa kehancuran. Betapa Batavia, dengan segala kebesaran yang dulu ada, kini hanya tinggal bangunan kosong yang memandanginya dengan diam, seakan tahu bahwa ia telah kehilangan segalanya.
Pusaka Tarumanegara
Setelah berjam-jam menempuh perjalanan yang menyiksa, kereta kuda berhenti di sebuah tempat yang sunyi, jauh dari keramaian kota. Di sini, di bawah pohon-pohon besar yang rimbun, terletak situs kuno yang menyimpan rahasia pusaka Tarumanegara. Hanya sedikit orang yang tahu tentang tempat ini—sebuah situs yang telah terlupakan oleh waktu.
Raka dipapah turun. Kakinya gemetar, bukan hanya karena luka di sekujur tubuhnya, tapi karena segel Bandha yang terus menyala menyakitkan di tengkuknya. Rasa sakit itu bukan sekadar fisik, tapi spiritual—seolah jiwa leluhurnya diaduk dan dipaksa tunduk oleh tangan asing. Ia masih mengenakan kemeja putih yang robek dan berlumur darah, vest batik bercorak lung-lungan emas yang tetap anggun meski ternoda tanah dan luka, serta jarik megamendung yang dililit rapi di atas celana panjang gaya Belanda. Rambut hitamnya yang rapi namun sedikit berantakan jatuh natural ke dahi, basah oleh peluh.
Wajahnya pucat dan dingin seperti lilin yang tak sempat padam, namun sorot matanya tetap tenang—seolah rasa sakit tak pernah benar-benar mampu menembus batinnya. Darah mengering di pelipis, lehernya memerah oleh gesekan, dan bahu kirinya tampak lebam, bekas tarikan sihir yang tak kunjung melepaskan cengkeramannya.
Di hadapannya, altar kuno yang terpenuhi dengan ukiran-ukiran simbol-simbol Tarumanegara menghadap ke arah matahari yang hampir tenggelam. Raka, dengan tubuh yang nyaris tak mampu bergerak, merasakan kehadiran pusaka pertama yang akan ia panggil. Namun, untuk menghubungkan kekuatan sihir dan memanggil pusaka itu, ia harus memusatkan seluruh energi yang tersisa, meskipun setiap napas terasa seperti jarum yang menusuk ke dalam tubuhnya.
Segel di tengkuknya semakin terasa berat, menekan, memaksanya untuk menunduk ke tanah. Kekuatan dalam dirinya bergetar, tetapi itu bukan lagi kekuatan yang bisa dia kendalikan. Itu adalah bagian dari dirinya yang telah
Raksa dan Lodra menuntunnya ke tengah pelataran. Sang Hyang Mada berdiri tenang, matanya mengamati reruntuhan batu yang dihias ukiran tua. Ia mengangguk pelan.
"Mulailah," Ucap Sang Hyang Mada
Raka memejamkan mata. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Napasnya berat. Ia duduk bersila di atas batu persegi, lalu mulai merapalkan mantra kuno dalam bahasa Sanskerta:
"Yaṁ devaṁ mahārājaṁ, bhūmiṁ ca svargaṁ ca nayati—ahaṁ āhvayāmi cakram mahad Tarumānagarasya, mahāyuddha-puṇyaṁ sarvadigbhyaḥ āgataṁ."
("Ia, sang dewa dan raja agung, yang memimpin bumi dan surga—aku memanggil pusaka cakra agung Tarumanegara, yang diberkahi oleh perang besar dan datang dari segala penjuru.")
Udara menebal oleh energi sihir. Aksara tua di batu-batu candi menyala—satu per satu—seolah bangkit dari tidur panjang. Dari tengah pelataran yang retak, muncul pusaran cahaya. Sebuah cakram logam berukir motif awan, petir, dan hujan muncul dari dalam tanah, melayang perlahan. Permukaannya berkilau biru keperakan, dengan aura energi langit yang mendesis pelan. Pusaka Tarumanegara telah bangkit.
Sang Hyang Mada menyipitkan mata, sorotnya menyala penuh gairah. Bibirnya membentuk lengkung puas. Ia berdiri tak jauh, membiarkan ritual terus berlangsung—menanti saat pusaka itu sempurna bangkit.
Namun, detik itu juga—segel di tengkuk Raka menyala menyilaukan. Tubuhnya kejang, rasa terbakar menjalar dari ujung tengkuk hingga merasuk ke sumsum tulangnya. Ia jatuh berlutut, wajahnya memucat, peluh membasahi kemeja putih berdarahnya. Tangannya gemetar menahan siksaan, hingga akhirnya segel itu lenyap tak berbekas, terkubur kembali ke dalam tanah candi, seolah tak pernah ada.
Sang Hyang Mada menyeringai, lalu melangkah mendekat. Satu tangannya mencengkeram leher Raka, lalu mengangkat tubuh itu seperti menimang boneka rapuh.
"APA YANG KAU LAKUKAN!!!" Sang Hyang Mada berseru marah, melihat pusaka andalannya lenyap tak berbekas, kembali terkubur ke dalam tanah candi. Dengan kekuatan luar biasa, ia mencengkeram leher Raka. Mengangkatnya tinggi dan melemparkan tubuh Raka ke arah pilar batu candi. Tubuh itu menghantam dengan suara keras, terpantul dan terguling, menyisakan jejak darah di batu lumut.
Raka batuk keras, darah mengucur dari bibirnya dan membasahi dagu. Tangan kanannya—gemetar, penuh retakan urat sihir berpendar biru—menghantam tanah dengan putus asa. Sebuah ledakan dahsyat meletup dari titik hantaman itu, membuat tanah di situs kuno itu retak besar, bukan hanya ubin, tapi merambat hingga ke dasar batu tua di bawahnya. Kilat menyambar dari langit kelam, menyilaukan mata dan memekakkan telinga, padahal langit masih tanpa hujan. Bau ozon dan darah memenuhi udara, menandai perlawanan terakhir sang Raja Muda.
Raksa bergerak cepat. Ia melompat dan menginjak tangan Raka dengan tenaga penuh. Teriakan Raka menggema. Segel tambahan dari telapak kaki Raksa meresap langsung ke kulit dan tulang, menghentikan aliran sihir dengan brutal. Raka menjerit, pilu dan hancur. Dan itu belum selesai.
"RAKAAAAA! APA KAU BERANI MELAWAN SANG HYANG MADA!!!" Suara Sang Hyang Mada menggelegar, suaranya meledak seperti gelegar petir yang memecah langit—menggetarkan udara dan membuat tanah situs itu retak lebih hebat, batu-batu tua bergeser, dan debu suci candi melayang seperti kabut kemarahan dewa-dewa purba.
"Tolonglah... Sang Hyang Mada yang Agung... Engkaulah pemilik perintah atas sihir yang mengalir dalam nadiku. Aku... tak sanggup lagi..."
Suara Raka lirih, nyaris tak terdengar di antara desah angin dan gemuruh sihir yang mengamuk dalam tubuhnya. Seluruh urat-uratnya terasa tersayat, seolah ada ribuan belati mengiris dari dalam, mengikuti aliran darahnya yang kini membara nyeri. Tubuhnya gemetar, peluh bercampur darah menetes dari pelipis. Tubuhnya hampir menyerah menahan beban penderitaan yang tak kasatmata.
Sang Hyang Mada tak bergeming. Ia memutar cincin ke arah sebaliknya. Tubuh Raka tak lagi mendengarkannya. Ia bangkit dan berlutut menahan lemah dan rasa perih yang tak terhingga.
"Lakukan Rajasanegara, lakukan hingga tubuhmu remuk. Dan darahmu mengaliri seluruh permukaan candi agung ini."
Raka tak mampu menolak, hanya menunduk. Mengulang dan mencoba lagi dari awal.
Raka mencoba sekali lagi. Mantra yang sama. Energi yang sama. Pusaran cahaya muncul kembali. Cakram Tarumanegara bangkit sekali lagi. Tapi ketika hampir sepenuhnya terangkat, segel di tubuh Raka kembali menyala terang. Cakram itu bergetar di udara—lalu menghilang dalam semburat cahaya, terkubur kembali ke dalam bumi. Tanah menolak.
Sang Hyang Mada memandang dengan sorot api di matanya. Ia mendekat cepat.
"RAKAAAAA! APA YANG KAU LAKUKAN!!!" suara Sang Hyang Mada menggelegar, penuh kemarahan. Ia mencekik leher Raka dan mengangkat tubuhnya ke udara. Tangan Raka yang menyala kilat mencengkeram balik, menyambar lengan Sang Hyang Mada dengan petir. Kilatan itu membuat Sang Hyang Mada terkejut sesaat—namun kemudian Raksa dan Lodra menghantam tubuh Raka dari sisi kanan dan kiri, membuat sihir Raka tercerai. Ia terlempar dan jatuh menghantam ubin prasasti.
Brak!
Ubin pecah. Darah Raka membasahi lantai batu, mengalir seperti sungai luka. Tapi pusaka itu—Cakram Tarumanegara—muncul kembali. Kali ini, sempurna. Ia melayang di udara, berpendar cahaya kuno yang tak berasal dari dunia ini. Sang Hyang Mada melangkah cepat. Dengan sorot mata penuh kemenangan, ia meraih pusaka itu dengan tangan kanannya.
Sebuah senyum puas menghiasi wajahnya yang dingin. tanpa peringatan—ia memutar cincin di jarinya. Mantra pengikat sihir terpanggil.
"Rājasūnuḥ śaktiḥ mama vśe niyamitā, agniḥ antaḥkaraṇaṃ saṃyamya, rudhiraṃ cakreṇa bandhitaṃ bhavati, svatantratā vinaśyati śāśvatam."
("Putra raja kini tunduk dalam genggamanku, api di dalam jiwanya terkekang, darahnya terikat oleh pusaka, dan kebebasannya musnah untuk selamanya.")
Sihir dalam tubuh Raka terserap kembali, dipaksa patuh.
Raka menjerit. Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Dadanya terasa seperti ditusuk ribuan belati, satu per satu. Darah mengalir dari mulutnya, jatuh ke atas ubin yang terukir aksara Jawa Kuno. Aksara itu menyala—merespons darah keturunan raja—lalu meledak. Prasasti suci itu hancur berkeping-keping. Serpihannya menghantam tubuh Raka, membuatnya terpental.
"AAAAAARGH!" Jeritnya memecah kesunyian malam, pilu dan menyayat. Tapi Sang Hyang Mada tak bergeming. Ia mendekat, menatap tubuh Raka yang terkulai lemah.
"Ternyata... hanya butuh darah raja," bisiknya, tenang namun mengguncang jiwa.
"Nikmati rasa sakit ini, Raka..."
"Karena setelahnya... masih ada dua pusaka yang ingin kumiliki."
Dengan satu isyarat, dua pengawalnya maju, mencengkeram bahu Raka dan memaksanya berdiri melawan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
Malam itu berakhir di sana. Namun bagi Raka, ini hanyalah malam pertama dari sekian banyak malam yang akan datang— Malam-malam penyiksaan… saat Sang Hyang Mada memaksanya memanggil pusaka-pusaka lainnya.
Kereta kuda itu melaju perlahan menembus malam. Roda-rodanya menggerus tanah basah, meninggalkan jejak sunyi di sepanjang jalan hutan yang diselimuti kabut.
Di dalamnya—Sang Hyang Mada duduk tenang, dikelilingi lembar-lembar pustaka tua yang bergoyang ringan mengikuti ritme perjalanan. Pusaka Cakram Tarumanegara disimpan dalam peti bersegel mantra, berpendar redup di sudut kabin.
Di seberangnya, Raja muda Rajasanegara terkulai lemah. Tubuhnya nyaris tak bergerak, wajahnya pucat seperti malam yang kehilangan bintang. Segel sihir di lantai kabin mengurungnya dalam penderitaan tiada akhir. Setiap hela napas membawa perih. Setiap gerakan menimbulkan rasa seperti tulang-tulangnya retak dari dalam.
Di sisi kiri dan kanan kereta itu—dua sosok mengawal. Raksa dan Lodra. Dua ksatria raksasa, menunggangi kuda hitam sebesar lembu dewata. Mereka mengenakan zirah berlapis, matanya kosong seperti tak lagi dimiliki jiwa. Mereka adalah bayangan dari Sang Hyang Mada sendiri, ciptaan tanpa kehendak, tunduk pada satu titah.
Tiba-tiba, pustaka tua itu mulai bergetar. Ubin kabin yang dingin meresap getaran halus, seolah sebuah kekuatan tua sedang bangkit dari tidur panjangnya. Riak samar merambat dari bawah kaki hingga ke dinding-dinding kayu, dan seketika sinar keunguan merekah perlahan—mengisi ruang sempit itu seperti napas makhluk purba yang kembali dihidupkan.
Cahaya itu tidak menyilaukan, namun cukup untuk menimbulkan bulu kuduk berdiri, menyelimuti kabin dalam aura mistik yang menyesakkan dada.
Mata Sang Hyang Mada menatap ke arah pustaka itu dengan penuh kilatan antusias. Ia menyipit, menyunggingkan senyum tipis.
“Darah raja…”
Kilatan cahaya keunguan semakin padat, berdenyut seperti jantung yang baru saja terbangun. Lalu, dari permukaan kulit pustaka yang semula lusuh dan mati, aksara-aksara kuno mulai menyala perlahan. Simbol-simbol yang tak bisa dibaca manusia biasa—dicipta dari darah, sihir, dan sumpah—menyala dengan warna merah gelap bercampur ungu.
Satu di antaranya bersinar lebih terang dari yang lain. Simbol itu berbentuk seperti cakra yang patah di tiga sisi, namun kini menyatu perlahan… hingga menjadi utuh. Di tengahnya, muncul guratan simbolik: lima bintang kecil mengelilingi satu titik pusat. Simbol darah raja.
Lembar pertama pustaka terbuka sendiri. Angin samar menyapu ke dalam kabin—bukan dari luar, tapi dari dalam lembaran itu. Aksara di dalamnya bergerak pelan, menyala, lalu kembali redup seperti berbisik dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh mereka yang terikat.
Sang Hyang Mada tersenyum puas, menatap perubahan itu tanpa berkedip. Sedangkan tubuh Raka lemah, nyaris tak berdaya. Rasa sakit yang tak tertahankan menggulung di tubuhnya, setiap serat ototnya bergetar, dipenuhi siksaan yang hanya bisa dirasakannya. Ia mendongak lemah, menyadari Sang Hyang Mada yang perlahan menarik keris dari sabuknya.
Tanpa ampun, Sang Hyang Mada menyasar pergelangan lengan kanan Raka. Dengan satu gerakan cepat, keris itu tergoreskan, menembus kulit, melukai urat nadi yang terhubung dengan kehidupan sang raja muda. Darah mengalir deras, membasahi ujung keris dan membasahi permukaan Cakram Tarumanegara. Dan saat darah Raka menyentuh pusaka itu, keajaiban—atau kutukan—terjadi.
Cakram itu menyerap darah raja seperti memanggilnya, menghisapnya dalam diam. Di pergelangan lengan kanan Raka, luka itu membakar. Darah menetes membentuk sebuah simbol yang tak dapat ditarik kembali—sebuah simbol lima bintang yang saling terhubung, menyatu dengan ukiran pada sisi cakram.
Seperti sebuah tanda yang memaksa, lima bintang itu menusuk nadi Raka, menembus kulitnya hingga rasa sakitnya mengguncang seluruh tubuhnya. Setiap tetesan darah yang jatuh ke cakram semakin memperkuat simbol itu. Ia tak bisa bergerak, tak bisa berteriak. Hanya rasa sakit yang memenuhi kesadarannya.
Simbol lima bintang di pergelangan tangan kanannya menyala, seakan hidup, membakar dan membekas. Cakram Tarumanegara kini sepenuhnya terhubung dengan darahnya, menyegel Raka dalam kekuasaan yang tak bisa ia hindarkan dari dalam hidupnya.
Sang Hyang Mada mengamati dengan penuh kepuasan. "Darahmu, Raka... kini benar-benar menjadi milikku."
Raka yang lemah hanya mampu memejamkan mata, merasakan sekujur tubuhnya membara dari dalam. Panas itu bukan sekadar luka—melainkan kutukan yang meresap ke tulang dan merobek tenaganya. Setiap helaan napas terasa seperti serpihan bara yang membakar paru-parunya.
Pikirannya mulai kabur. Tapi satu hal masih tertinggal di benaknya—seperti mantra yang tak henti berulang.
Satu segel lagi.
Satu simbol lagi.
Satu belenggu lagi.
Dan satu harga kebebasan… yang semakin menjauh.
Pusaka Sriwijaya
Dua hari berlalu, dan tidak ada tanda-tanda Sang Hyang Mada yang datang untuk menghajarnya dengan siksaan cincin yang memaksa Raka tunduk. Tak ada Raksa, tak ada Lodra. Hanya ada kesunyian yang menekan, menyelimuti kamar ini dalam sepi yang terasa seperti hampa.
Raka terbaring lemah di ranjangnya, tubuhnya masih penuh dengan balutan perban yang belum sembuh dari luka-luka sebelumnya. Kamar itu, meskipun sepi, tetap menekan jiwanya lebih dalam daripada rasa sakit fisiknya. Setiap dindingnya penuh dengan segel sihir—aksara Sansekerta dan Jawa Kuno—yang tetap menyala dalam kegelapan, memancarkan aura yang menahan kekuatannya, seperti rantai tak terlihat yang mengikatnya.
Tanpa adanya Sang Hyang Mada untuk mengawasi, tanpa Raksa dan Lodra yang biasanya ada di sekelilingnya, Raka seakan terjebak dalam waktu yang berlalu begitu lambat, menghimpit tubuh dan pikirannya dengan kekosongan yang tak tertahankan.
Namun, meski fisiknya tampak lebih tenang, ruang ini tetap menjadi siksaan—sebuah penjara yang memaksa setiap detik berlalu dengan rasa sakit yang tersembunyi di balik segel-segel magis. Seperti ada sesuatu yang mengintai dalam keheningan, menunggu saat yang tepat untuk kembali menyiksanya.
Dua hari berlalu tanpa kehadiran Sang Hyang Mada, Raksa, atau Lodra, Raka tetap tidak bisa melangkah dari kamar ini. Kamar yang tampak biasa dari luar, tetapi di dalamnya, segel-segel magis tetap mengurungnya, membatasi setiap gerakan, mengikat setiap partikel kekuatannya.
Segel-segel itu tak terlihat oleh mata manusia biasa, namun Raka bisa merasakannya—seperti rantai tak kasat mata yang melilit tubuh dan jiwanya. Sejatinya, kamar ini adalah penjara, penjara yang jauh lebih mematikan daripada sekadar jeruji besi. Tanpa kehadiran Sang Hyang Mada, tanpa ada siksaan cincin yang mengendalikan tubuhnya, justru rasa sakit yang lebih dalam yang ia rasakan.
Luka-luka yang ada di tubuhnya, meski sudah dibalut dengan perban, semakin terasa pedih seiring waktu. Penjara ini, tanpa segel yang mengurungnya, membuat tubuhnya semakin tertekan, dan setiap gerakan, meskipun minimal, terasa seperti menyayat tubuhnya lebih dalam. Bahkan rasa sakit itu seolah memancar dari setiap sudut tubuhnya, semakin memperparah luka-lukanya. Ia tak bisa melangkah bebas. Tidak hanya karena tubuhnya yang lemah dan penuh luka, tetapi juga karena sihir yang mengekang dan mengendalikan kekuatannya. Segel-segel yang tersebar di dinding, pada langit-langit, pada lantai, semuanya berfungsi seperti jaring-jaring halus yang terus menariknya kembali ke pusat penderitaan ini. terjebak dalam kamar ini—
Penjara yang seolah tak pernah bisa dilepaskan, karena seiring waktu, ia sadar: meskipun segel-segel itu tampak tak kasat mata, mereka adalah penghalang terbesar yang membuatnya tak bisa melarikan diri dari rasa sakit dan keterbatasan yang tiada akhir.
Pelayan pria berkulit sawo matang memasuki kamar dengan langkah pelan dan hati-hati. Wajahnya yang serius menyiratkan rasa hormat, namun ada keheningan dalam matanya—keheningan yang menandakan ia telah terbiasa dengan kehadiran penderitaan dalam ruangan ini.
Di tangannya, ia membawa sebuah nampan kayu jati, dan di atasnya tertata rapi sebuah mangkuk berisi air hangat, botol-botol kecil berisi obat, serta beberapa gulung perban bersih. Segalanya tampak tersusun dengan teliti, seolah rasa sakit itu sendiri sudah menjadi bagian dari rutinitas yang dipahami betul oleh sang pelayan.
Raka duduk lemah di tepi ranjang, punggungnya bersandar pada tumpukan bantal yang menyangga tubuhnya dengan setengah paksa. Wajahnya pucat, matanya tampak kosong menatap lantai, seperti sedang bertarung diam-diam melawan rasa sakit yang terus mencengkeram tubuhnya dari dalam. Balutan perban di sekujur tubuhnya mulai tampak basah, memudar warnanya oleh darah yang belum berhenti mengalir.
Pelayan itu mendekat dalam diam, lalu dengan gerakan tenang, meletakkan nampan di sisi ranjang, tepat di meja kecil yang biasa dipakai untuk meracik ramuan atau meletakkan kain basah. Ia mencelupkan kain lembut ke dalam mangkuk air hangat, memerasnya perlahan, lalu menyeka pelipis Raka dengan kelembutan yang nyaris seperti permohonan maaf.
Tubuh Raka terasa panas dan kaku di bawah sentuhan itu—pertanda bahwa sihir dalam dirinya masih terus bekerja, diam-diam namun mematikan. Dengan telaten, pelayan itu membuka perban yang lama, menyeka darah yang mengalir, lalu mengoleskan obat dari botol kecil sebelum mengganti balutan dengan yang bersih.
Tidak sepatah kata pun keluar dari mulut keduanya, namun keheningan itu justru membuat udara di antara mereka terasa lebih berat. Sorot mata pelayan itu menyiratkan empati yang dalam—sebuah kesadaran bahwa rasa sakit Raka bukan sesuatu yang bisa diangkat begitu saja, hanya bisa diringankan sebisanya.
Sesekali, pelayan itu melirik ke pergelangan tangan kanan Raka—tempat simbol lima bintang yang menyala samar. Ia tidak mengerti arti sihir itu, tapi cukup tahu bahwa beban yang ditanggung tuannya bukan hanya luka di kulit, melainkan kutukan yang lebih dalam, lebih gelap.
Setelah mengganti perban terakhir, pelayan itu merapikan kain-kain yang telah digunakan, mengatur kembali isi nampan, lalu menundukkan kepala sejenak sebelum bangkit perlahan. Ia tidak meninggalkan ruangan, hanya berdiri dalam diam di sudut, seolah menjaga... atau menunggu, hingga rasa sakit itu memberi sedikit ruang untuk Raka bernapas.