BAB 3
CITRA RASHMI…..
Malam merambat pelan di luar tembok rumah besar peninggalan kolonial itu. Namun di dalam kamar segel, waktu seolah berhenti. Di sanalah Tuan Muda Gusti Raka terbaring di ranjangnya yang dingin, tubuhnya gemetar, kulitnya basah oleh peluh. Segel-segel sihir yang tertanam di sekujur tubuhnya menyala redup, mengeluarkan denyut cahaya biru yang menyakitkan.
Nafasnya pendek dan terputus-putus. Tiap detik yang berlalu terasa seperti ditusuk ribuan jarum api dari dalam. Sihir pemanggilan pusaka kedua yang dipaksakan oleh Sang Hyang Mada telah meninggalkan luka dalam—tak hanya di tubuh, tapi juga di jiwanya. Ia tak bisa bergerak. Rantai sihir tak kasatmata mengikat erat seluruh tubuhnya, bahkan menahan pikirannya dalam kabut tebal yang memabukkan. Di langit-langit, simbol kuno masih menyala samar—seperti mata-mata dewa yang mengejek ketidakberdayaannya.
Sudah tiga hari berlalu sejak ritual pemanggilan pusaka yang membuat nyawanya tergantung di ujung benang. Tiga hari tanpa istirahat, hanya luka dan penderitaan yang tumbuh makin liar dalam tubuhnya.
Tubuhnya penuh luka. Seakan segalanya dalam dirinya tengah digerogoti dari dalam, perlahan namun pasti. Yang paling menyakitkan adalah segel berbentuk keris yang tertanam di iris mata kirinya, tersambung ke simbol kecil berbentuk bulan di pelipisnya—memberi rasa sakit menusuk yang konstan, seperti duri tajam yang menari dalam tengkoraknya. Ia ingin mengakhiri semua ini. Tapi segel tak memberinya pilihan.
Dan seperti malam-malam sebelumnya, suara langkah berat menggema di koridor luar. Derap sepatu logam yang lambat namun mantap—datang untuknya. Tubuh Raka bereaksi keras. Ia tahu suara itu. Sang Hyang Mada akan kembali.
Penglihatannya semakin buram. Mata kirinya nyaris tak bisa melihat apa pun. Tapi tubuhnya bangkit, meski lemah. Tanpa perintah, segel-segel menyala dan memaksa tulang-tulangnya bergerak. Kakinya amburuk membentuk sikap berlutut. Tunduk. Patuh.
Pintu terbuka.
Sang Hyang Mada masuk, diikuti oleh Raksa dan Lodra yang mengangkat bahunya dengan kasar. Sang Hyang Mada tersenyum tipis melihat Raka dalam keadaan seperti itu—lemah, dipaksa patuh, dan nyaris kehilangan nyawa.
“Pusaka itu,” desis Raka dengan suara parau, “tidak akan bisa didapatkan Sang Hyang Mada… karena hanya darah raja yang memilikinya.”
Sang Hyang Mada menghampirinya tanpa bicara. Tanpa peringatan, keris peraknya terangkat. Tapi kali ini ia tidak menebas leher. Ia menyayat bagian bahu kiri Raka, tepat di bawah tulang selangka. Luka itu kecil, tapi dalam dan cukup untuk mengalirkan darah deras ke dalam cawan emas yang sudah disiapkan.
Dari darah itu, terbentuk simbol belenggu—sebuah prisma berwarna merah tua, mengambang di udara, lalu menyerap masuk ke dalam kulit Raka. Tubuhnya gemetar keras. Simbol itu menghisap kekuatannya.
“Nikmati rasa sakitmu,” bisik Sang Hyang Mada, suaranya dingin dan tak berjiwa. “Aku tak membawamu ke mana pun malam ini, Raka. Aku hanya butuh darahmu. Dengan darah ini, aku akan memanggil pusaka ketigamu sendiri. Dan kali ini, aku yang akan memilikinya.”
“Pusaka yang akan membuatku menjadi penguasa Nusantara.”
Sakit yang tak tertahankan merayap dari bahu ke leher, ke dalam jantung, ke seluruh nadi. Raka mendesis, rahangnya mengatup kuat menahan gemetar. Seisi kamar berguncang oleh energi yang melonjak dari tubuhnya.
“AAAAAAAAAAAAARGHH!!”
Jeritan itu menembus dinding-dinding rumah besar, menembus malam, sampai ke kediaman para pelayan di luar.
Dari balik kamar-kamar di kediaman para pelayan, mereka berbisik:
"Sssst... kalian dengar jeritan itu lagi, kan?"
"Tutup telinga kalian. Walaupun terasa memilukan, kita tidak boleh membantunya."
"Tapi... itu sangat tidak manusiawi."
"Lebih baik diam... atau mati."
Mereka tidak bergerak. Mereka menutup jendela. Menutup telinga. Mereka pura-pura tidak mendengar. Karena tak ada yang boleh menolongnya. Karena dia bukan siapa-siapa. Tak akan pernah menjadi siapa-siapa. Hanya Sang Hyang Mada yang didengar di rumah besar itu.
---
Pagi itu, di rumah besar yang penuh dengan rahasia, Citra melangkah dengan hati-hati menyusuri lorong yang panjang dan sepi. Di bawah kain tipis yang menutupi wajahnya, sepasang mata lentik miliknya memancarkan ketenangan yang kontras dengan suasana yang mencekam di sekelilingnya. Meski ia berasal dari keluarga buruh yang sederhana, dengan latar belakang sebagai yatim piatu, Citra tidak merasa dirinya rendah. Buku-buku yang ia temui sejak kecil memberinya pengetahuan yang luas, meski ia tidak pernah punya banyak kesempatan untuk belajar secara formal.
Ketertarikannya pada buku dan pendidikan membawanya jauh lebih tinggi dari kebanyakan orang di sekitarnya.
Namun, hari ini, ia datang bukan hanya untuk menjadi pelayan. Citra datang sebagai seseorang yang ditugaskan untuk merawat s pria misterius, yang disebut sebagai Gusti Raden Raka Rajasenagara. Tak ada yang tahu pasti siapa dia sebenarnya, selain bahwa dia adalah adik dari Sang Hyang Mada—sosok yang legendaris dan penuh kekuatan. Raka, meskipun berasal dari garis keturunan tinggi, memiliki nasib yang jauh berbeda dari sang kakak. Dia bukanlah sosok yang dipuja atau dihormati. Justru, ia adalah seseorang yang tak seorang pun berani mendekati.
Raka memiliki postur tubuh yang tinggi dan ramping, sekitar 184 cm, dengan wajah yang tampak misterius dan dingin. Kulitnya yang pucat kontras dengan rambut hitam pekat yang jatuh menutupi sebagian wajahnya, menambah kesan misterius dan dingin. Sorot matanya yang tajam selalu mengundang rasa takut, seakan ada sesuatu yang lebih gelap tersembunyi di dalam dirinya.
Ketika berada di dekat Sang Hyang Mada dan kedua pengawalnya, Raksa dan Lodra, Raka hanya bisa menundukkan kepala. Wajahnya yang misterius sering kali tersembunyi di balik rambut hitam sutra yang jatuh, seolah ingin menyembunyikan perasaan yang tak terungkapkan. Sorot matanya, yang biasanya dingin dan penuh penderitaan, sering kali dihindari oleh mereka yang berada di sekitarnya, seakan melihatnya terlalu lama akan membawa kesulitan yang tak terhindarkan.
Tak ada yang bisa mengasihani Gusti Raden Raka. Dia bukan sosok yang layak mendapatkan belas kasihan. Di malam hari, saat rumah besar ini sunyi, jeritan-jeritan kesakitan sering terdengar, menyusup melalui dinding-dinding tebal rumah tersebut. Jeritan yang tak satupun tahu penyebabnya. Rumor terdengar ini karena sihir Jawi, sihir yang dilakukan oleh kakaknya sendiri dan dua pengawalnya. Tapi semua menampik dan menambahkan bahwa Gusti Raka sudah penyakitan sejak kecil.
Setiap pertanyaan hanya berujung satu jawaban. Dari mulut pelayan-pelayan yang sudah lama bekerja di rumah itu, hanya ada satu kalimat yang keluar, walaupun mereka tahu penyebabnya.
"Gusti Raka itu sakit. Sakit yang kronis, sehingga meninggalkan kamarnya saja tak sanggup."
Namun, meskipun rumah itu penuh dengan keramaian, tak pernah ada satu pun foto masa kecil Raka yang terlihat. Foto itu tak pernah ada di rumah besar ini, dan tidak ada yang pernah bercerita tentang masa lalunya.
Pak Diman, pengurus rumah yang sudah lama bekerja di sini, memperingatkan Citra dengan nada serius. "Nduk, jangan sampai perduli dengan Gusti Raden Raka. Jangan coba-coba mendekatinya. Kita hanya merawat luka-lukanya, bukan jiwanya."
Citra hanya mengangguk pelan. Ia tahu bahwa tugasnya bukan untuk mengubah nasib Raka, tetapi untuk merawatnya sesuai dengan perintah. Meskipun demikian, rasa penasaran dan ketenangannya yang dalam membuatnya ingin mengetahui lebih jauh tentang pria yang selalu menyembunyikan dirinya di balik bayang-bayang. Ia tak bisa mengerti mengapa Raka begitu misterius dan dingin. Namun, dalam dirinya, ada perasaan bahwa ada sesuatu yang lebih besar dan lebih gelap dari sekedar sakit yang dideritanya. Dengan langkah mantap, Citra mengikuti Pak Diman menuju ruangan tempat Raka dikurung.
Ketika mereka sampai, Raka terlihat duduk di sudut ruangan, menunduk, wajahnya terhalang oleh rambut panjang yang jatuh di depan matanya. Hanya ada keheningan yang mencekam di antara mereka, seolah-olah seluruh rumah sedang menahan napas. Raka tidak mengangkat kepala, tidak berkata apa-apa. Hanya ada ketenangan yang membingungkan, seperti sebuah misteri yang belum terpecahkan.
"Ini tugasmu sekarang, Nduk," kata Pak Diman, suaranya seperti berbisik di antara keheningan. "Jaga dia, rawat lukanya, tapi jangan sampai terperangkap dalam pesonanya. Ingat, dia bukan seperti orang biasa."
Citra mengangguk sekali lagi, matanya tetap tertuju pada sosok Raka yang masih menunduk, tanpa memberi reaksi apapun. Hanya ada suara napasnya yang berat, seakan menggambarkan beban yang terlalu besar untuk dipikul oleh tubuhnya yang tinggi dan tegap itu.
Hari itu, Citra tahu bahwa hidupnya akan terjalin dengan takdir yang lebih rumit, lebih gelap, dan lebih misterius daripada yang pernah ia bayangkan. Takdir itu, yang bernama Gusti Raden Raka Rajasenagara, adalah sesuatu yang harus ia hadapi, meski tak ada yang benar-benar tahu apa yang ada di balik wajah dingin dan misteriusnya.
---
Sejenak, Citra memandangi tubuh Gusti Raka. Tubuhnya penuh luka. Perban tersampir di dadanya, dan wajahnya pucat lesi—bagai bunga layu yang kehilangan cahaya.
Raka duduk di atas ranjangnya. Kamar itu begitu antik namun juga indah. Bagi pelayan seperti Citra, kamar Gusti Raka tentu tampak seperti kemewahan yang hanya ada dalam mimpi.
Ranjang draperi tinggi dengan tiang-tiang berukir, lemari kayu tua yang menyimpan buku-buku dari berbagai bahasa—Belanda, Indonesia, bahkan aksara Jawa kuno. Di dinding tergantung beberapa lukisan usang, dan di pojok ruangan berdetak jam dinding tua dengan suara yang menenangkan sekaligus menyeramkan. Semua terasa seperti peninggalan masa silam yang berdenyut dengan sihir dan kenangan.
Citra tersenyum lirih, mungkin karena takjub, mungkin karena kagum. Namun senyumnya ditangkap oleh Raka, yang tiba-tiba menegakkan tubuhnya.
"Siapa kau!" tegur Raka, suaranya keras dan menggema di ruangan sunyi itu.
"Saya Citra Rashmini, Gusti. Saya yang akan menggantikan beberapa pelayan sebelumnya," jawab Citra, tetap tenang meski dadanya bergemuruh.
"Enyah dari hadapanku!" bentak Raka.
"Panggil Pak Diman!"
"Maaf, Gusti. Ini perintah Tuan Besar Sang Hyang Mada," jawab Citra sambil menunduk hormat.
Raka tercekat mendengar nama itu. Wajahnya menegang, namun ia tak mengatakan apa-apa. Tak ingin terjadi sesuatu pada pelayan yang melayaninya, tak ingin lagi darah tak bersalah tertumpah karena amarah dan sihir yang bukan milik mereka. Ia memilih diam. Dan dalam diam itu, Citra tetap berdiri. Sunyi menyelimuti kamar antik itu, seolah menyadari dua jiwa yang sama-sama terluka sedang bertemu untuk pertama kalinya.
Citra mulai membantu melepaskan kemeja putih Raka yang telah ternoda darah. Dengan hati-hati, ia menyingkap kain itu dari tubuhnya—memandang lekat-lekat bekas luka yang menggores dada dan bahu, serta simbol-simbol aneh yang samar terlihat di leher tengkuk dan pergelangan tangan. Bahkan luka di selangka pun belum sepenuhnya mengering.
Dalam hati, terbesit empati. Rasa kasih yang tak bisa dijelaskan, datang begitu saja. Bukan karena iba, tetapi seakan sesuatu dalam dirinya terhubung pada penderitaan itu.
Dengan air hangat, Citra membersihkan luka-luka di tubuh Raka. Gerakannya lembut, tenang, seperti seseorang yang pernah terbiasa merawat luka jiwa, bukan hanya raga.
Raka hanya diam. Sorot matanya menatap jauh ke arah jendela, pikirannya melayang. Nama Citra Rashmini menggema dalam benaknya—menggugah sesuatu yang telah lama ia kubur dalam-dalam. Sebuah nama yang begitu mirip dengan cinta pertamanya di masa Majapahit. Putri dari Kerajaan Galuh, yang pernah ia panggil dengan nama sayang: Citra Rashmi.
Apakah dunia ini tengah bermain-main dengan ingatan dan perasaannya? Atau takdir memang sedang mempertemukan mereka kembali, dalam tubuh dan waktu yang berbeda?
"Ini bajunya, Gusti," ucap Citra lembut, menyerahkan satu setel kemeja putih bersih yang baru serta celana panjang berwarna khaki.
Raka ragu sejenak, lalu tertegun. Ia menerimanya tanpa kata.
"Berapa usiamu?" tanyanya tiba-tiba. Pertanyaan yang meluncur begitu saja, tanpa rencana.
"Tujuh belas tahun, Gusti," jawab Citra dengan nada jujur dan tenang.
Raka tercenung, diam membisu. Usia itu… sama persis dengan usia Putri kerajaan Galuh ketika gugur meninggalkan diriku, dalam keabadian duka.
"Gusti…" panggil Citra perlahan.
"Kau boleh pergi," ucap Raka akhirnya. "Umumkan pada semua pelayan. Tugasmu sudah selesai."
Citra menunduk hormat. Ia melangkah keluar dengan penuh kehati-hatian dan etika, meninggalkan Gusti Raka dalam kesendiriannya. Begitu keluar dari kamar, ia berhenti sejenak di depan pintu, lalu berkata dengan suara pelan namun jelas:
"Luka Gusti Raka, sudah selesai balut,"
Dua pelayan laki-laki kemudian memasuki kamar dengan langkah tenang. Dari sudut yang tak terlalu jauh, Citra memandangi sejenak pemandangan itu—mereka membantu Gusti Raka mengenakan pakaian barunya.
Luka-luka itu rupanya begitu dalam, dan tubuh itu. Seolah telah terbiasa menderita. Citra bisa melihatnya jelas, bagaimana rasa sakit terlukis pada setiap ekspresi Raka. Tapi tak ada keluhan. Hanya bisu, dan sepi yang menyelimuti kamar penuh ukiran itu.
---
Beberapa hari berlalu tanpa adanya Sang Hyang Mada di kediamannya.
Beberapa luka telah pulih. Kamar yang penuh segel walaupun membuatnya terluka dan kesakitan. Tapi tidak sedahsyat yang dilakukan Sang Hyang Mada.
Beberapa luka telah mengering. Hanya saja, dia tidak bisa melangkah keluar. Ketika kakinya menjejak lantai di luar kamarnya, sihir yang menyegelnya semakin kuat. Berbeda dengan sebelum segel pusaka menyegel seluruh kekuatannya.
Hari itu, seperti biasa Citra datang ke kamarnya.
Kali ini bukan obat-obatan yang dibawanya. Melainkan bubur yang ia racik sendiri. Inisiatif, pikirnya—karena tidak pernah sekalipun melihat Gusti Raka makan.
Raka melirik makanan itu. Sudah lama ia tidak merasakan makanan. Karena setiap kali ia mencoba menelan sesuatu, ada kekuatan gaib yang menahannya. Organ tubuh bagian dalamnya, yang turut merasakan dahsyatnya segel sihir, akan langsung menolak setiap makanan yang masuk.
Seisi tubuhnya akan terasa nyeri. Dan perlahan, rasa itu berubah menjadi mati rasa.
"Bawa itu pergi dari hadapanku!" perintahnya tiba-tiba, suaranya dingin namun penuh tekanan.
"Gusti sudah lama tidak makan, kan? Mari saya bantu," Citra menawarkan lembut, tetap berdiri di tempatnya.
"TIDAK USAH!" Raka menampik mangkok bubur itu dengan tangan kirinya. Isinya tumpah, berantakan di lantai. Citra kaget, namun ia hanya bisa tersenyum.
"Maafkan saya, Gusti," jawabnya penuh hormat.
Dalam khidmat, Citra berlutut dan mulai membersihkan tumpahan bubur itu, satu per satu, tanpa keluhan sedikit pun.
Raka hanya meliriknya sejenak. Memandang gadis itu—lalu membuang muka. Ia tidak mengatakan apapun.
Tak lama kemudian, Citra bangkit, merapikan dirinya, dan perlahan melangkah keluar dari kamar.
Raka menatap punggung gadis itu yang perlahan menjauh. Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, ia merasa... dingin yang menyelimuti kamar itu tidak sebeku biasanya.
Keesokan harinya, langkah Citra kembali menyusuri lorong menuju kamar Raka. Namun kali ini, bukan nampan bubur atau botol obat yang dibawanya.Tangannya memeluk setumpuk buku—dengan sampul lusuh, pita penanda, dan huruf-huruf tua yang nyaris pudar.
Buku-buku itu ia pilih sendiri dari perpustakaan bawah tanah yang nyaris dilupakan.
Saat Citra masuk, Raka sedang menatap jendela. Melihat mereka yang berada di dunia luar kamar. Begitu ramai. Begitu ingin dia menjadi bagian dari keramaian itu.
"Apa itu?" tanyanya, mata tak berpaling.
"Buku, Gusti. Saya kira… mungkin Gusti ingin membaca."
"Aku sudah membaca semua buku di rumah ini," ucap Raka singkat.
"Yang ini belum," jawab Citra sambil meletakkannya di meja kecil. "Beberapa saya temukan di rak tersembunyi. Ada satu buku puisi dari Ranggawarsita yang belum pernah saya lihat sebelumnya."
Raka akhirnya melirik. Ia mengambil satu buku dari tumpukan. Buku bersampul hijau tua,tipis, hampir rapuh.
Di halaman pertamanya tertulis kalimat dalam aksara Jawa:
"Apa yang kembali, tidak pernah benar-benar pergi."
Raka terdiam lama.
Buku itu ia buka perlahan. Jari-jarinya menyentuh huruf demi huruf seolah menyentuh sesuatu yang telah lama hilang. Dan ketika ia membaca bait pertama puisi itu, sesuatu dalam dirinya bergetar. Ia suka membaca. Namun buku itu—buku yang dibawa oleh Citra Rashmini—meninggalkan jejak istimewa. Bukan karena isinya saja.
Melainkan karena tangan yang membawanya. Dan karena nama yang sama. Citra Rashmi. Nama yang pernah ia bisikkan dalam doa, ratusan tahun lalu. Nama yang hanya dia sematkan untuk satu panggilan. Putri kerajaan Galuh yang membuatnya jatuh hati. Putri Dyah Pitaloka Citrarashmi.
---
Sorenya, gadis pelayan itu benar-benar kembali. Langkahnya ringan namun teguh, seolah telah menetapkan sesuatu dalam hatinya.
Di pelukannya, ia membawa beberapa buku lagi. Kali ini, buku-buku puisi Jawa. Tanpa ragu, tanpa gentar, ia membuka pintu kamar Gusti Raka—mengabaikan segala larangan Pak Dhe-nya, Pak Diman, yang berulang kali mengingatkannya agar tidak terlalu dekat dengan sang bangsawan muda itu. Namun ada yang tak bisa ia tolak. Entah apa yang menggerakkan langkahnya, tapi hatinya selalu ingin kembali ke hadapan Raka. Ingin melihat matanya, walau hanya sekejap. Ingin mendengar suaranya, walau hanya satu patah kata.
Gadis itu membawa buku—buku puisi Jawa yang menjadi favoritnya.
"Di jalan sunyi aku mencarimu,
Laksana gema yang sirna ditelan malam.
Siapa namamu? Telah lama kulupa,
Namun hatiku… tak pernah benar-benar melepaskan."
Raka menoleh, mengingatkan dirinya akan kenangan yang telah lalu. Gadis itu tersenyum. Senyum yang entah kenapa memberikan rasa tak menentu di hati Raka.