BAB 4
PRAMAANTYA
Langkah kaki Sang Hyang Mada bergema berat di sepanjang lorong batu yang sunyi. Udara terasa semakin dingin seiring setiap detiknya, jubah hitamnya menyapu lantai, seolah melapisi kegelapan dengan bayangan yang semakin menekan. Ruang sepi itu hanya ditemani oleh bayangan yang bergeser pelan, menyeret kesunyian yang memeluk kediaman megah ini.
Kamar Raka—sebuah ruangan yang dulunya dipenuhi oleh sihir kuat, segel yang tak pernah bisa dilanggar, kini terasa kosong. Tak ada jejak sihir yang terdeteksi. Tak ada percikan api yang menari-nari di sekitar ruangan itu. Hanya sunyi yang berlarut-larut.
Sang Hyang Mada berdiri mematung di ambang pintu. Tatapannya tajam, membekas, seolah mencari sesuatu yang tak terlihat. Setiap sudut ruangan ia periksa dengan teliti—tempat tidur kosong, tidak ada jejak keberadaan Raka. Napasnya terhirup dalam, terasa lebih berat dari biasanya.
Amarah mulai merayap ke setiap helai urat nadi, namun ia berusaha menahan diri. Keheningan itu justru semakin memancing kegelisahan dalam dirinya. Tak ada yang bisa menghindari kekuasaannya, dan seharusnya Raka pun tidak bisa. Tapi kenyataannya, kamar ini kosong, dan Raka—tidak ada di sini.
Tangan Sang Hyang Mada terulur, meraih segel yang menahan ruang ini. Ia membuka segel kamar itu dengan gerakan penuh kehati-hatian. Mengikuti keheningan yang semakin menebal, ia melangkah keluar. Setiap ruang yang ia masuki semakin terasa mempengaruhi tubuhnya, seolah menguji kesabaran dan kuasanya.
Ruang ritual. Taman belakang. Penyimpanan pusaka. Tidak ada apa-apa. Tidak ada jejak yang tertinggal. Tidak ada Raka.
Sang Hyang Mada berhenti. Menatap ke segala penjuru. Kegelapan seolah menyelubungi dirinya dengan rapat, namun matanya yang menyipit, tajam, terus mencari.
Sejenak, ia diam. Dalam keheningan yang semakin menyiksa, pikirannya melayang kepada satu nama yang tak bisa ia kesampingkan.
Citra.
Langkahnya tiba-tiba berubah, cepat dan tajam. Langkah-langkah besar membawa dirinya langsung menuju kamar pelayan muda itu, kamar yang selama ini seolah menjadi ruang yang tidak terjamah. Pintu kamar didobrak dengan kekuatan yang membuat pintu kayu itu berderak keras. Kosong. Ruangan itu tampak rapi, tidak ada tanda-tanda kehadiran gadis itu. Kamar itu terkesan terjaga dengan baik, namun ada sesuatu yang terasa menghilang—sesuatu yang penting.
Sang Hyang Mada berdiri, menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong yang dalam. Senyum kecil terlukis di wajahnya. Namun itu bukan senyuman yang membawa kehangatan. Itu adalah senyum yang lebih mirip ancaman, penuh dengan rasa kesal yang terpendam dalam ribuan tahun.
Nalurinya berteriak. Ia tahu. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih dalam di balik ini semua. Citra bukan sekadar gadis muda biasa. Ia adalah reinkarnasi dari Putri Galuh. Wajahnya memang sama, namun keberaniannya, kebodohannya—semua itu adalah warisan dari jiwa yang sudah lama terhukum.
"Kau benar-benar mewarisi jiwanya, Putri Galuh," Sang Hyang Mada berkata pelan, namun suaranya memancar penuh ancaman. "Kau tak hanya membawa wajahnya, tapi juga keberaniannya... dan kebodohannya."
Tangan Sang Hyang Mada mengepal, dan matanya mulai memerah dengan amarah yang membara. Ia berdiri tegak, tubuhnya semakin diliputi oleh sihir gelap yang berdenyut halus, menandakan bahwa kekuatan lama yang sudah lama terpendam kini mulai bangkit.
Dengan suara yang semakin dingin, ia memberi perintah kepada dua pengawalnya yang menunggu di luar.
"Bawa Pak Diman padaku. Jebloskan dia ke ruang tahanan. Jangan beri air. Jangan beri roti. Aku akan menghakiminya sendiri."
Pengawalnya memberi hormat tanpa berbicara, dan Sang Hyang Mada berbalik. Jubahnya mengibaskan angin dingin di sekitar tubuhnya. Setiap langkahnya membawa kekuatan yang sudah terkekang terlalu lama. Di sekelilingnya, aura kekuasaan memancar, menandakan bahwa Sang Hyang Mada kembali bersemayam dalam kekuasaannya yang mutlak.
Tangan Sang Hyang Mada terangkat, menggenggam udara, seolah ia menarik kekuatan dari dimensi yang lebih dalam. Matanya yang menyala merah menyala, mengisyaratkan sebuah kekuatan yang tak dapat dibendung. Ruang di sekelilingnya seakan menegang, hawa yang tadinya dingin kini terasa menusuk sampai ke tulang.
Dengan suara yang berat, penuh kekuatan, Sang Hyang Mada mulai mengucapkan mantra kuno, kata demi kata dalam bahasa Sanskerta yang menggetarkan setiap sudut ruangan.
"Pusakāni, rakta-bandhanam yāṃ rājā-śiṣyena sarvatra nāḍiṣu dṛṣṭvā cālayati; tvaṃ śrīrāja-svarūpī, jāṅga-kāyān ānayat, kārayatīnāṃ rājā-śiṣyān nītanṭaṃ tāṁ samāyāti."
(“Pusakaku, segel darah yang berada pada tubuh Raja muda. Cengkeram jantungnya, cengkeram tubuhnya agar Rajasanegara tahu aku mencengkeram sihir dan darahnya!”)
Mantra itu meledak dari bibirnya dengan kekuatan yang seolah-olah membelah ruang waktu. Setiap suku kata yang keluar terasa seperti gelombang kejut yang menggetarkan tanah dan udara di sekelilingnya. Dalam sekejap, energi dari segel yang ada pada tubuh Raka terbangun kembali, seolah hidup, terhubung kembali dengan kekuatan yang tak terbayangkan.
“Aku menemukannya. Raja bodoh itu, memasang perlindungan.” Sang Hyang Mada menyeringai kejam
---
Di tempat lain, di gubuk kecil yang terletak di tepi pantai yang sunyi, Citra merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Raka, yang terbaring di sisinya, tampak gelisah. Keringat dingin mengucur deras dari pelipisnya, bercampur dengan rasa sakit yang menggelora. Dadanya terasa terbakar, seolah-olah darah yang mengalir di tubuhnya tiba-tiba mencengkeramnya, menekan dan mengikatnya dengan kekuatan yang tak terbayangkan.
Citra merasakan ketakutan menyelip di antara helaan napasnya. Ia memandang Raka, cemas. Ia ingin berbuat sesuatu, tapi hanya bisa membersihkan peluh yang semakin membasahi wajah pria itu, tanpa tahu bagaimana cara meringankan beban yang ditanggungnya.
Meskipun tubuhnya lelah dan sakit, Raka tidak menyerah. Perlahan, ia membuka matanya yang terpejam. Tatapannya tajam, penuh tekad, seakan menandakan bahwa ia tidak akan membiarkan apapun atau siapapun mengalahkan dirinya.
“Kita harus bersiap. Dia sudah menemukanku,” suara Raka terdengar berat, namun penuh keyakinan.
Raka terbangun, duduk dengan perlahan, meskipun rasa sakit masih menggerogoti tubuhnya. Jemari tangannya mengepal kuat, otot-ototnya menegang. Dalam kesunyian malam itu, dengan satu sentakan kuat, ia melepaskan kekuatan perlindungannya.
Gemuruh yang berasal dari laut terdengar, ombak seakan bergejolak dan menggulung lebih tinggi. Dengan sentakan itu, sebuah perlindungan yang tak terlihat mulai terbangun di sekitar gubuk tempatnya dan Citra bersembunyi. Sebuah pelindung magis yang sangat kuat, yang hanya bisa ditangkap oleh mata yang terlatih, membungkus tempat itu dalam kekuatan yang seolah menahan segala ancaman dari luar.
Di balik kabut tipis yang menggantung di atas bibir pantai, siluet tinggi menjulang perlahan muncul. Langkah-langkahnya berat, tak tergesa, namun pasti. Setiap jejaknya membakar tanah yang basah dan asin. Angin laut, yang tadinya menyapu bebas, mendadak berhenti—seolah enggan menyentuh wujud itu.
Burung-burung menghilang dari langit. Ombak menunduk. Segalanya diam, menyambut kedatangan malam yang lebih kelam dari biasanya. Gubuk kecil itu berdiri rapuh, dibungkus sihir perlindungan yang nyaris tak kasatmata. Cahaya biru berkedip lemah, seperti napas terakhir lilin yang kehabisan minyak. Retak-retak mulai merambat dari sudut-sudut pelindung, menganga seperti luka lama yang kembali dibuka.
Raka berdiri tegak di tengahnya. Tubuhnya gemetar, tapi sorot matanya menyala. Citra di sisinya, menggenggam tangannya erat. Tak ada kata. Hanya kesadaran bahwa malam ini bukan untuk melarikan diri.
Tekanan itu datang seperti gelombang tanpa suara. Ribuan tangan tak terlihat menekan udara dan tanah. Tanah merintih. Langit seperti dicekam. Lingkaran sihir itu bergemuruh, lalu retak. Cahaya pelindungnya hancur perlahan, seperti kaca melayang yang pecah dalam diam.
Sang Hyang Mada muncul di ambang batas sihir yang telah porak-poranda. Jubah hitam panjangnya mengepak ringan, seperti kelam malam yang hidup. Matanya menyala samar, menyimpan ribuan kutukan dalam diam. Ia tak bersuara. Tak ada ancaman. Hanya tatapan.
Tatapan itu cukup untuk membuat Citra menghela napas tertahan. Seluruh tubuhnya kaku, namun ia tetap berdiri. Raka, di sampingnya, menggenggam lebih erat. Tak ada ketakutan yang bisa disembunyikan lagi.
Cakram biru di pergelangan Raka berdenyut sekali, lalu padam. Sang Hyang Mada melangkah pelan. Tidak terburu-buru. Tidak perlu terburu-buru. Takdir tak pernah berlari. Ia hanya tiba saat waktunya datang. Waktu itu adalah kini.
---
Raksa dan Lodra menyelinap keluar dari bayangan pohon kelapa yang menggantung diam. Tak ada suara, hanya gerakan sunyi yang dipenuhi kebencian purba. Mereka besar, lebih tinggi dari manusia biasa, tubuh mereka seperti bayangan raksasa yang dibentuk dari kegelapan dan amarah. Tidak ada mata. Tidak ada suara. Hanya kehendak untuk membinasakan.
Begitu lingkaran pelindung runtuh, mereka meluncur ke arah Raka dan Citra seperti panah tanpa jiwa. Citra nyaris terjatuh saat energi sihir mengoyak udara. Raka menahan tubuhnya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya terangkat ke depan. Cakram biru di pergelangan tangannya kembali menyala. Bukan lagi sebagai pelindung—kali ini sebagai pemantik kekuatan.
"Aku tidak akan menyerahkan diri," bisiknya, pada dirinya sendiri.
Tanah di sekelilingnya merekah. Segel-segel sihir di tubuh Raka mulai aktif, membakar kulitnya dari dalam. Simbol-simbol kuno menyala di leher, dada, hingga pergelangan tangan. Udara berdesing, memekakkan telinga. Laut pun terdorong mundur beberapa meter oleh gelombang energi yang tiba-tiba meledak dari tubuhnya.
Raksa meloncat lebih dulu—gerakan tubuhnya secepat bayangan. Tapi Raka telah bersiap. Satu kibasan tangan, pusaran api membentuk lingkaran sihir, menyambar Raksa dan melemparkannya ke belakang seperti boneka jerami.
Lodra bergerak dari kejauhan. Dari tubuhnya, semburan kabut hitam melesat seperti tombak. Raka melompat ke samping, lalu menghentakkan kakinya ke tanah. Pilar cahaya biru muncul dari dalam bumi, menghantam kabut hitam itu hingga terpecah seperti asap dipecah cahaya.
Raksa muncul kembali dari sisi kiri, kini dengan keris berbalut asap hitam. Ia mengayunkan senjatanya, tapi sebelum bisa menyentuh kulit Raka, sebuah tameng energi muncul seperti retakan cermin di udara, menahan serangan itu.
Serangan demi serangan bertubi-tubi. Mereka bukan lawan mudah. Raksa seperti binatang buas yang terus menerkam. Lodra mengendalikan udara dan kabut untuk menyesatkan arah, menyembunyikan jejak, menekan dari bayang-bayang.
Raka tak mundur. Tubuhnya bergetar karena sakit, tapi matanya tak redup. Api, air, cahaya, dan simbol—semua ia panggil. Dengan suara rendah dan penuh gema, ia melafalkan mantra dalam bahasa leluhur:
“Yamāntaka nāmaśakti.”
Cahaya biru mendadak memusat di telapak tangannya. Ia dorong kedua tangannya ke tanah, dan gelombang energi membentuk segel raksasa beraksara Jawa kuno. Pusaran sihir meledak, mengurung Raksa dan Lodra dalam lingkaran yang menggila. Pasir beterbangan. Udara meledak seperti dihantam palu petir.
Tubuh Raksa terhempas, membentur batu karang. Lodra tersungkur, tubuhnya melesak ke dalam tanah, kabut hitam di sekelilingnya berhamburan seperti debu.
Raka hampir ambruk. Lututnya bergetar. Matanya mulai buram, darah menetes dari sudut bibirnya. Tapi ia tetap berdiri. Masih di antara kehancuran. Masih melindungi.
Sang Hyang Mada belum bergerak. Ia hanya mengamati dari kejauhan. Senyumnya tipis. Penuh rencana.
Sang Hyang Mada melangkah menantang Raka.
Langkah-langkahnya berat namun tenang—seperti malaikat maut yang tak pernah tergesa. Jubah hitamnya menyapu tanah, mengusik debu dan bayangan yang seolah hidup. Di sekelilingnya, dunia perlahan memudar: warna-warna menghilang, suara lenyap ditelan sunyIa maju beberapa tapak.
Segel-segel di tubuh Raka berdenyut hebat, menyala liar. Cahaya biru berubah menjadi ungu tua, bergetar seperti jantung yang dipaksa berdetak melawan ritme alam. Tubuhnya terkunci. Ia menggigit bibir, menahan raungan yang nyaris lolos.
Tangan Sang Hyang Mada terangkat, menggenggam udara kosong di depan dadanya.
Seketika, dada Raka mencengkeram sakit—seolah kuku tak kasatmata meremas jantungnya.
Darah menetes dari bibirnya. Setetes. Lalu dua. Lalu tak terhitung.
Namun ia tak roboh. Belum. Tidak kali ini.
Matanya menatap ke depan—kabur, namun masih menyala. Napasnya berat, tapi masih bernyawa.
Sang Hyang Mada menyeringai.
“Ternyata ini bagian dari kekuatanmu, Raka?” Suaranya tenang, mengalun seperti nyanyian kematian. Bukan ejekan. Bukan pujian. Hanya pengakuan. Ia menghentakkan satu kaki ke tanah.
Bumi retak. Patahan menjalar seperti jaring laba-laba, merambat cepat menuju tempat Raka berdiri. Tanpa bisa dicegah, lutut kirinya bertekuk. Tubuhnya merosot setengah, nyaris tersungkur. Satu tangannya masih terangkat. Dari telapak itu, sihir tetap memancar. Retak-retak cahaya membentuk pola baru di udara—samar, nyaris padam, tapi ada. Raka belum menyerah.
Sihir dari telapak tangan Raka meledak dalam semburan terakhir—menerpa tanah di hadapannya dengan kilatan menyilaukan. Ledakan mengguncang tanah, memaksa Sang Hyang Mada mundur satu langkah. Itu cukup.