KALA LESA

iza arsalan
Chapter #6

BAB 5 PERINTAH TERAKHIR

BAB 5

PERINTAH TERAKHIR

Jakarta, Agustus 1945

Langit tampak beku malam itu, seperti menahan napas di ambang kelahiran sesuatu yang besar—kemerdekaan yang belum pasti, harapan yang masih digantungkan di ujung senjata dan doa. Di jalanan ibu kota, udara terasa padat oleh suara-suara yang tertahan, oleh percakapan yang berani hanya dibisikkan di antara bayang.

Poster-poster perjuangan menempel di tembok-tembok tua: gambar garuda setengah pudar, semboyan merdeka dengan tinta luntur, dan wajah-wajah pemuda yang menyerukan harapan. Semuanya bergetar oleh tiupan angin malam, seolah kota ini juga gemetar dalam ketidakpastian. Lampu-lampu jalan menyala setengah hati, memantulkan cahaya kuning redup di trotoar yang penuh retakan dan jejak langkah yang tak pernah benar-benar hilang sejak zaman kolonial. Lonceng gereja terdengar jauh di kejauhan, menggema pelan, seperti mengingatkan bahwa waktu terus berjalan, bahkan ketika jiwa manusia masih tertahan di tempat yang sama.

Di antara semua itu, seseorang melangkah pelan. Bayang-bayangnya panjang tapi tak bersuara. Setelan jas hitamnya nyaris menyatu dengan malam, dan jubahnya—berbahan berat seperti kain pelayat—bergerak ringan tiap kali angin menyentuh. Di sisi kirinya, wajahnya tertutup oleh topeng emas berukir. Tak ada yang tahu siapa dia, atau dari mana ia datang. Tapi

Langkahnya mantap, dan udara di sekitarnya berubah setiap kali ia lewat.

Bayangan dari masa lalu yang belum pernah selesai. Ia tak pernah benar-benar hidup sejak lama, tapi juga tak pernah benar-benar mati. Tubuhnya mungkin masih berdetak, tapi jiwanya telah membeku di dalam labirin perintah dan darah. Ia telah menjadi alat—bukan milik bangsa, bukan milik rakyat, tapi milik satu kuasa kuno yang tak terlihat mata manusia. Sang Hyang Mada memberinya hidup, tapi mengambil segalanya.

Dia berjalan di antara kehidupan yang hendak dilahirkan kembali, tapi dirinya sendiri telah mati berkali-kali dalam lima puluh dua tahun terakhir. Ia telah membunuh tanpa tanya.

Telah melupakan wajah-wajah mereka yang ia renggut hidupnya. Tapi tubuhnya masih mengingat. Dan jiwanya—jika itu masih ada—masih menanggung bisik sunyi dari nyawa-nyawa itu. Di balik tembok, dari gang-gang sempit, dari warung remang hingga rumah-rumah tua, bisikan-bisikan menyertai langkahnya:

“Apa kalian pernah dengar?”

“Dengar apa?”

“Dia… yang berjubah hitam. Berpenampilan aristokrat, sorot matanya tajam. Kulitnya seputih pualam. Tapi… wajah kirinya… ditutup topeng emas.”

“Dia masih dicari pemerintah.”

“Pembunuh tanpa nama.”

“Semua berkata dia cuma mitos…”

“Tapi dia nyata.”

“Dia melesat bagaikan kelelawar malam.”

“Apa kau pernah menatap matanya?”

“Aku bilang jangan! Nanti kau bisa mati!”

“Ssssst! Aku tak berani menyebut namanya.”

“Dia itu… jubah hitam. Roh kematian.”

“Konon katanya… dia sudah ada sejak era kolonial. Tak pernah tua. Tak pernah hilang.”

Dan di tengah semuanya, ia tetap melangkah. Seperti bayangan yang tak butuh cahaya untuk hidup.

 

Malam itu, di balik kabut samar dan jalanan yang lengang, satu perintah t tiba. Tak bersuara. Tak tertulis. Hanya terasa—seperti luka lama yang tahu persis kapan harus terbuka.

Sang Hyang Mada. Suaranya bukan gema. Ia datang dari dalam—dari ruang yang tak pernah disentuh cahaya. Tenang, tanpa tekanan, tapi cukup untuk membuat jantung menahan napas sesaat.

“Satu lagi. Hapus yang mengganggu keseimbangan.” Tak disertai nama. Tak disertai alamat. Hanya potongan bayangan, seperti ingatan dari kehidupan lain.

Seorang lelaki duduk bersila di tengah gelap yang berpendar samar.

Kemeja putih membalut tubuhnya dengan rapi, tersembunyi di balik jubah lebar berwarna tembaga kusam.

Acharya Dharmasena.

Nama yang jarang disebut, bahkan di kalangan akademik. Dikenal hanya sebagai pengajar filsafat atau pustakawan di sebuah perguruan tinggi yang sepi pendengar.

Tapi di sekitarnya, udara tak pernah biasa. Buku dan batu, sihir dan sains, seolah berdamai di dalam dirinya.

Pusat keseimbangan yang tersembunyi. Sasaran yang ditentukan. Langit di atas kota menggulung awan gelap. Angin malam menggiring debu dan kabut menuruni trotoar, seakan Jakarta sendiri sedang bermeditasi. Tidak ada klakson. Tidak ada suara sepatu tergesa.

Hanya desir kain yang menyentuh aspal, dan bayangan panjang yang tak terputus.

Lampu jalan berkedip pelan, seolah ragu untuk tetap menyala. Poster perjuangan bergetar lembut, nyaris lepas dari tembok yang retak. Bayangan topeng emas menari di dinding, menyatu dengan warna-warna usang kota tua. Tangan kanan menyentuh sisi pinggang, tempat senjata tersembunyi di balik jubah. Bukan untuk bertanya, hanya untuk mengingat: ini bukan eksekusi pertama. Tapi udara terasa berbeda. Tidak dingin. Tidak hangat. Hanya terlalu hening. Seperti bumi menahan detak.

Di dalam dada, sesuatu bergetar. Bukan rasa bersalah. Bukan takut.

Lebih seperti getaran samar, yang dulunya disebut nurani, lalu dibungkam oleh terlalu banyak perintah.

Lelaki itu masih di sana. Duduk. Membaca. Menunggu. Seolah tahu ia sedang diawasi, tapi tidak peduli. Matanya tenang, seakan sudah melihat dunia terbakar dan tumbuh kembali lebih dari sekali. Langkah melambat. Kabut makin tebal. Dan waktu terasa diam, seperti menanti siapa yang lebih dulu memutus rantai.

 

Batavia, 1893

Langit menggantung rendah, gelap, dan berat. Hujan tipis turun membasahi jalanan batu. Kereta kuda menepi di depan sebuah rumah besar peninggalan Belanda—lampu minyak di pintu bergetar oleh angin. Ia berdiri dalam diam di bawah naungan pilar, mengenakan setelan gelap berkerah tinggi, bersih dan nyaris tanpa lipatan. Sarung tangan putih membungkam jejak dari setiap sentuhan. Wajahnya tertutup topeng emas di sisi kiri, menyisakan satu mata yang memandangi malam dengan ketenangan menyeramkan.

Di balik punggungnya, tersembunyi sebilah keris tua, bilahnya berlapis cahaya halus—bukan nyala terang, tapi sinar sunyi yang terasa lebih dingin dari hujan. Dari dalam kereta, turun seorang pria bangsawan—yang tetap memegang nilai leluhur dalam dunia yang mulai kehilangan arah. Ia melangkah dengan kepala tegak, tidak tahu bahwa ajalnya telah mematung menunggu.

Gerbang terbuka. Dunia seakan menahan napas. Langkah kaki korban menyentuh tanah basah. Lalu segalanya terjadi dalam sekejap— Satu tebasan sunyi. Cahaya itu menembus dada, menyisakan luka tanpa darah.

Tak ada jeritan. Hanya suara hujan, dan bau tanah yang lembap. Tubuh itu jatuh perlahan. Di balik kerahnya, tergantung liontin perunggu beraksara kuno. Ia ambil tanpa ragu, lalu berbalik, menyatu dengan malam.

Kilau cahaya samar di bilah kerisnya padam, seiring bayangan itu menghilang bersama kabut. Dan topeng emasnya—yang tak pernah menunjukkan belas kasihan—terus memantulkan sisa cahaya dari dunia yang nyaris mati.

----

Kamar itu bukan penjara, tapi segel. Interiornya berisi perabot bergaya bangsawan kolonial—meja kayu jati tua, rak buku penuh naskah dan pusaka kuno, jendela besar yang ditutup rapat oleh tirai beludru berat warna darah tua. Dinding-dindingnya dilapisi panel kayu dengan ukiran halus, masing-masing memuat simbol dari kerajaan-kerajaan yang telah tiada. Tidak ada debu, tidak ada lumut. Hening, rapi, dan megah. Tempat pengasingan seorang raja. Terlalu berbahaya untuk dibunuh. Terlalu berharga untuk dilepaskan.

Langkah kaki terdengar berderap dari lorong panjang. Pintu berukir terbuka perlahan. Ia melangkah masuk lebih dulu. Di belakangnya, dua bayangan mengikuti: Raksa dan Lodra, setia seperti bayangan gelap dari kehendak yang lebih besar. Tanpa ragu, tubuh itu bergerak menuju tengah ruangan. Lalu berlutut. Di kedua tangannya, ia persembahkan keris tua—bilah yang tadi bersinar tipis sebelum menelan satu nyawa terakhir malam itu.

Lalu, dari dalam saku dalam jubah hitamnya, ia mengeluarkan liontin perunggu beraksara kuno. Bentuknya oval, tua dan dingin. Aksara yang terukir di permukaannya bersinar samar di bawah cahaya lampu minyak. Ia letakkan liontin itu di atas kedua telapak tangannya, bersebelahan dengan keris. Seolah mempersembahkan dua kunci bagi seseorang yang menunggu di balik pintu kekuasaan.

Raksa dan Lodra mendekat dari sisi kanan dan kiri. Tanpa suara, mereka menunduk. Dan dengan kehati-hatian seperti dalam ritual, mereka melepaskan topeng emas dari wajahnya. Logam itu berkilat samar saat terangkat dari kulit.

Mata di baliknya kosong. Tidak mati. Tidak hidup. Hanya cahaya abu-abu yang seolah tidak memantulkan apa pun, hanya menyerap. Pintu kembali terbuka. Aroma dupa menyelinap bersama embus udara dingin dan tanah basah.

Sang Hyang Mada melangkah masuk. Ia mengenakan jubah panjang warna merah tanah, dengan bordir simbol-simbol kuno Jawa menghiasi tepian lengan dan kerahnya. Rambut hitamnya panjang, disisir rapi dan diikat ke belakang, memancarkan wibawa yang tak berasal dari usia, tapi dari kuasa yang tak lagi perlu dibuktikan.

 Berdiri dengan pongahnya di hadapan sosok yang berlutut. Menunduk perlahan.

Satu tangan terulur—mengangkat dagu dengan gerakan nyaris lembut. Matanya mencari. Mencari sisa perlawanan. Mencari bara yang belum padam Mencari tanda-tanda bahwa sesuatu di dalam pemuda itu masih menolak. Tapi yang ia temukan hanyalah… kehampaan. Diam yang terlalu rapi untuk keikhlasan. Kosong yang terlalu dalam untuk ketundukan.

Sang Hyang Mada menyipitkan mata, lalu tersenyum. Tipis. Datar. Lebih menyerupai penghakiman daripada kasih.

"Bagus," gumamnya. Ia berbalik. Raksa dan Lodra bangkit dan mengikuti dari belakang, langkah mereka tak berbunyi di atas lantai marmer. Pintu besar kembali tertutup rapat. Cahaya dari luar padam sepenuhnya.

Dan yang tersisa hanyalah dia—berlutut di bawah tirai beludru, dikelilingi ukiran kerajaan yang sudah menjadi abu sejarah. Di tangannya, keris tua dan liontin perunggu telah diserahkan, dan mata yang tak lagi dimiliki sepenuhnya oleh dirinya menatap kosong ke depan.

 

Batavia, 1901

Lihat selengkapnya