KALA LESA

iza arsalan
Chapter #7

BAB 6 JEJAK YANG KEMBALI

BAB 6

JEJAK YANG KEMBALI

 

Dari kelam yang membatu, ia menjelma nyala yang menolak padam,

tak lagi tunduk pada rantai, tak lagi diam pada luka.

Langkahnya bukan sekadar kembali—ia menggetarkan akar dunia,

membelah sunyi dengan tekad yang lebih tua dari surga.

Bahkan dewa pun terdiam di hadapan matanya yang menyala,

sebab ada murka agung yang tak bisa dikurung oleh nama.

Ia bukan bayangan masa silam—

ia adalah badai yang telah memilih untuk melawan.

Langit malam terasa pekat, seperti menutup seluruh Jakarta dengan selimut kelam. Lampu-lampu kota yang mulai menyala redup hanya mampu menerangi sebagian jalanan, sementara suara burung malam dan deru kendaraan tua yang sesekali melintas menciptakan irama sunyi yang mencekam. Di kejauhan, denting lonceng gereja tua bergema samar, bersaing dengan suara peluit patroli tentara yang menyusuri gang-gang sempit. Bau asap kayu terbakar dari dapur rumah penduduk bercampur dengan bau tanah basah dan oli dari jalanan yang belum sepenuhnya beraspal.

Di tengah atmosfer itu, Raka berlari terengah-engah. Tubuhnya terluka parah setelah pertempuran sengit dengan Raksa dan Lodra. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menodai setelan hitam elegan yang kini robek di beberapa bagian. Jasnya terbuka, kain bagian dalamnya sobek, dan leher bajunya memperlihatkan segel biru bercahaya yang menggores kulitnya dengan sihir menyakitkan. Segel pusaka itu menyala samar, seperti bara yang membakar dari dalam, menekan setiap sendi dan ototnya. Setiap langkah terasa seperti menembus dinding tak terlihat, tapi ia terus memaksa diri. Ia tidak boleh berhenti.

Sihir itu masih membelenggunya—siang dan malam, tubuh dan jiwanya. Tapi tekadnya jauh lebih kuat dari rasa sakit yang mendera. Di antara lorong-lorong sempit kota tua yang belum sepenuhnya pulih dari perang, Raka tahu bahwa ini adalah satu-satunya kesempatan yang ia punya. Satu celah kecil untuk membebaskan dirinya dari cengkeraman Sang Hyang Mada. Dan jika malam ini gagal, maka tidak akan ada esok.

Dengan napas tersengal, Raka memusatkan seluruh energi sihirnya pada cincin pusaka yang mengekang dirinya. Segel yang terukir di lehernya mulai berdenyut panas, memancarkan cahaya biru redup yang semakin menyilaukan. Energi di sekelilingnya berubah—udara menjadi berat, seperti ditarik ke satu titik di tubuhnya. Ia menahan rasa sakit yang mencengkeram tulang-tulangnya, Perlahan, ia mengangkat tangan kanannya, jari-jarinya gemetar saat membentuk mudra kuno—sebuah simbol sihir leluhur yang hanya bisa digunakan oleh darah bangsawan.           

Cahaya kebiruan muncul dari telapak tangannya, berdenyut, liar, dan nyaris tak terkendali. Tapi ia menahannya—mengarahkan, mengurungnya, memaksa sihir itu untuk patuh. Gelombang energi yang hangat namun tajam mengalir dari tubuhnya, menembus ruang dan batas antara dirinya dan Sang Hyang Mada.

Sebuah ledakan energi mengalir keluar, bukan dengan suara gemuruh, tapi seperti hentakan sunyi yang merobek udara. Cahaya membentuk pola kuno di udara, berdenyut liar sebelum pecah menjadi percikan sihir yang membakar tanah sekitarnya. Untuk sesaat, segel di lehernya meredup—Dan di saat itu juga, ia merasakannya.

Jauh di tempat lain, di balik lapisan dunia dan waktu, ada sesuatu yang tersentak. Sihirnya tak hanya memecah segel—ia tahu, ia menembus kesadaran Sang Hyang Mada sendiri. Ada gema samar dalam pikirannya, gema yang bukan miliknya. Sebuah jeda. Sebuah dengusan kasar.  Sang Hyang Mada juga merasakan sakit itu.

Raka mengangkat wajahnya, senyum tipis menghiasi sisi sebelah kanan bibirnya yang berdarah.

“Hah… bagaimana rasanya sihirku, Mada?” menyeringai pahit.

Ia meludah ke tanah, darah pekat memercik, lalu tertawa pelan, lemah, tapi penuh kemenangan.

"Puuiih."

Langkahnya goyah, tapi sorot matanya tetap tajam. Meski tubuhnya nyaris tak bisa berdiri tegak, satu hal pasti—ia belum menyerah. Dan malam ini, ia berhasil menggoreskan luka kecil pada sosok yang selama ini nyaris tak tersentuh.

Melihat Raksa dan Lodra mendekat, Raka tahu waktunya hampir habis. Dengan cepat, ia mengaktifkan sihir elemental, mengendalikan elemen alam di sekitarnya. Gelombang api menyembur dari telapak tangannya, menciptakan pusaran api besar yang melindunginya. Api itu menyala liar, membakar sebagian dari pelindung Raksa dan menghentikan serangan-serangan mereka. Tak berhenti di sana, angin tajam yang diciptakan Raka meluncur deras, menangkis setiap hantaman dari arah Lodra yang terus menggempurnya dengan kecepatan mematikan.

Namun keadaan semakin kritis. Dengan tubuh hampir tak berdaya, Raka tahu satu-satunya cara untuk menghentikan pengejarannya adalah dengan melepaskan ledakan energi magis besar—satu hentakan terakhir dari kehendaknya sendiri. Dalam momen itu, ia memejamkan mata, mengumpulkan seluruh kekuatan yang tersisa, dan mengalirkannya dalam satu titik pusat di dadanya.

“Kadang,” gumamnya lirih di tengah dentuman sihir dan bara panas yang membakar udara,

“Entitas pun harus bisa diberikan pelajaran agar memahami makna menyerah.”

Ia membuka matanya perlahan, penuh keyakinan dan amarah yang terpendam sejak berabad-abad.

“Pada Maharaja!!!” Senyumnya melebar—bukan senyum kemenangan, tapi senyum yang tahu, bahwa bahkan dewa pun bisa dipukul mundur.

Seketika itu juga, energi meledak dari tubuhnya. Tanpa suara ledakan—hanya getaran besar seperti gema dari dimensi lain. Ruang sekitarnya bergetar, udara terbelah, dan cahaya sihir menyapu dengan ganas. Serangan itu menghantam Raksa dan Lodra, memukul mereka mundur. Tubuh mereka terpental dan menghantam tanah dengan keras.

Raksa, yang mengandalkan kekuatan fisik dan sihir tingkat rendah, menjadi sasaran paling lemah. Dengan satu serangan bola api besar, pertahanannya hancur. Ledakan sihir berikutnya menabrak tubuhnya secara langsung. Ia jatuh terkapar—tak bergerak.

Lodra, lebih gesit dan penuh tipu daya, mencoba menyerang dari sisi buta. Tapi Raka, yang sudah membaca pola itu, memutar sihir anginnya membentuk pusaran. Angin menggulung Lodra, mengangkatnya ke udara lalu membantingnya kembali. Semburan sihir terakhir menyapu tubuh Lodra ke kejauhan. Ia jatuh membentur tembok tua, tak mampu berdiri lagi.

Raka terhuyung. Napasnya berat. Tapi ia belum selesai. Mata kanannya menyala sejenak—sinar biru segel di cakram pusakanya bergetar. Ia mengangkat tangan, lalu melepaskan sisa sihir yang terkumpul. Satu serangan—bukan ke Raksa atau Lodra, tapi ke kejauhan. Ke arah Sang Hyang Mada. Menembus ruang. Menembus waktu. Menembus ikatan antara mereka.

Energi itu melesat cepat, membelah langit. Dan di ujung sana, jauh dari tempat Raka berdiri, Sang Hyang Mada menyadari bahwa sihirnya, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama  ditembus. Namun kemenangan itu tidak datang tanpa harga.

Tubuh Raka semakin lemah, luka-lukanya menganga. Darah menetes dari sudut kiri di topeng emasnya. Ia terhuyung, terpaksa mundur. Tapi ia tak berhenti. Dengan langkah terengah-engah, ia terus berjalan—kemudian berlari, membelah malam. Topeng emas masih menempel di wajah kirinya, dingin dan menyakitkan, seperti sisa hinaan yang tak bisa ia tanggalkan. Itu bukan topeng biasa. Itu adalah belenggu—

 

 

---

Dengan napas tersengal, Raka terus berlari, langkahnya semakin goyah, seakan tubuhnya sudah kehabisan tenaga. Setiap detik terasa seperti pergulatan berat antara harapan dan keputusasaan. Topeng emas itu—topeng yang dipasang oleh Sang Hyang Mada—terasa semakin berat di wajahnya, memaksa dirinya untuk melawan rasa sakit yang menggerogoti. Ketika ia menatap ke depan, penglihatannya mulai kabur, dan dunia sekelilingnya berputar. Kakinya hampir tidak bisa menahan tubuh yang nyaris tak sadarkan diri. Ia berhenti tiba-tiba, hanya beberapa langkah dari sebuah rumah yang tampak begitu asing, namun ada sesuatu yang membuatnya berhenti.

Rumah itu terletak di pinggiran kota, di antara gang-gang sempit yang sepi. Bangunannya sederhana namun terawat dengan baik. Atapnya yang tinggi terlihat kokoh, sementara dinding batu yang agak pudar mencerminkan usia tua, seolah rumah itu sudah lama ada, namun tetap penuh dengan kehidupan. Pintu kayu besar yang setengah terbuka seakan menyambutnya, meskipun ia tidak tahu mengapa.

Matanya berkunang-kunang, hampir tidak sadarkan diri. Ia tahu, dirinya tidak bisa bertahan lebih lama. Di saat itulah, naluri yang tak bisa dijelaskan mendorongnya untuk berjalan mendekat. Setiap langkah terasa seperti beban, namun rumah itu seakan memanggilnya, sebuah tempat yang mungkin memberi sedikit perlindungan.

Di dalam, Larasati merasakan sesuatu. Suatu kekuatan yang tidak bisa ia pungkiri, suatu perasaan yang mendorongnya untuk membuka pintu. Ia tidak tahu mengapa, tapi ia merasa seperti ada yang membutuhkan pertolongannya. Ketika pintu terbuka, matanya tertumbuk pada sosok yang sama—pria yang ia temui kemarin, pria yang wajahnya sebagian tertutup oleh topeng emas. Namun, ada yang berbeda malam ini. Pria itu penuh luka, darah mengalir dari tubuhnya, dan langkahnya terhuyung-huyung.

Larasati dengan cepat meraih pintu untuk menahannya agar tak jatuh. Tanpa berkata banyak, ia menyentuh wajah pria itu dengan lembut, menyentuh sebagian topeng emas yang menutupi wajah kirinya. Dalam hati, ia merasa khawatir, namun nalurinya menyuruhnya untuk tidak mundur.

Pria itu, dengan sisa kekuatannya, menyentuh jemari Larasati, perlahan menariknya ke wajahnya, menahan sentuhan lebih lanjut. "Jangan," suaranya penuh perhatian, namun juga terisak karena rasa sakit yang luar biasa, "Nanti kau bisa terluka."

Larasati hanya mengangguk, meskipun bingung dengan kata-kata pria ini. Ia segera memapahnya masuk ke dalam rumah, membawa tubuh yang semakin lemah itu dengan hati-hati. Ia membawanya ke kamar tidur, meletakkannya dengan lembut di atas ranjang.

Dengan cekatan, Larasati mulai membersihkan luka-lukanya, tangan terampilnya bergerak meski ada rasa cemas yang menggelayuti. Ia tidak mengerti mengapa, tetapi ada perasaan mendalam dalam hatinya, seperti ia telah mengenal pria ini lebih lama dari yang ia kira. Saat ia membersihkan luka di tubuh pria itu, Raka merasakan sesuatu yang langka—sesuatu yang sangat menenangkan. Suara-suara di kepalanya mulai mereda, dan tubuhnya terasa lebih ringan. Perlahan, rasa sakit itu memudar.

Ketika Larasati selesai merawatnya, ia menyentuh dahi Raka dengan lembut, memastikan bahwa pria itu tidak dalam bahaya. Mata Raka perlahan terpejam, dan dalam keheningan malam, di kediaman Larasati, tubuhnya akhirnya menyerah pada kelelahan yang tak bisa ditahan. Ia terlelap, tak sadarkan diri, di atas ranjang yang terasa begitu asing, namun juga penuh dengan rasa aman yang tak dapat dijelaskan.

Di luar, angin malam bertiup pelan, dan bintang-bintang berkelip di langit, seakan menyaksikan pertemuan yang tak direncanakan ini—pertemuan antara dua jiwa yang dipertemukan oleh takdir, meski jalan mereka penuh dengan darah dan sihir yang membelenggu.

---

           Hening menyelimuti ruangan. Angin malam hanya menyusup pelan lewat celah jendela, seolah tak ingin mengganggu momen yang rapuh ini.

Larasati duduk di tepi ranjang, memperhatikan pria yang kini terbaring di tempat tidurnya

Separuh wajahnya masih tertutup topeng emas—dingin, keras, penuh rahasia. Tapi hatinya... hatinya tak bisa diam. Ada sesuatu yang berbisik dari dalam dirinya, menuntunnya.

Ia menatap tangannya sendiri. Masih mengenakan sarung tangan tipis berwarna kelabu. Tanpa ragu, ia melepasnya perlahan. Di bawah cahaya lampu minyak, tampak samar sebuah pola seperti rajah tua di telapak tangannya—cahaya halus keemasan yang hanya muncul sesekali, tak bisa dijelaskan oleh logika.

Dengan lembut, Larasati menyentuhkan telapak tangan itu ke sisi kiri wajah pria tersebut. Topeng emas itu menghangat. Sebuah desisan lirih terdengar, seperti logam yang merespons sihir lama.

Lalu...

Suara retakan halus mulai terdengar. Seperti permukaan es yang mulai pecah, perlahan dan pasti. Retakan itu menjalar dari ujung atas ke bawah, membentuk pola yang nyaris simetris. Satu per satu kepingan kecil topeng itu terlepas, jatuh ke lantai kayu dengan bunyi berat dan sunyi.

Topeng itu runtuh.

Dan untuk pertama kalinya, Larasati melihat wajah pria itu sepenuhnya. Topeng emas itu telah runtuh, menyisakan wajah yang selama ini tersembunyi di balik sihir dan penderitaan. Larasati terdiam, napasnya tertahan melihat sosok yang terbaring di hadapannya.

Ia mendekat, perlahan. Jemarinya terulur, gemetar saat menyentuh pelipis pria itu. Sentuhan itu mengalir seperti gema dari masa silam. Tangannya bergerak turun, menyusuri alis yang tenang, lalu menyentuh kelopak matanya yang terpejam.

Mata yang tertutup itu menyimpan kedalaman, seolah pernah memandangnya dari jauh, dari waktu yang terlupakan.

Jemari Larasati turun ke hidungnya, mengikuti garis tegas yang terasa tak asing. Bentuknya… seolah pernah ia kenal. Lalu ia menyentuh bibirnya—diam, pucat, namun begitu familiar. Seketika itu juga, dadanya bergetar.

Wajah ini…

Bukan wajah asing.

Terlalu akrab.

Terlalu dekat,

Seakan tertanam dalam ingatan yang belum pernah ia pahami.

Tiba-tiba, kelopak mata pria itu bergetar. Larasati tersentak kecil. Belum sempat menarik tangannya, mata itu terbuka—perlahan, namun penuh kesadaran. Mata kanan Raka tampak redup, menyimpan lelah dan luka. Tapi mata kirinya…

Ada cahaya aneh yang memancar dari sana. Biru keperakan, dengan iris berbentuk keris kecil, seolah badai tersimpan di dalamnya. Retakan samar, seperti urat kristal, menjalar dari sudut bola matanya—bekas sihir dan kutukan yang telah lama mencengkeram. Untuk sesaat, dunia seperti berhenti.

Raka menatap balik, sadar sepenuhnya bahwa topengnya telah runtuh—dan wajahnya kini terbuka. Terlihat. Rapuh. Namun yang mengejutkan baginya, bukan ketakutan yang ia temukan di mata Larasati. Melainkan sesuatu yang jauh lebih dalam. Pengenalan. Keterikatan. Dan luka yang sama.

Dengan napas tertahan, Raka perlahan menyentuh telapak tangan Larasati.

Rajah itu... masih ada di sana. Tanda dari masa lalu yang tak pernah hilang. Tanda yang dulu ia ukir pada Citra Rashmi. Senyum tipis menyentuh bibirnya.

"Lagi-lagi kau menyelamatkanku..." batinnya, lembut.

Larasati menggigit bibirnya, pipinya mendadak panas. Dadanya berdegup terlalu keras, terlalu cepat. Ia menarik tangannya dari genggaman pria itu—terlalu dalam. Terlalu dekat. Dengan langkah tergesa namun tak canggung, ia menuju lemari. Ditariknya sehelai kemeja krem dan celana khaki, lalu meletakkannya di sisi tempat tidur.

“Ganti bajumu... Tuan Anonim,” katanya cepat, tak menatapnya.

Raka menaikkan satu alis, suaranya parau, nyaris menggoda, “Tuan Anonim?”

Tak ada jawaban. Larasati sudah melangkah keluar dari kamar—membawa tubuhnya yang tenang, tapi hati yang berkecamuk. Membawa jantungnya yang berdetak terlalu keras setiap kali berada di dekat pria itu.

---

Lihat selengkapnya