BAB 7
BEBAS…..
Kematian pun tunduk pada darah yang ingat,
Kala dunia memalingkan cahaya yang hangat—
Keabadian menyebut namaku dalam bisu,
di liang waktu tempat dewa pun tak meramu.
Aku adalah luka di tubuh semesta,
Gema kelam yang tak bisa disembah, hanya dibaca.
Raka duduk di teras rumah Larasati, di bawah langit yang dipenuhi kabut malam. Keheningan Menteng malam itu seakan menelan seluruh dunia, hanya terdengar suara angin yang berdesir lembut, menggoyang dedaunan kering di halaman rumah. Lampu temaram di sekitar rumah Larasati menciptakan bayangan panjang di lantai, menghilangkan jejak-jejak langkah yang baru saja ia tinggalkan. Walaupun ada dua teman Larasati yang tidur di kamar belakang, rumah itu terasa seperti sunyi tanpa jiwa, terkunci dalam diam yang tidak dapat dijelaskan. Semua orang terlelap, namun tidak Raka.
Malam ini, tidur bukanlah pilihan baginya. Di dalam benaknya, perasaan itu kembali muncul—perasaan tercekik yang datang bersama bayangan dari masa lalu. Sang Hyang Mada, dengan segala kekuatan gelapnya, tidak pernah benar-benar meninggalkannya. Meskipun Raka tahu bahwa ia memiliki kendali atas dirinya, sihir Mada yang merasuk ke dalam sukma dan meremukkan jiwanya dalam mimpi-mimpi buruk, tidak pernah benar-benar hilang. Mada telah lama menguasai alam bawah sadarnya, menggerogoti kedamaian yang akhirnya didapatkan Raka setelah bertahun-tahun bertahan hidup.
Seperti terperangkap dalam sebuah siklus yang tidak berkesudahan, Raka merasakan betapa ia selalu diburu oleh ketakutan yang datang setiap kali ia terlelap. Keganasan Mada meresap ke dalam mimpinya, mengubur harapan dan menggantinya dengan bayangan kegelapan yang tak terkendali. Setiap kali ia berusaha melawan, sang hyang mada akan selalu muncul lebih kuat. Kali ini, Raka tahu bahwa dia tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut. Tidak malam ini. Tidak lagi.
Di tengah keheningan yang menguasai dunia luar, hatinya mulai bergejolak. Ada sebuah tekad yang mulai terbentuk dalam dirinya—sebuah keputusan bulat yang telah lama tertunda. Raka sadar bahwa ini bukan hanya tentang menghadapi Sang Hyang Mada di dunia mimpi. Ini adalah tentang menghentikan kekuasaan Mada atas dirinya, menghancurkan belenggu yang telah lama menahannya. Raka tahu bahwa tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi—kehidupan yang terbelenggu oleh masa lalu dan ketakutan tidak akan pernah memberi jalan keluar. Ia harus menghadapi kenyataan itu, tanpa rasa takut, tanpa rasa terkurung oleh takdir yang telah lama mengikatnya.
Dengan tekad yang semakin membara, Raka berdiri dari duduknya. Suara langkah kakinya yang menghantam lantai teras seakan mengubah suasana di sekitarnya, mengguncang keheningan malam yang telah begitu lama menahannya. Waktu untuk bersembunyi sudah habis. Sekarang adalah waktunya untuk mengakhiri semuanya.
Sekelilingnya tiba-tiba terasa kosong, seperti dunia ini hanya ada untuk dirinya sendiri. Dalam sekejap, Raka menghilang dalam gelap malam. Bayangannya menyatu dengan kegelapan, tak terdeteksi oleh siapa pun. Setiap langkahnya adalah langkah pasti menuju sebuah tujuan yang tak lagi bisa dihindari. Ia merasakan kekuatan dalam dirinya kembali bangkit, membanjiri tubuhnya, memberi keberanian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Tidak ada lagi rasa takut, tidak ada lagi belenggu yang mengekangnya. Semua yang ia butuhkan sudah ada dalam dirinya. Ini adalah pertempuran yang sudah lama seharusnya terjadi, dan kali ini, ia tidak akan mundur.
Dengan satu keputusan bulat, ia melangkah lebih jauh, menuju konfrontasi yang tidak dapat dielakkan. Mimpi buruk itu akan berakhir malam ini. Tidak ada lagi rasa takut yang mengikatnya. Tidak ada lagi belenggu yang mengekangnya. Mada tidak akan menang kali ini. Tidak ada yang bisa menghentikan Raka untuk merebut kembali kekuatannya—dan hidupnya.
Raka melesat melalui kegelapan malam Jakarta, langkahnya begitu cepat dan terarah, seolah-olah ia meluncur di atas tanah tanpa jejak. Angin malam berhembus kencang, namun ia tak terganggu, tubuhnya bergerak begitu sempurna, seolah menyatu dengan bayang-bayang yang menyelimuti kota. Langit yang mendung memberi kesan suram, dan udara terasa berat, sesak dengan aroma mesiu yang masih tercium dari pertempuran yang tak pernah berakhir.
Raka melintas melalui lorong-lorong kecil, jalan-jalan yang penuh dengan jejak sejarah dan kisah-kisah masa lalu. Di tengah jalanan yang sepi, ia menyadari bagaimana setiap sudut kota ini menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya yang panjang—mimpi buruk yang harus diakhiri, dan takdir yang harus dilawan. Hanya ada suara langkah kaki yang gemuruh di keheningan malam, mengiringi setiap detik yang terlewati.
Kediaman Sang Hyang Mada sudah dekat. Sebuah rumah besar bergaya modern yang berdiri tegak di kawasan elit, namun dengan aura yang jauh dari ketenangan. Bangunan itu, yang dulu menjadi penjara baginya, kini menjadi sasaran dari tekadnya yang membara. Tiap langkah membawa Raka semakin dekat untuk menyelesaikan urusannya dengan Sang Hyang Mada, untuk menuntaskan segala yang pernah mengikatnya dalam belenggu. Ia tidak lagi merasa takut. Tidak ada lagi ragu dalam hatinya. Semuanya akan berakhir malam ini. Dengan sebuah lompatan yang begitu ringan, Raka tiba di depan gerbang besar kediaman Mada. Ia hanya berhenti sejenak, menatap bangunan yang menyimpan banyak kenangan pahit, lalu melangkah masuk, menghilang ke dalam kegelapan malam, siap untuk mengakhiri semuanya.
Raka muncul di ambang pintu, dan seketika, sesaat sebelum dirinya sepenuhnya memasuki ruangan itu, sebuah kekuatan tak terlihat menghentikannya. Dengan dorongan yang kuat, Raka mendadak berlutut di hadapan Sang Hyang Mada. Rasa sakit itu begitu menyengat, datang dari dalam dirinya, namun ia berusaha menahan semuanya.
"Aku... kalah... Sang Hyang Mada..." ujar Raka dengan suara terputus, seakan-akan ada sesuatu yang membelenggu jiwanya. Sang Hyang Mada tersenyum puas, melihat Raka yang akhirnya tunduk. Sebuah kemenangan kecil yang tampaknya membuatnya merasa lebih kuat.
"Kau harusnya menurutiku, Raka," ujarnya, dengan nada yang penuh dengan kebanggaan. Ia mendekati Raka, tangan kanannya bergerak menuju dagu pemuda itu, hendak menyentuhnya, seolah ingin merasakan kontrol penuh atas setiap gerakannya. Namun, tak seperti yang ia bayangkan. Tanpa disadari, sebuah cahaya berkilau dari tangan kanan Raka, seakan memancarkan petir yang tajam dan tak terduga.
Kilatan itu menghantam perut Sang Hyang Mada dengan kekuatan yang begitu dahsyat. Tubuh Mada terhuyung, tersungkur jatuh, namun entah kenapa ia masih bisa tertawa, seakan menikmati setiap penderitaan yang ia alami. Raka menatapnya dengan mata yang penuh kebencian. Senyum mengejek muncul di wajahnya, penuh tantangan. Ia berdiri tegak, dan dengan langkah mantap, menghentakkan kakinya ke lantai marmer yang dingin. Suara keras terdengar, lantai di bawah mereka retak, seperti simbol dari kekuatan yang sedang berpadu.
"Sudah kubilang," Raka mengucapkan dengan tegas, suaranya bergema di ruangan itu, "rasanya sulit mengaku kalah, Mada. Menurut sumber terpercaya, aku lah maharaja itu.”
Raka menyombongkan dirinya. seolah mematahkan harapan Sang Hyang Mada yang sudah lama merasa tak terkalahkan. Sang Hyang Mada, yang masih terbaring di lantai, tetap tertawa—suaranya yang dalam dan mengerikan bergema di ruangan besar itu. Namun, di balik tawa itu, ada perubahan yang terlihat di matanya. Sesuatu yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Bottom of Form
Sang Hyang Mada terdiam sejenak, matanya yang tajam memancarkan sinar gelap, meskipun tawa itu masih menggetarkan udara di sekitar mereka. Tiba-tiba, ekspresinya berubah—sesuatu yang sulit dikenali mulai muncul di wajahnya. Tawa itu tak lagi penuh kemenangan. Ada keheningan yang mengerikan, seolah ia sedang menghitung langkah selanjutnya. Sesuatu yang lebih besar, lebih mengerikan, dan lebih mematikan.
Raka masih berdiri tegak, menatapnya dengan pandangan tajam dan penuh kebencian, namun ada kesadaran yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Momen ini bukan sekadar kemenangan kecil—ini adalah pertarungan yang akan menentukan segalanya.
Mada, yang masih terbaring di lantai dengan tubuhnya yang sedikit gemetar, merenggangkan tangan ke lantai seolah hendak bangkit kembali. Meskipun tubuhnya terluka, energi gelap yang ada di dalam dirinya tampaknya belum sepenuhnya sirna. Dalam sekejap, ia kembali berdiri, dengan sikap yang penuh ancaman.
"Raka," kata Sang Hyang Mada dengan suara serak, penuh amarah yang mendalam. "Kau berpikir ini selesai? Kau bahkan belum menyentuh inti dari apa yang aku persiapkan untukmu."
Sang Hyang Mada melangkah maju, jubah hitamnya berkibar dengan angkuh, dan cincin peraknya berkilau tajam di bawah cahaya remang. Namun kali ini, Raka tidak mundur. Ia tetap berdiri, wajahnya tenang, dengan senyum tipis yang terukir di bibirnya, penuh kebanggaan yang tersirat.
"Kau tunggu sini sebentar. Aku akan menyelesaikan yang harus kuselesaikan." Dengan satu gerakan tangan yang terarah ke pilar yang pernah menjadi simbol penghinaan baginya, Raka memanggil kekuatan api yang membara. Pilar itu runtuh, hancur seketika, seakan menyambut kehancuran yang sudah lama dinanti.
Dengan langkah tegas, Raka naik ke kamar segel yang dulu mengurungnya. Menatap segel-segel itu, kebencian lama muncul kembali, namun kali ini ia tak gentar. Dua tangan Raka mengeluarkan api biru yang memancar, melahap seluruh lapisan huruf-huruf yang ada pada dinding. Satu per satu segel itu hancur, seperti serpihan-serpihan kenangan yang akhirnya lebur di hadapannya.
"Saatnya menghadapi patihku yang luar biasa setia ini," gumam Raka dengan nada pongah, merasa sedikit terhibur dengan kehancuran yang ia ciptakan.
Raka kembali turun, kembali menghadapi Sang Hyang Mada. Namun, senyumnya yang penuh kebanggaan itu perlahan memudar menjadi sesuatu yang lebih antusias, penuh tantangan. Di depannya kini bukanlah Sang Hyang Mada, melainkan Lodra—entitas raksasa yang dulu selalu menghancurkannya. Raka menyimpan dendam lama padanya, dan kali ini, ia tidak akan menunggu lagi.
Secepat kilat, Raka maju, tidak memberi kesempatan untuk Lodra bergerak. Kali ini, bukan lagi soal siapa yang benar atau salah. Ini adalah pertarungan yang lebih pribadi, lebih gelap. Raka akan menyelesaikan apa yang dimulai.
Raka berdiri tegak, matanya menatap tajam ke arah entitas raksasa yang ada di hadapannya. Semua amarah, semua dendam yang terpendam selama bertahun-tahun, berkumpul dalam dirinya. Saat ini, Raka tak akan memberikan ampun lagi. Dengan tekad bulat, ia merentangkan kedua tangannya, mengumpulkan energi gelap yang meluap dari dalam dirinya.
Suara rendah yang menggetarkan mulutnya mulai keluar—mantra yang terucap dalam bahasa sansekerta kuno, penuh kekuatan mistik: