KALA LESA

iza arsalan
Chapter #9

BAB 8 Senja menghitam

SENJA YANG MENGHITAM

Ada seuntai kisah yang larut dalam senandung semesta—

lirih nadanya, nyanyian tua yang digumamkan dewa-dewi,

bagai dongeng purba yang tak kunjung usai,

berhembus di antara bintang dan bayang malam.

Tentang dua jiwa yang ditakdirkan saling mencinta,

namun tak pernah benar-benar bersua:

Tentang lelaki yang diselimuti waktu tanpa batas,

dan perempuan yang lahir hanya untuk mencintai—

lalu lenyap dalam senyap,

dibawa arus waktu yang enggan memberi jeda.

Telah hening segala tanya

bukan lagi tentang siapa yang bersalah,

atau siapa yang lebih dulu melangkah pergi—

hanya jejak yang menua dalam kenangan,

dan waktu yang tak ingin menyalahkan siapa pun.

Pagi itu, rumah peninggalan keluarga Larasati terasa berbeda. Udara di ruang utama padat oleh aroma kopi hitam dan ketegangan yang tak diucapkan. Peta besar terhampar di atas meja kayu panjang—coretan tangan, sisa arang, dan beberapa dokumen tua tersebar di sekitarnya. Para pemuda—beberapa dari mereka masih mengenakan celana lusuh dan kemeja terbuka di leher—berkumpul dalam diam yang penuh arti.

Suara sepatu Larasati memecah keheningan. Ia masuk dengan langkah ringan, namun mantap. Tangannya menggamit lengan Raka, mengumumkan kehadiran mereka bukan dengan kata-kata, tapi dengan gestur yang tak terbantahkan. Beberapa kepala menoleh, seolah menyaksikan bab baru yang telah lama mereka ramalkan.

"Kalian sudah tahu, bukan?" ucap Larasati pelan, namun mantap. “Kami sekarang bersama. Dan keputusan ini… keputusan semesta. Tak perlu diperdebatkan.”

Salah satu pemuda menoleh setengah mencibir, tapi senyumnya tak mampu menyembunyikan keheranan.

“Sudah kuduga,” gumamnya. “Tapi kurasa dia terlalu manja untuk Larasati…”

Suasana memanas sekejap—dan di tengah tatapan yang campur aduk, Arya berdiri mematung. Tatapannya tajam, namun tak sepatah kata pun keluar. Cemburu tak butuh suara. Ia menatap Raka seperti seseorang yang menyaksikan retakan kecil merambat pada tembok masa depan yang selama ini ia bangun dalam diam.

Larasati membalas tatapannya tanpa gentar.

“Aku tak meminta kalian mengerti. Tapi ini pilihanku. Dan tak satu pun dari kita bisa membaca arah semesta.”

Ada jeda. Lalu suara lain pecah—ringan, namun menyentil,

“Itu mobil Chevrolet hitam yang terparkir di depan... milik siapa?”

Raka menjawab sebelum sempat ada bisik-bisik lainnya. Ia mengangkat alis sedikit,

dengan senyum malas yang nyaris menyebalkan.

“Mobilku. Mungkin lain kali, kita jalan-jalan pakai itu. Kalau semesta mengizinkan.”

Tawa kecil terdengar di sudut ruangan, tapi tidak semua ikut tertawa. Beberapa hanya menunduk, menyembunyikan ketidakpastian. Dan Arya, masih diam—namun kini ada bara yang menyala dalam tatapannya.

Langkahnya maju. Kata-kata yang selama ini ia tahan, akhirnya meluncur seperti anak panah.

"Apa gunanya memiliki kekasih jika dia hanya priyayi manja berkulit pucat, arogan, dan tak memahami makna perjuangan. Orang sepertimu… hanya tahu kemewahan, bukan luka yang kami tanggung setiap hari."

Ruangan membeku. Suara-suara menguap seketika. Larasati hendak menanggapi, namun Raka menahan dengan gerakan halus tangan. Ia menatap Arya, tenang, seolah tak terusik oleh hujaman kata itu. Bahkan ia tersenyum, samar namun menusuk Lalu ia berkata dalam bahasa Belanda,

"Dit is de wil van het universum, Arya... accepteer het, of doe wat je wilt."

(Inilah kehendak semesta, Arya... terimalah, atau lakukan sesukamu)

Mendengar perkataan Raka yang santai namun menohok, ruang itu seketika bergemuruh. Beberapa pemuda tertawa setengah tak percaya, beberapa lagi saling pandang dengan ekspresi bingung bercampur panas.

"Panas ini suasananya," gumam salah satu dari mereka, mencoba meredakan ketegangan, tapi malah memancing gelombang reaksi baru.

Arya tak ikut tertawa. Ia menatap Raka lekat-lekat, matanya menyala penuh kebencian yang selama ini disimpannya rapat. Di dalam kepalanya hanya ada satu pertanyaan: apa yang sebenarnya dilihat Larasati dari laki-laki berkulit pucat itu? Seorang priyayi yang datang entah dari mana, dengan pakaian bergaya asing, dan senyum tipis yang selalu tampak meremehkan.

Tanpa peringatan, Arya melangkah maju. Satu pukulan telak mendarat di perut Raka. Suara benturan itu nyaring dalam hening yang tiba-tiba. Raka sedikit tersungkur, satu tangannya terangkat menahan perih di perut, tapi wajahnya tetap tenang. Ia menegakkan tubuh pelan, tanpa amarah, tanpa niat membalas. Hanya sebuah senyum muncul di sudut bibirnya—senyum tipis yang membuat darah Arya semakin mendidih.

"Arya!!" bentak Larasati, suaranya tajam, penuh amarah dan luka yang tercabik.

Arya menoleh ke arah Larasati, tatapannya menusuk.

"Lihat itu, Larasati. Pria pilihanmu," katanya sinis. "Tak lebih dari priyayi manja yang berpakaian seperti penjajah."

Tanpa menunggu jawaban, Arya memutar tubuh dan melangkah keluar dari rumah itu, meninggalkan ketegangan yang menggantung di udara dan tatapan-tatapan yang tak tahu harus membela siapa.

Larasati menunduk sejenak, napasnya tertahan di antara amarah dan iba yang belum sempat ia simpulkan dalam kata. Lalu perlahan, ia memalingkan wajah pada Raka.

“Maaf,” ucapnya pelan. Hanya satu kata, tapi sarat makna.

Raka mengangkat bahu ringan. Sorot matanya tidak menyiratkan dendam, hanya pemahaman. Dengan logat Belanda yang lembut namun penuh sikap, ia menjawab,

“Ik red me wel. Laras”

Larasati tersenyum kecil—seolah frasa asing itu justru terdengar paling akrab di antara semua kebisingan emosi tadi. Dari sudut ruangan, seorang perempuan melangkah mendekat. Teman lama Larasati, yang sejak tadi memilih diam. Pandangannya teguh, suaranya tenang, namun tegas—sebuah campuran antara kekhawatiran dan keberanian.

“Jaga dia,” katanya. “Larasati tak punya siapa-siapa. Dan pria tampan... seringkali tak tahu caranya menetap. Jadi, tolong. Jangan buat dia menyesal.”

Raka menatap balik, tak menghindar, lalu tersenyum—bukan senyum menggoda, bukan pula penuh ejekan. Lebih seperti seseorang yang tahu pasti apa yang sedang ia jaga.

“Aku tahu artinya menjaga.” Tak ada janji panjang, hanya keyakinan yang melayang tipis dalam intonasinya. Larasati mengangguk pada temannya, lalu mengambil tas kecil dari sandaran kursi dekat pintu. Dengan gerakan ringan namun mantap, ia kembali menggamit lengan Raka.

“Ayo, katanya Tuan Muda ini ingin ditemani belanja, bukan?” Kalimat itu meluncur seperti angin yang menepis sisa panas ruangan. Dan sebelum siapa pun sempat melontarkan komentar sarkastik, mereka sudah melangkah keluar—meninggalkan aroma kopi, udara tebal yang belum reda, dan beberapa hati yang, tanpa suara, masih diam-diam membara.

---

Butik kecil bergaya kolonial di sudut kota itu tampak hangat diterpa cahaya matahari pagi. Di balik kaca jendelanya yang besar, tampak rak-rak kayu berisi setelan pria berpotongan rapi, didominasi warna-warna lembut dan netral. Beberapa manekin berdiri tegak dengan dasi kupu dan sepatu kulit mengilap, menampilkan selera fesyen yang halus dan terjaga.

Seorang pelayan wanita menyambut dengan sopan, “Selamat pagi, Tuan dan Nona Muda. Ada yang bisa kami bantu?”

Raka hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Larasati yang menggamit lengannya mengangguk sopan pula, matanya berkeliling menikmati interior butik yang tampak lebih seperti ruang tamu bangsawan daripada toko biasa.

Mereka bergerak menyusuri lorong-lorong sempit antara gantungan pakaian. Raka tak tampak canggung sedikit pun. Ia menarik satu setelan berwarna gading lembut, memeriksanya sejenak lalu menyodorkannya ke Larasati.

Kemeja, celana panjang berpotongan tegas, dan blazer yang rapi. Bahkan untuk pakaian santai, Raka tetap memilih gaya yang seolah menyatu dengan napasnya sendiri.

Larasati menatap pilihan Raka lalu tersenyum menggoda.

“Mungkin gayamu ini yang membuat mereka berpikir kau priyayi manja,” ujarnya sambil menahan tawa.

Raka hanya menoleh dan tersenyum tenang—jawaban tanpa kata yang justru semakin mempertegas wibawanya. Ia melangkah masuk ke ruang ganti tanpa berkata apa-apa.

Beberapa menit kemudian, ia keluar mengenakan setelan barunya. Larasati mengangguk puas, lalu mendekat untuk membetulkan sedikit lipatan pada kerah bajunya. Saat itu juga, tanpa diduga, Raka menariknya ke dalam pelukan.

Gerakan itu lembut, tidak tergesa.

“Terima kasih, Laras,” bisiknya dekat di telinga Larasati. “Terima kasih sudah hadir lagi dalam hidupku.”

Larasati terpaku sejenak. Lalu perlahan, ia memejamkan mata dan membiarkan pelukan itu membungkus keheningan mereka.

Yang tidak mereka sadari, dari seberang jalan, tepat di luar butik, sepasang mata memperhatikan mereka lekat-lekat. Arya berdiri di balik tiang bangunan tua, cukup jauh dari jendela etalase, namun cukup dekat untuk melihat siluet dua sosok di dalam.

Raka berdiri tenang, mencoba beberapa setelan yang dipilih Larasati, dan setiap kali Larasati tertawa atau membetulkan letak dasi pria itu, dada Arya semakin terasa sempit.

Siapa sebenarnya pria itu? Yang memanggil Larasati dengan nama depan seakrab itu, yang membuat perempuan itu tersenyum lembut—senyum yang dulu hanya milik Arya.

Ada panas yang tidak ia pahami di dadanya. Bukan hanya karena cemburu, tapi karena perasaan kalah yang mengendap perlahan. Sosok Raka terlalu anggun, terlalu rapi, terlalu... berbeda. Dan Arya tahu, Larasati selalu tertarik pada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Arya mengepalkan tangan, lalu mundur perlahan, menyelinap kembali ke antara keramaian. Belum waktunya ia muncul. Tapi waktunya akan datang. Ia hanya perlu tahu lebih banyak, tentang Raka.

 

---

Setelah mereka meninggalkan butik, Raka dan Larasati melangkah menuju mobil yang sudah menunggu di luar. Di dalam mobil, suasana terasa santai, dengan suara mesin yang berdengung pelan dan angin sepoi-sepoi yang mengalir melalui jendela yang sedikit terbuka. Larasati tersenyum, merasa lebih ringan setelah melewati ketegangan yang ada.

Perjalanan menuju pantai Ancol terasa singkat, Raka duduk dengan tenang di sebelahnya, sesekali melemparkan pandangan pada Larasati. Tak ada kata-kata yang perlu diucapkan, karena seolah keduanya sudah bisa saling mengerti.

Begitu mereka tiba, pemandangan laut yang luas langsung menyapa. Ombak yang perlahan menghempas pasir, udara laut yang segar, dan langit yang tampak luas menghadap horizon. Suasana yang tenang memberikan kedamaian yang terasa begitu langka bagi Raka, yang baru saja mendapatkan kebebasannya.

“Begitu indah,” bisik Larasati, matanya tertuju pada laut yang tenang. "Pernahkah kau ke sini sebelumnya, Raka?"

Raka hanya tersenyum, pandangannya tetap pada laut yang tenang. Suaranya rendah, seiring dengan hembusan angin laut yang lembut.

“Tidak, Laras,” ujarnya pelan, setiap kata terasa membawa makna yang dalam.

Larasati menatapnya sejenak, hening. Tak perlu lagi kata-kata. Momen itu sudah cukup untuk mengerti—bahwa kebebasan Raka datang dengan sebuah harga. Mereka duduk bersama, saling berpegangan tangan, menikmati matahari yang perlahan-lahan tenggelam ke dalam horizon, menciptakan warna-warna lembut yang menenangkan hati.

Keheningan mereka berbicara lebih banyak dari kata-kata. Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan, hanya ada kedamaian yang mengalir, mengisi ruang di antara mereka. Seolah, segala sesuatu yang belum terungkap pun menemukan tempatnya di dalam momen itu.

Raka mengalihkan pembicaraan dengan lembut, tak ingin Larasati terperangkap dalam kenangan yang mengurasnya. Ia mengajak Larasati duduk di tepi pantai, pasir halus menyentuh kaki mereka. Ombak yang pecah di bibir pantai memberikan irama yang menenangkan. Mereka duduk berdampingan, menikmati keheningan, di bawah langit senja yang perlahan mengubah warna menjadi oranye keemasan.

Tangan mereka saling menggenggam, seolah dunia di luar sana tak lagi ada.

“Kalau aku boleh tahu,” Raka mulai dengan suara rendah, namun belum sempat melanjutkan, Larasati lebih dulu menyela dengan pertanyaan yang penuh beban.

“Kenapa orangtuaku meninggal, kan?” suara Larasati lirih, hampir seperti angin yang berbisik.

Raka menatapnya dalam diam, kenangan tentang masa lalu yang tak mudah dilupakan kembali menghantui. “Ayahku... seorang pejuang kemerdekaan. Seorang pemerhati sejarah yang sangat aku hormati. Suatu hari, ia keluar rumah dan tak pernah kembali.”

Larasati menundukkan kepala, menahan kesedihan yang hampir tak tertahankan. Ia merasakan beratnya kehilangan yang masih membekas. Ia menghela napas sebelum melanjutkan.

“Tahun berapa itu, Laras?” tanya Raka, suaranya dipenuhi kerisauan, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang.

“1938,” jawab Larasati, dengan suara yang nyaris tak terdengar. “Itulah tahun yang mengubah hidupku. Ayah pergi begitu saja, tanpa penjelasan.”

Raka terdiam, tubuhnya seakan membeku. Tahun itu adalah tahun yang sangat penting dalam kehidupannya—tahun yang terkait dengan salah satu pembunuhan yang sangat dia sesali. Pembunuhan seorang aktivis, seorang pemerhati sejarah yang juga mencari sebuah pusaka yang sangat berharga.

“Kalau ibumu?” tanya Raka lagi, hatinya semakin berat mendengar cerita Larasati. Namun ia tetap mencoba untuk menjaga ketenangannya.

“Ibuku pergi jauh sebelum ayahku meninggal. Mungkin ketika aku berusia 17 tahun,” jawab Larasati pelan, seperti mengurai tiap serpihan kenangan yang begitu dalam. “Kehilangan mereka adalah luka yang tak pernah bisa aku sembuhkan.”

Raka memandang Larasati, hatinya dipenuhi rasa empati yang mendalam. Air mata perlahan menetes dari mata Larasati, menuruni pipinya yang lembut. Melihat itu, Raka tak bisa menahan diri. Dengan lembut, ia menarik Larasati dalam pelukannya. Ia menyentuh wajahnya, menghapus air mata yang jatuh, seolah ingin meredakan segala rasa sakit yang tak terucapkan.

"Laras..." ucap Raka pelan, suaranya sarat dengan perasaan. Ia memandangnya dengan penuh kasih, mencoba memberikan ketenangan. Perlahan, ia mengecup bibir Larasati, sambil dengan hati-hati menutup matanya dengan satu tangannya. Ia ingin melindunginya dari segala rasa sakit yang masih menggelora dalam diri mereka.

Tangan lainnya bergerak cepat, menyentuh tanah di dekat mereka. Raka menekan telapak tangannya ke permukaan tanah yang lembut, dan dalam sekejap, sebuah kekuatan dalam dirinya mengalir. Ia memukul tanah dengan kekuatan yang terarah, sebuah energi yang murni dan terfokus.

Seketika, dari bawah telapak tangan Raka, muncul cahaya ungu muda yang memancar dengan lembut namun kuat. Cahaya itu menyatu dengan tanah, membentuk lapisan pelindung yang melengkung di sekitar mereka. Tameng itu bukan hanya sekadar pelindung fisik, tetapi juga pelindung dari segala energi yang bisa mengancam kedamaian mereka.

Pelindung itu membentang dengan sempurna, hampir tak terlihat oleh mata manusia biasa, namun cukup kuat untuk melindungi mereka dari apapun yang mengancam. Menerobos udara, menepis energi yang berusaha mendekat, seolah membentuk batas tak kasatmata antara mereka dan dunia luar.

Lihat selengkapnya