KALA LESA

iza arsalan
Chapter #10

BAB 9 SAMSARA

BAB 9

SAMSARA

Di pelipir waktu yang retak, cinta menjelma kabut dan menari di antara patah bintang;

ia membelah malam dengan tangannya yang tak terlihat, menenun kesetiaan di atas arus sungai kematian.

Dari rahim dunia yang pecah, ia lahir berulang — tanpa wajah, tanpa nama —

hanya gema samar di balik kelopak kehidupan, berlari dalam lingkar takdir yang menolak ujung,

sementara maut mencium dahinya lagi dan lagi, menjadikannya bunga abadi

yang tumbuh di padang tandus di mana matahari tak pernah pulang.

Di altar Saṃsāra, cinta membakar dirinya dalam nyala yang tak pernah berakhir;

ia adalah burung api yang terjatuh ke bumi dan bangkit dari debu kematian,

mengulangi janji yang tak pernah selesai di bibir dunia.

Di setiap kelahiran, ia lupa asalnya; di setiap kematian, ia mengingat bayangannya,

hingga semesta pun letih menghitung berapa kali jiwa itu kembali,

menggendong rindunya yang lahir tanpa tubuh, berakar di tanah yang tak mengenal musim.

Malam itu, udara terasa mencekam, seakan dunia menahan napasnya. Larasati tertidur dalam pelukan Raka, tubuhnya terbungkus kehangatan yang menghadirkan ketenangan. Di antara detak jam yang teratur, mereka terbaring dalam keheningan yang memeluk mereka, namun entah mengapa, ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan, sebuah ketegangan yang mengambang di udara.

Di balik tidur Larasati yang tampak damai, gelap yang lebih besar menanti. Mimpi buruk yang tak terlihat datang menyelinap, membawa Larasati ke dalam dunia lain, jauh dari pelukan Raka, menuju kegelapan yang mencekam.

Mimpi itu datang tanpa peringatan, menyelimuti Larasati dalam bayangan gelap yang begitu nyata. Tubuhnya terasa berat, seperti ada beban yang mengikatnya ke lantai marmer yang dingin, merembeskan darah yang perlahan membasahi permukaan keras itu. Setiap tarikan napasnya terasa semakin sulit, seakan ada tangan tak terlihat yang mengekangnya. Waktu berjalan lambat, penuh kekosongan yang menyesakkan.

Tiba-tiba, langkah kaki berat terdengar, menggema di antara keheningan yang menjerat. Larasati menoleh, matanya yang penuh ketakutan menatap sosok yang perlahan muncul dari dalam bayangan. Sosok itu adalah seseorang yang sangat ia kenal—mata yang ia kenali dengan jelas. Namun bukan mata penuh kasih seperti dalam ingatannya, melainkan mata yang membeku, dipenuhi kebencian dan keputusasaan. Mata itu menatapnya dengan penuh tekad, seolah-olah telah lama menentukan nasibnya.

Sosok itu berdiri di depan tubuhnya yang tergeletak, tangan terangkat, menggenggam senjata yang berkilau dingin. Larasati berusaha untuk bergerak, namun tubuhnya terbelenggu, tak mampu menghindar. Jiwanya berteriak, namun hanya keheningan yang menyelimuti. Senjata itu datang, menyilaukan mata dalam sekejap, dan Larasati merasa dunia menghitam, tenggelam dalam kegelapan yang abadi.

Larasati terbangun dengan napas terengah, tubuhnya gemetar seakan masih merasakan beban dari mimpi yang menakutkan. Pandangannya kabur sejenak sebelum fokus, dan saat matanya bertemu dengan Raka yang ada di sampingnya, ia merasa seolah seluruh dunia yang gelap itu tiba-tiba menghilang.

Raka langsung memeluknya erat, dengan tatapan cemas yang tak bisa disembunyikan. “Ada apa, Laras?” suara Raka terdengar rendah dan lembut, penuh perhatian, meski Larasati bisa merasakan kekhawatiran yang samar-samar di baliknya.

Larasati terdiam sejenak, napasnya masih terengah-engah, mencoba untuk menenangkan dirinya. Dengan suara pelan, hampir seperti bisikan, ia akhirnya berkata,

"Aku... aku memimpikan kematianku, Raka."

Raka terdiam, matanya menatap Larasati dengan kesunyian yang tiba-tiba meresap. Pola yang sama seperti yang pernah ia lihat pada Citra Rashmi, batinnya berbisik. Sesuatu yang mengerikan, sesuatu yang tak bisa ia abaikan. Rasa takut yang tersembunyi, jauh lebih dalam dari sekadar mimpi buruk.

Tanpa kata, Raka melepaskan genggaman tangannya, berdiri, dan melangkah cepat menuju pintu. Larasati yang masih tertegun hanya bisa memandang, tak mampu berkata-kata, merasakan betapa beratnya apa yang tengah menghantui Raka.

Raka berlari keluar rumah. Di luar, keadaan begitu sunyi, seakan dunia terdiam tanpa pengawasan. Tak ada suara, tak ada gerakan. Semua terasa hampa, seolah malam ini memang berbeda—keheningan yang menekan, membawa sesuatu yang lebih dari sekadar bahaya yang mengancam.

Raka berhenti di depan pintu rumah, tubuhnya kaku, fokus. Dengan tangan yang bergerak lincah, ia mulai menuliskan segel di udara, menggambar simbol-simbol dalam bahasa Sanskerta yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang terhubung dengan dunia gaib. Tangan kanannya menggenggam udara dengan kuat, menciptakan garis-garis halus yang tak terlihat oleh mata biasa.

Setiap garis yang terbentuk memancarkan kekuatan tersembunyi, membentuk lapisan perlindungan yang tidak bisa dilihat, namun dapat dirasakan oleh mereka yang berusaha mendekat. Larasati berdiri di belakangnya, tak tahu apa yang sedang dikerjakan Raka, namun merasakan sesuatu yang kuat menyelimuti rumah mereka. Sebuah rasa aman yang hadir, meski tanpa kata-kata.

Segel-segel itu mengisi setiap sudut rumah, menutupi celah-celah yang tak terlihat, memberi peringatan bahwa tidak ada yang bisa masuk tanpa izin. Hanya Larasati yang dapat membuka pintu, dan hanya dia yang dapat memutuskan siapa yang boleh melewati batas perlindungan ini. Raka menatap pintu itu sejenak, memastikan segel tersebut terpasang dengan sempurna, dan perlahan ia menghela napas, melepaskan ketegangan yang mencekam di dalam dirinya.

Raka menghentakkan kakinya perlahan, dan seketika pelindung tak tampak terpasang di sekitar rumah Larasati, membungkus tempat itu dalam lapisan energi yang kokoh. Seolah dunia di luar tak bisa menjangkau mereka.

"Laras, tetaplah di sini, aku akan menemui seseorang." Suaranya rendah, namun penuh tekad.

Larasati menatapnya dengan cemas, sedikit bingung dengan keputusan Raka. "Malam ini, Raka?" tanyanya, menahan gelisah di dalam dadanya.

Raka menatapnya sejenak, seolah ingin mengatakan lebih, namun memilih untuk menahan kata-kata. "Akan kuceritakan nanti. Jangan membuka pintu ini untuk siapapun." Dengan itu, ia berbalik, melangkah cepat menuju pintu dan melesat pergi, meninggalkan Larasati di dalam rumah yang kini terpelihara oleh segel yang kuat.

Larasati berdiri di tempatnya, merasakan ketegangan yang masih membungkus udara malam. Dengan perlahan, ia menatap pintu yang tertutup rapat, hatinya bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.

---

Ketukan pelan terdengar di pintu. Larasati, yang sedari tadi gelisah, menoleh cepat. Hatinya dipenuhi ragu, namun ketukan itu kembali terdengar — lebih lemah, nyaris memohon. Dengan langkah gugup, ia mendekat.

Saat daun pintu terbuka, di ambang berdiri Arya — tubuhnya penuh luka, napasnya berat dan terputus-putus.

Tanpa berpikir panjang, Larasati menarik pintu lebih lebar.

Di saat yang sama, tanpa suara, pelindung gaib yang membungkus rumah itu runtuh perlahan, seolah tak pernah ada.

Angin malam menyelinap masuk, membawa hawa dingin yang aneh dan menggigit.

Namun Larasati tak bergeming, hanya terpaku menatap Arya, sepenuhnya buta akan perubahan yang baru saja terjadi

Arya tersenyum tipis, sinis. Rencananya berjalan sempurna. Ia melangkah masuk, membiarkan hawa asing yang dibawanya perlahan memenuhi ruangan. Larasati masih berdiri terpaku, matanya mencari jawaban di wajah Arya — tak sadar bahwa saat itu juga, sesuatu yang jauh lebih gelap telah menembus batas perlindungan rumahnya.

---

Raka tiba di kediaman Dhamasena dengan langkah cepat, dadanya dipenuhi harapan yang membara. Begitu pintu dibuka, ia segera menghampiri sang cendekiawan, suaranya bergetar menahan ketegangan.

"Dhamasena... tolong aku," pintanya, nyaris putus asa.

Dhamasena menatapnya dengan tajam, membaca kecemasan yang membayangi sorot mata itu. Tanpa banyak bicara, ia mengangguk, menyetujui permintaan tersebut.

Namun sebelum keduanya sempat bergerak, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Tiba-tiba, dada Raka terasa mencengkeras sakit — seolah ada bilah tak kasatmata yang menembus dan mengoyak tubuhnya dari dalam. Ia jatuh berlutut di hadapan Dhamasena, wajahnya menegang menahan rasa sakit luar biasa. Napasnya tersengal-sengal, darah perlahan merembes dari sudut bibirnya.

"Ada... yang menembus pelindung..." desis Raka lemah, suaranya terputus-putus. Dhamasena segera membungkuk, matanya membelalak waspada.

"Maharaja..." panggilnya cemas, sembari menyentuh pundak Raka dengan hati-hati. "Siapa yang mampu menembus pelindung itu?" Ia sadar sepenuhnya — ini bukan serangan biasa.

Tanpa sepatah kata pun, Raka bangkit dengan cepat, tubuhnya masih terasa lemah.

Dhamasena hanya bisa menyaksikan, tak mampu berbuat banyak.

Raka tak menunggu penjelasan lebih lanjut. Langkahnya begitu cepat, hampir seolah-olah angin itu sendiri. Dalam sekejap, ia menghilang, meninggalkan Dhamasena yang hanya bisa berdiri terdiam, merasakan ketegangan yang semakin mengalir di udara.

Dhamasena tahu, Raka memiliki tujuan yang jauh lebih besar dari sekadar kata-kata. Sesuatu yang lebih gelap dan lebih berbahaya sedang menunggunya. Kini, Raka hanya mengandalkan insting dan kekuatannya untuk menghadapi ancaman yang semakin mendekat.

---

Raka tiba di kediaman Sang Hyang Mada dengan nafas terengah-engah, ketegangan di dadanya membuatnya hampir tak bisa berpikir jernih. Begitu sampai, matanya langsung tertuju pada Larasati yang terbaring di ruang utama, tubuhnya lemah dan tak bergerak, sorot matanya yang kosong menatap langit-langit, seolah tak ada lagi harapan yang tersisa.

Hatinya tercabik melihat kondisi Larasati. Dalam sekejap, semua emosinya meledak. Tanpa bisa menahan lagi, ia berlari mendekati Larasati, dan begitu dekat, ia mengeluarkan teriakan amarah yang mengguncang seluruh kediaman.

"MADAAAAAA!" teriaknya dengan penuh kemarahan dan keputusasaan. Suara itu menggema keras, mengguncang lantai dan tembok sekitarnya. Seolah-olah lantai di bawah kakinya retak, memecah keheningan yang sudah terlalu lama mengekang. Gelombang suara itu menyebar begitu kuat, seakan-akan seluruh ruang tempatnya berdiri bergetar, merespon kemarahannya yang membakar.

Lantai bergemuruh, seakan tak mampu menahan kekuatan yang dilepaskan. Dinding-dinding di sekelilingnya bergetar, dan suara itu menggema, berbalik melawan dirinya seolah mencoba menanggapi setiap rasa sakit yang dia alami. Namun meskipun kekuatan itu meresap ke seluruh ruangan, Raka tahu—pertarungan besar menunggunya di sini, dan Sang Hyang Mada tak akan tinggal diam.

Raka melihat Larasati yang terbaring, matanya kosong, seakan kesadarannya telah direnggut dari tubuhnya. Dunia seolah runtuh di depan mata Raka, membakar jiwanya dengan amarah yang tak terkendali. Ia tahu, bukan hanya tubuh Larasati yang terperangkap, tetapi juga jiwanya — terkunci dalam cengkeraman kekuatan yang jauh lebih gelap daripada yang pernah ia duga.

Dari balik kegelapan, Raksa muncul, tubuhnya diliputi aura mematikan, hendak menyerang dengan keganasan yang bisa meremukkan siapa pun. Namun, sebelum Raksa sempat mendekat, Raka menoleh. Tatapannya menyalak, penuh amarah dan kuasa yang tak terbendung. Tanah bergetar di bawah kakinya, udara mendadak memberat, seolah semesta pun merasakan dentuman kekuatan yang bangkit dalam dirinya.

Dengan suara yang bergema menembus batas dimensi, Raka mengucapkan satu kata penuh perintah:

"NAMAH!!" (Tunduk!)

Suara itu bukan sekadar gema; itu adalah titah kuno, bahasa para leluhur  yang memuat hukum tak terbantahkan. Dalam sekejap, dunia merespons. Dinding-dinding ruangan bergetar, membelokkan bentuknya, menciptakan pilar-pilar batu yang menjulang dan melengkung seperti tangan raksasa. Pilar-pilar itu melesat, membelit tubuh Raksa dengan kekuatan yang mustahil ditolak.

Raksa, makhluk yang dikenal tak terkalahkan, kini terjerembab di bawah kuasa Raka. Tubuhnya terjerat ketat, setiap ototnya memberontak namun sia-sia. Pilar-pilar itu tidak hanya membelenggu raganya, tapi juga menekan kekuatan batinnya, mengurung aliran energi dalam dirinya. Seakan-akan alam semesta sendiri bersekutu untuk menahan Raksa atas nama Raka.

Wajah Raksa berubah — dari amarah, menjadi keterkejutan, lalu keputusasaan. Nafasnya memburu, matanya melotot, namun ia tak bisa bergerak barang sedikit pun. Seakan ia telah diadili oleh kekuatan yang lebih tua dari waktu itu sendiri.

Raka menatap Larasati yang terbaring, jiwanya berkobar dalam amarah yang membara. Namun, di tengah kekalutan itu, serangan kilat datang dari samping — Arya, bagai bayangan yang meledak dari kegelapan, meluncur dengan belati pendek di tangannya, mengincar Raka tanpa ragu.

Namun Raka, yang sudah dikuasai oleh kemarahan, hanya menoleh sedikit. Dalam sekejap, tangannya mencengkeram leher Arya dengan kekuatan luar biasa, menghentikan laju pria itu seperti menahan seekor binatang buas di tengah terjangan.

Mata Raka memancarkan kemarahan membara, menggetarkan udara di sekelilingnya.

"KEFANAAN SEPERTIMU BERANI MENENTANGKU!!" raungnya, suaranya menggelegar seperti petir yang membelah langit.

Dengan satu gerakan kejam, Raka melemparkan Arya ke dinding. Tubuh Arya menghantam batu keras dengan suara gedebuk yang memekakkan, meninggalkan retakan besar di permukaan. Darah mengalir dari bibir Arya, tapi semangat dalam matanya tidak padam.

Lihat selengkapnya