KALA LESA

iza arsalan
Chapter #11

BAB 10 MILYADER MISTERIUS

BAB 10

MILYADER MISTERIUS

 

Dalam keheningan yang mewah, waktu terasa melambat. Segala sesuatu di ruangan itu berbicara dalam bahasa bisu: kekuasaan, ketenangan, dan jarak yang tak terjangkau.

Bayangan samar wajah Bhatara terpantul di kaca jendela di belakangnya—garis wajahnya tajam, nyaris patung, kulitnya pucat terang, dingin seperti porselen dalam cahaya malam. Tak ada gurat usia, hanya ketenangan yang menusuk dan mata yang memancarkan jarak berabad-abad, menyimpan ribuan rahasia yang tak lagi ingin diungkapkan.

Bhatara melangkah masuk ke ruang kerjanya yang megah, langkahnya tenang namun penuh kuasa. Ruangan itu dipenuhi dengan barang-barang langka dan artefak antik yang hanya bisa dimiliki oleh seseorang dengan kekayaan luar biasa. Dindingnya dipenuhi dengan kliping-kliping koran yang telah disusun dengan rapi, memuat artikel-artikel tentang pembunuhan berantai yang mengguncang dunia.

Dengan ekspresi yang penuh kepuasan, Bhatara mengenakan jubah tidur elegan yang tampaknya dibuat khusus untuk gaya dan kenyamanannya. Matanya yang tajam, dibalik kacamata tipis, melirik kliping-kliping koran yang tersusun di dinding. Di sana, berita tentang pembunuhan berantai yang dilakukan oleh individu-individu yang dikenal dengan nama “Arya” sejak 1980 hingga 2005 kembali muncul, dengan pola yang sama: setiap pembunuh tersebut mati dengan cara yang misterius, meninggalkan rajah berdarah di tangan mereka.

1980: Arya Satya

Pembunuhan pertama dimulai pada tahun 1980, ketika Arya Satya, seorang pria muda yang tampaknya tidak terhubung dengan dunia kriminal, melakukan serangkaian pembunuhan brutal di daerah perkotaan besar. Setiap korban dibunuh dengan cara yang sangat terorganisir—mereka ditembak dengan presisi tinggi, namun bukan itu yang membuat kasus ini mencengangkan. Setelah kematian Arya Satya ditemukan, polisi dikejutkan dengan penemuan rajah berdarah yang terlukis di telapak tangan kanannya. Simbol itu tidak bisa dihapus, bahkan dengan bahan kimia atau air, seakan menjadi bagian dari tubuhnya. Tubuhnya ditemukan terkubur di lokasi yang sangat terpencil, dengan jejak darah di sekitar tempat itu. Pola ini membuat pihak berwajib bingung—meskipun dia adalah pembunuh, dia tidak meninggalkan jejak atau petunjuk, selain rajah tersebut.

1995: Arya Dharmadi

Lima belas tahun kemudian, pada tahun 1995, Arya Dharmadi muncul sebagai pembunuh berantai yang lebih brutal. Kali ini, pembunuhan dilakukan dengan cara yang sangat sadis—korban disiksa terlebih dahulu, lalu dibunuh dengan senjata tajam. Setiap jenazah ditemukan dengan rajah yang lebih rumit dan mengerikan, menggambar simbol tak dikenal di tubuh mereka. Setelah pembunuhan yang brutal ini, Arya Dharmadi juga ditemukan tewas di tempat yang sangat aneh—tubuhnya ditemukan dalam keadaan terkubur di dalam ruang bawah tanah yang terkunci rapat, dengan rajah berdarah di tangannya. Laporan medis tidak mampu menjelaskan penyebab kematiannya—dia ditemukan begitu lemah, seolah-olah telah kehilangan seluruh energi hidupnya sebelum mati.

2005: Arya Kresna

Pada tahun 2005, Arya Kresna muncul sebagai sosok yang penuh perhitungan. Pembunuhannya sangat sulit dilacak—dia selalu berhasil menghindari deteksi. Namun, setelah serangkaian pembunuhan yang sangat cerdas, Arya Kresna akhirnya ditemukan tewas di sebuah lokasi terpencil, tanpa ada saksi mata. Tubuhnya ditemukan terbaring lemah di sebuah ruangan yang terkunci rapat, dengan tangan kanannya tergores oleh rajah berdarah yang semakin rumit. Banyak yang percaya bahwa rajah ini bukan sekadar gambar, melainkan sebuah kutukan yang berhubungan dengan kehidupan mereka yang penuh kekerasan dan kebrutalan. Polanya semakin sulit ditelusuri, namun simbol itu selalu muncul pada tubuh mereka yang mati, seperti jejak yang tak bisa dihapuskan.

2015: Arya Wijaya

Pada tahun 2015, Arya Wijaya muncul di dunia kejahatan dengan melibatkan diri dalam pembunuhan terhadap beberapa tokoh politik penting. Pembunuhan kali ini meninggalkan jejak yang sangat jelas—korban ditemukan dengan rajah berdarah yang dilukis dengan sempurna di tubuh mereka. Namun, ketika polisi akhirnya berhasil melacak Arya Wijaya, dia ditemukan mati dalam kondisi yang lebih mengerikan daripada sebelumnya. Tubuhnya ditemukan di dalam sebuah ruangan yang terkunci rapat, dengan tanda rajah di tangan kanannya—tanda yang semakin rumit dan penuh makna tak terungkap. Keberadaan simbol ini membuat banyak orang bertanya-tanya: apakah ini sebuah kutukan, ataukah ada sesuatu yang jauh lebih gelap yang menghubungkan mereka semua?

Dengan senyum tipis yang muncul di bibirnya, Bhatara membaca artikel-artikel tersebut dengan penuh perhatian, seakan-akan dia adalah bagian dari teka-teki ini. "Rajah berdarah, masih menjadi topik," gumamnya pelan, memikirkan bagaimana setiap kematian ini membentuk cerita yang lebih besar, dan bagaimana rahasia ini masih menunggu untuk diungkapkan.

Di ruangan megah yang penuh dengan kesan misterius itu, Bhatara merasa seakan dirinya menjadi bagian dari dunia yang gelap dan penuh konspirasi ini. Setiap artikel, setiap kliping, adalah bukti bahwa semua ini lebih dari sekadar kebetulan—ada sesuatu yang lebih dalam, yang hanya dia yang bisa mengerti, dan yang membuatnya merasa semakin dekat dengan sebuah kebenaran yang sangat gelap.

Bhatara duduk santai di sofa besar yang terletak di ruang utama Wiwaltikta Palace, rumah pribadinya yang menggabungkan kemewahan dengan kesederhanaan. Tangannya menggenggam cangkir kopi tubruk yang masih mengepul, aroma pahitnya menguar memenuhi ruang yang tenang, hampir sepi. Layar televisi besar di depannya menyala, menampilkan wajah serius dan profesional dari seorang penyiar berita.

Pemberitaan bergulir tanpa henti:

“Kekayaan R. Bhatara kini diperkirakan setara dengan orang terkaya nomor satu di Indonesia. Dengan proyeksi kekayaan yang terus menanjak, angka 200 miliar USD bukan lagi mimpi.”

 

“R. Bhatara kembali memenangkan lelang artefak langka di Eropa, menambah koleksi salah satu museum terbesarnya di Bali, Nyala Institute, yang kini menjadi pusat budaya dunia.”

 

“Seorang filantropis eksentrik yang tiada tanding, Bhatara juga menambah dana untuk beasiswa dan penelitian arkeologi, memberikan peluang bagi generasi baru peneliti.”

 

“Namun, seperti biasa, ia menolak wawancara Forbes untuk tahun ketiga berturut-turut. Dalam pernyataannya, R. Bhatara tetap memilih untuk menghindari sorotan media, menegaskan bahwa dirinya lebih memilih untuk tetap di balik layar.”

Bhatara menatap layar tanpa ekspresi, jari-jarinya yang kuat sesekali menekan bibir cangkir, seakan mencari arti dalam tegukan pahit itu. Berita tentang dirinya tidak lagi mengejutkan, tak memberi kesan. Kekuasaannya semakin besar, jaringannya semakin luas, dan orang-orang yang ingin mendekatinya kian banyak. Pejabat-pejabat tinggi negeri ini hampir berbaris untuk menjalin hubungan dengannya, berharap bisa menyentuh dunia yang ia kuasai, meski mereka hanya bisa melihatnya dari luar. Semua itu hanyalah permainan yang bisa ia kendalikan.

Ketika layar televisi melanjutkan pemberitaan, sebuah tablet yang terletak di meja dekat sofa bergetar, mengalihkan perhatian Bhatara. Dengan santai, ia menyentuh layar dan membuka aplikasi pesan terenkripsi yang sudah diprogram khusus untuknya. Sejenak, pesan-pesan dari tokoh penting mulai muncul satu per satu.

Pesan dari Menteri Kebudayaan:

“R. Bhatara, saya ingin bertemu untuk membahas kemungkinan dukungan dalam proyek pelestarian situs kerajaan Jawa Tengah yang baru ditemukan. Kami memerlukan izin Anda untuk mendalami lebih jauh.”

Pesan dari Gubernur Bali:

“Selamat malam, R. Bhatara. Kami ingin meminta bantuan Anda untuk mendanai restorasi candi-candi kuno di kawasan Ubud. Proyek ini sangat penting bagi kebudayaan Bali.”

Pesan dari Direktur Louvre:

“Kami ingin memajukan koleksi bersama Anda di Paris. Ada beberapa karya yang ingin kami jual melalui lelang internasional, dan kami ingin Anda mempertimbangkan untuk membeli kembali beberapa di antaranya.”

Bhatara tersenyum tipis, namun senyum itu lebih kepada dirinya sendiri. Ekspresi datarnya tak berubah. Ia membuka satu per satu pesan itu, membacanya dengan penuh ketenangan, menimbang maksud dari setiap permintaan yang datang. Tanpa ragu, ia mengetuk tombol untuk membalas.

Balasannya ringkas, namun tajam, seolah menegaskan posisinya:

“Terima kasih atas perhatian Anda. Namun, saya tidak tertarik untuk terlibat dalam proyek ini pada saat ini. Teruskan pekerjaan Anda tanpa bantuan saya. Waktu saya terlalu berharga.”

Ia mengirimkan pesan itu tanpa penundaan, seakan tak peduli dengan konsekuensinya. Beberapa detik kemudian, pesan lainnya masuk—seorang pejabat tinggi yang berusaha meyakinkannya untuk bergabung dalam proyek besar yang sedang disiapkan oleh negara.

Lihat selengkapnya