KALA LESA

iza arsalan
Chapter #12

BAB 11 GADIS ITU.....

 

BAB 11

GADIS ITU…..

Usia 20 tahun adalah usia di mana gejolak muda bergelora. Mimpi-mimpi disusun rapi di depan kening, bukan untuk dipamerkan atau dibicarakan. Bukan sekadar pajangan hati. Mimpi itu ada di sana, di depan mata, agar mudah digapai, agar tak terlupakan. Jantung berdegup kencang, menyambut impian yang telah menunggu sejak lama. Tidak ada yang bisa menghentikan langkahnya sekarang.

Asha Kirana memandang dunia dengan penuh optimisme. Pakaian yang telah disiapkan rapi dalam koper, hari ini adalah hari yang sangat dinantikannya. Kemarin, momen wisuda hanya dihadiri teman-teman dan sahabat terdekat—sederhana, namun penuh makna.

Pagi ini, senyum cerianya menghias bibirnya. Sneakers putih dan kemeja jeans yang casual, Asha siap melangkah menuju mimpinya. Koper peninggalan ayahnya menggantung di tangannya, sebuah simbol perjalanan yang tak hanya fisik, tetapi juga batin. Menjadi seorang arkeolog dan peneliti di salah satu museum terbesar di Asia Tenggara—Aksarajiva. Sebuah langkah pertama menuju dunia yang selama ini ia impikan.

“Yess, pulang ke kampung halaman!” Asha bergumam dengan semangat yang tak tertahankan.

“Tapi nanti kesepian lagi sendiri di rumah…” tambahnya, sedikit ragu, tetapi tetap dengan ceria yang tak bisa dipadamkan. “Tapi kan pulaaaaang!!”

Asha tertawa sendiri, teman-temannya yang sering melihat kebiasaannya itu hanya bisa tersenyum dan ikut tertawa. Momen kebersamaan seperti ini selalu menjadi bagian yang tak terlupakan dalam perjalanan hidupnya.

"Kalau sampai Jakarta, langsung telepon aku ya, Beibz," kata Nina, sahabatnya sejak semester pertama.

Asha memeluk sahabatnya erat. Mereka telah melalui banyak hal bersama—berjuang bersama, menangis bersama, mengemis tanda tangan pembimbing skripsi bersama. Dan akhirnya, perjuangan itu terbayar. Asha berhasil menyelesaikan semuanya dengan gigih, keluar dari universitas ternama di Yogyakarta dengan nilai cumlaude.

Semua ini karena Asha mencintai sejarah, mencintai segala kisah yang tersembunyi di balik artefak kuno. Sejak kecil, Asha selalu merasa ada sesuatu yang menarik dalam setiap lembaran sejarah. Ada satu manuskrip yang selalu dibawanya ke mana-mana. Sebuah salinan foto kopi, yang sudah mulai sedikit pudar. Tentang sebuah kisah cinta dari zaman kolonial—kisah yang tak pernah bisa ia lupakan. Kisah Tuan Muda yang penuh derita dan pelayannya, sebuah kisah yang menggugah hati, seperti kisah Romeo dan Juliet, namun dengan latar Indonesia di masa lalu. Kisah itu seolah hidup di antara setiap kata yang tertulis.

“Na, kalau nanti aku ketemu Tuan Muda Raka beneran gimana?” Asha terkekeh, melamun, membayangkan seolah-olah Tuan Muda itu masih hidup.

Asha tertawa lepas, meskipun ada sesuatu yang tersembunyi di matanya. Sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan atau khayalan. Ada rindu yang tak bisa ia ungkapkan. Rindu yang membelitnya setiap kali ia membaca kisah cinta abadi itu—kisah yang entah mengapa, seakan menghubungkannya dengan sesuatu yang jauh lebih dalam.

“Apa jangan-jangan… aku reinkarnasi Citra Rashmini nih!” Asha berteriak histeris, tiba-tiba saja terlintas di benaknya.

Nina menatap Asha dengan tatapan bingung sebelum tertawa terbahak-bahak. “SHA, sadar yuuuk, kita ke psikiater, deh,” kata Nina, mengamit tangan Asha dengan kekehan.

“Aaaa, kamu nggak asik diajak halu gini!” jawab Asha, seolah tak peduli dengan kekhawatiran temannya.

Asha mengecup pipi Nina dan berkata dengan penuh semangat, "Bye bye, Ninaaa, kutunggu di Jakarta!"

Tiba-tiba, notifikasi dari email masuk di layar iPhone-nya—ponsel yang sudah menemaninya selama tiga tahun, dibeli dari honor menulis artikel sejarah di jurnal budaya lokal.

"Tunggu bentar, Nina," kata Asha, meraih iPhone-nya dan membuka pesan baru yang langsung membuat matanya membelalak girang.

Subjek: Jadwal Interview User – Museum Aksarajiva

Waktu: Senin, pukul 11.00 WIB

Lokasi: Kompleks Muda Aksarajiva, Jalan Larasati No. 12, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

Museum Aksarajiva. Interview. Besok. Kata-kata itu menari-nari dalam kepalanya, membuat jantungnya berdebar seperti genderang perang.

"NINAAAAAA!! AKU INTERVIEW BESOK!!"

Nina yang berdiri di depan gerbang kos langsung menjerit balik. “SELAMAT SAYANG!!” teriaknya sambil berlari dan memeluk Asha. Mereka melompat-lompat seperti anak kecil yang menang undian es krim seumur hidup, tertawa dan saling mengguncang bahu satu sama lain.

Sementara itu, sopir travel yang sudah parkir di pinggir jalan sejak beberapa menit lalu, mulai melirik jam tangannya dengan gelisah. Koper Asha sudah di bagasi, tapi penumpangnya belum juga naik.

“Hari gini masih drama pelukan-pelukan. Haduh,” gumam si sopir, meskipun dalam hatinya ikut senyum melihat semangat gadis muda itu.

Asha akhirnya menarik napas panjan, mengecup pipi Nina satu kali lagi, lalu melambaikan tangan dengan gaya khasnya yang penuh gaya. Dunia menantinya—dan ia siap menyambutnya.

---

Setelah menempuh perjalanan panjang dari Yogyakarta ke Jakarta, mobil travel akhirnya berhenti di depan sebuah rumah kecil di kawasan Komplek Brawidarma, Jakarta Selatan. Sebuah lingkungan yang tenang—bukan kawasan elite, tapi juga bukan daerah yang terabaikan. Rumah-rumah tua bergaya kolonial berdiri lenggang, dikelilingi pepohonan rindang yang sudah lama berakar di sana. Terasa sepi, tapi bukan sunyi yang mencekam—lebih seperti sepi yang bersahabat, sepi yang memahami.

Asha membuka pintu pagar besi yang berderit pelan, lalu memasukkan kunci ke lubang pintu kayu rumahnya. Daun pintu terbuka dengan suara khas, membawa serta hawa rumah yang sedikit lembab tapi familiar. Ia menarik napas panjang. Aroma kenangan menyeruak bersamaan dengan semilir angin sore yang menyelusup masuk.

Langkahnya ringan namun sarat makna saat ia masuk ke ruang tamu mungil itu. Dindingnya masih dipenuhi bingkai foto sederhana yang tak pernah ia copot, meski rumah ini sudah lama kosong sejak ia meninggalkan Jakarta untuk kuliah di Yogyakarta.

Matanya menyapu satu per satu potret masa lalunya.

Foto dirinya di usia enam tahun, tersenyum lebar di antara ayah dan ibunya—keluarga kecil yang lengkap.

Lalu foto saat ia berusia sembilan tahun, hanya bersama sang ayah. Ibunya telah pergi setahun sebelumnya—pergi terlalu cepat, meninggalkan lubang sunyi di hati yang belum tertambal hingga kini.

Lalu ada foto dirinya saat duduk di bangku SMP, mengenakan seragam putih biru, berdiri bersama ayahnya di depan reruntuhan candi kuno di lereng pegunungan. Foto itu tampak buram, namun kenangan di baliknya begitu terang di ingatannya—saat ia pertama kali merasa jatuh cinta pada sejarah.

Lihat selengkapnya