Tepat di lantai lima, pintu lift terbuka. Arman keluar dan berjalan gontai menuju kamarnya. Sampai di dalam kamar, dia melemparkan jasnya. Satu-persatu dia melepas dan melempar kaus kaki serta sepatu yang tadi dikenakan. Lalu dia melemparkan diri di atas tempat tidur, mencoba memejamkan mata dan beristirahat. Kepalanya terasa berputar-putar. Pusing. Aku butuh obat sakit kepala, batinnya. Namun dia merasa bahwa tubuhnya benar-benar kelelahan dan tak mampu bangkit lagi untuk mencari obat. Dalam kondisi setengah sadar, sayup-sayup dia mendengar suara ketukan pintu. Dia pikir itu halusinasinya saja. Tapi ketukan itu tak kunjung berhenti ataupun menghilang. Arman pun membuka mata dan memastikan dari mana suara itu berasal. Ada seseorang yang mengetuk pintu kamarnya. Dia baru saja ingat bahwa dia lupa menggantungkan tanda untuk jangan mengganggu di pegangan pintu. Dengan berat, dia pun bangkit dengan tenaga yang tersisa. Seketika pandangannya serasa berputar saat berdiri. Begitu pandangannya stabil, dia lalu berjalan mendekati pintu, membuka dan menemukan Sandra berdiri di depannya.
“Ponsel Chef tertinggal,” kata Sandra seraya mengulurkan ponsel Arman. Dia masih bisa melihat ekspresi kelelahan di wajah chef muda itu. “Chef baik-baik saja? Wajah Chef pucat,” tambah Sandra, menunjukkan rasa simpati.
“O ya? Sepertinya aku terlalu capek. Kepalaku pusing.”
“Chef perlu obat.”
“Aku pikir juga begitu. Aku akan telepon room service untuk carikan obat sakit kepala?” kata Arman.
“Hmmm.. kalau bukan obat kimia, apakah Chef mau?”
“Maksudnya?”
Sandra menunjukkan tangannya.
“Sedikit relaksasi mungkin bisa membantu Chef beristirahat. Lebih aman ketimbang obat-obatan kimia.”
“Yakin bisa sembuh?”