Arman mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jas. Lima panggilan tak terjawab dari orang yang sama. Agak malas mengangkatnya namun dia sadar untuk tidak boleh mengabaikannya. Dari daftar panggilan, dia pun menghubungi balik nomor yang meneleponnya. Nada panggil kedua, lalu suara seorang perempuan menyahut.
“Halo?” sapa Arman.
“Kamu ke mana saja sih, Sayang? Aku telepon tidak diangkat!” kekesalan dari suara itu muncul dan membuat Arman jadi bertambah malas untuk melanjutkan pembicaraan.
“Maaf. Aku tadi tidur. Tidak tahu kalau kamu telepon,” jawabnya, bohong.
“Apa kamu tidak dengar suara dering panggilannya?”
“Aku modus diam, jadi mana ada suara. Aku tidak ingin diganggu.”
Nada suara Arman mulai naik dan emosinya hampir meluap. Sadar dengan nada yang tidak mengenakkan, suara perempuan itu pun berubah lebut.
“Maaf kalau aku mengganggu. Aku hanya khawatir saja sama kamu. Tapi kamu tidak apa-apa, kan?”
“I’m okay. Jangan khawatir.”
“Oiya, Sayang. Kamu sudah bertemu Jendra?”
“Ya. Aku sudah bertemu dengannya.”
“Lalu bagaimana? Apa dia mau pindah dari Ibis?”
“Dia bilang butuh waktu. Tidak bisa langsung sekarang keluar begitu saja.”
“Buat apa sih dia kerja di situ? Kamu sudah bujuk dia?”
“Irene, Jendra itu tidak bisa dipaksa. Membujuk dia juga tidak bisa membuat dia langsung mau memenuhi permintaan kita. Ini bukan masalah uang. Ini menyangkut masalah pribadi dia.”
Keduanya terdiam. Irene di seberang sudah harap-harap cemas dengan hasil yang didapat Arman. Rencana yang sudah dia susun sedemikian rupa tidak boleh gagal. Usaha yang dia lakukan selama ini tidak boleh sia-sia, hanya karena satu orang saja.
“Kita belum bisa menemukan seseorang yang memiliki bakat seperti dia. Banyak pelanggan yang mulai mengeluh dengan menu dan masakan kita. Mereka bilang rasanya berbeda. Chef Adam tidak memiliki kemampuan seperti kalian. Kalau seperti ini terus, bisa-bisa restoran kita tutup. Apalagi kritikus-kritikus itu mulai menyinggung masalah dapur kita.”
“Kamu jangan pesimis begitu. Aku akan segera pulang dan menangani masalah-masalah ini. Ini event terakhir yang aku handle dan akan fokus dengan restoran kita. Jendra hanya perlu dibujuk pelan-pelan. Makanya kamu juga coba bujuk dia.”
Suara desahan terdengar dari lawan bicara Arman.
“Kamu kan tahu aku agak kurang cocok dengan dia.”
“Baiklah.” Arman menyadari hal itu. “Sayang, maaf. Sepertinya aku butuh istirahat lagi. Besok kita ngobrol lagi, ya?”
“Oke. Take care! Love you!”
“Love you too!”
Sambungan terputus. Arman lalu berbaring di atas ranjang, menatap lekat langit-langit kamar. Dia belum bersiap untuk tidur karena pikiranya saat ini beralih ke Jendra. Restoran yang dia rintis bersama Jendra terancam tutup karena kehilangan pelanggan dan isu tentang dapurnya. Chef terbaiknya pun tidak bisa menyamai kemampuan Jendra, meskipun sudah bertahun-tahun mendampinginya di dapur. Bukan salahnya kalau Jendra pergi dan memutuskan untuk meniti karir dan berusaha merintis usahanya sendiri. Jendra ingin pergi dari bayang-bayang Arman dan keluarganya. Niatnya merintis usaha bersama Arman adalah untuk bisa hidup mandiri tanpa ada kuasa Ayah Arman lagi. Sebuah restoran sudah disiapkan oleh ayahnya. Tapi dia tidak ingin usaha yang dia miliki sebagai usaha warisan. Dia ingin mendirikan restorannya sendiri tanpa campur tangan orang tuanya. Karena itu dia meminta bantuan Jendra.