Jam enam pagi. Alarm ponsel berbunyi nyaring menyambut hari. Arman bangun dengan badan bugar dan matanya terbuka lebar. Rasa kantuk tak lagi membayangi dan dia pun siap untuk mandi setelah sedikit peregangan.
Cuaca pagi ini masih diselimuti awan mendung yang tipis. Semoga saja tidak hujan lagi. Untuk kali ini saja. Arman membatin dalam hati. Lalu, dia pun masuk ke kamar mandi dan segera bersiap.
Memang langit masih diselimuti awan abu-abu tipis. Cuaca terasa lebih dingin setelah kemarin diguyur hujan lebat. Tak butuh waktu lama, Arman selesai mandi dan berpakaian. Jam tangan di meja yang bersanding dengan parfum tak sengaja dia jatuhkan saat diambil. Di samping tempat tidur, sebuah buku catatan tergeletak di dekat tempat jatuhnya jam. Arman meyakini itu bukan miliknya. Penasaran dengan isi yang tertulis di dalamnya, Arman memungut dan membuka halaman pertama. Sebuah foto makanan tertempel di halaman awal. Poenja Sandra. Tulisan itu berada jelas di bagian bawah tengah, lalu di bawahnya terpampang sebuah huruf J yang ditulis secara artistik. Di pojok kanan bawah terdapat sebuah simbol. Arman mengamati simbol itu dengan seksama, berpikir sekiranya dia bisa mengenalinya. Belum berhasil dengan usahanya, dia putuskan untuk menyerah.
Dia lalu membuka halaman berikutnya. Satu halaman penuh berisi daftar nama makanan yang disusun rapi serta dihiasi sketsa gambar-gambar makanan dan bahan rempah. Halaman-halaman berikutnya memasang foto makanan seukuran 2R. Sebelah kanan atas halaman tertulis tanggal 20 Januari 2013. Di bawah foto tertulis nama makanan lalu diikuti daftar bahan, lengkap dengan takarannya. Halaman berikutnya tertulis instruksi cara memasak. Lalu di bawah instruksi itu tertulis catatan yang menjelaskan tentang proses dan hasil dari pembuatan makanan tersebut serta review dan komentar tentang hasil yang didapat. Arman membaca komentar dan saran yang ada. Sepertinya bukan orang biasa yang memberikan komentar dan saran itu. Seseorang yang ahli pasti membantunya belajar memasak.
Eksperimen bagus, kata Arman dalam hati. Di halaman berikutnya masih dengan pembahasan yang sama, namun menampilkan foto hasil masakan yang berbeda. Sama seperti sebelumnya, komentar dan saran itu sepertinya datang dari seseorang yang sudah profesional dalam dunia memasak. Dan hal serupa juga dia temukan di halaman-halaman selanjutnya. Arman melihat foto-foto tanpa membaca dengan seksama isi tulisannya. Di akhir halaman, ada sebuah puisi bertema masakan. Arman pun membacanya.
Kau seperti bawang merah
Yang memberikan rasa dan warna
Namun aku harus menangis dulu untuk memperolehnya
Kadang kau juga seperti bawang putih
Semua membutuhkanmu
Begitu juga aku
Lalu aku harus menunggu dalam antrian
Dan bertanya: kapan kau datang?
Dia lalu tersenyum. Buku itu sangat menarik perhatiannya. Dan hal yang paling menarik perhatiannya adalah sebuah simbol yang tampak sangat familiar dalam ingatannya. Dia penasaran dengan simbol itu. Sempat ada keinginan untuk mengembalikan dan mencaritahu, namun kemudian dia urungkan. Dia masukkan buku itu ke dalam tasnya. Menyimpannya dengan seksama dan meyakinkan bahwa buku itu akan aman di sana. Arman kemudian mengambil dompet serta ponsel, lalu keluar dari kamar.
Senyum cerah pagi tampak menghisai meskipun langit masih meratap akan tangis yang baru saja terhenti. Seorang housekeeping berpapasan dengan Arman dan menyapa menyuarakan keselamatan pagi ini. Balasan pun terlontar darinya, sambil menyembulkan sebuah senyuman sebelum memasuki lift. Arman menekan tombol G. Pintu lift pun tertutup dan mengantarkan dia tepat ke lobi hotel. Di luar terlihat sebuah taksi sudah menunggu. Arman lalu masuk ke dalam taksi dan sopir segera melajukan kendaraannya.
Kompleks perumahan itu tak begitu ramai. Rumah-rumah nampak sepi di pagi hari. Seseorang kemudian muncul dari rumah yang ditinggali Sandra. Pria itu menaiki motor Yamaha Vixion putih dan berpapasan dengan Arman di ujung jalan, saat taksi berbelok ke kanan.
Arman sudah sampai. Seorang perempuan mengeluarkan mobil dari garasi rumah yang terletak di depan tempat tinggal Sandra. Taksi yang ditumpangi Arman pergi, hampir bersamaan dengan mobil yang dikendarai perempuan tadi. Saat menengok ke rumah itu lagi, pintu gerbangnya sudah tertutup kembali. Suasana berubah menjadi sepi. Arman mengamati sekitarnya, lalu mengecek pintu gerbang rumah Sandra. Tidak dikunci, batinnya. Pelan dia membuka pintu gerbang.
“Permisi!” sahutnya. Dia menutup kembali gerbang di belakangnya dan mendekat ke pintu masuk. “Permisi!” lagi, dia menyahut dan menanti balasan.
Rumah itu sangat sepi. Arman mengetuk pintu dan menunggu. Masih tak ada jawaban. Sekali lagi. Menunggu. Dan tetap tak ada jawaban.
Sementara itu, Sandra baru bangun dari tidurnya, lalu menggeliat dan menguap. Rasa kantuk masih menggelayuti dan membuatnya malas untuk bangkit dari tempat tidur. Samar dari kamarnya terdengar suara panggilan. Siapa, ya? tanyanya dalam hati.
Sandra turun dari tempat tidur dan melihat ke depan. Dia mengintip dari balik tirai jendela. Arman?! Kaget bukan kepalang, Sandra dengan segera mencoba menenangkan diri. Dia kembali masuk ke dalam dan mengecek seluruh isi rumah, memastikan keadaan.
“Sandra!” Arman mulai tidak sabar. Dia pun memanggil Sandra.
Tangannya kemudian memegang pegangan pintu, hendak membukanya. Namun tiba-tiba pintu terbuka. Arman kaget, lalu melihat Sandra sudah berdiri di ambang pintu.
“Chef!” ucap Sandra. Terlihat kekikukan pada ekspresi wajahnya. “Pagi-pagi sudah di sini.”
Wajah Arman masih tercengang. Mata Sandra melirik ke sisi kiri Arman, melihat carport yang kosong, lalu kembali pada orang yang ada di hadapannya.
“Oh.. ehh.. Ya. Aku mau ajak kamu sarapan. Kamu belum sarapan, kan?” tanya Arman. Dia merasa suasana menjadi kaku. Terasa aneh baginya.
”Well. Belum. Biasanya aku masak sendiri,” jawab Sandra. “O ya, silahkan masuk, Chef. Maaf agak berantakan. Aku belum sempat bersih-bersih.”
“Ya, aku tahu. Kamu baru bangun, kan?” kata Arman, sambil mengikuti langkah Sandra.
Sandra jadi malu karena Arman mengetahui bahwa ia baru saja bangun.
“Tiap hari kamu masak sendiri?” Sandra mengangguk. “Kenapa tidak beli? Atau sarapan di luar.”
“I prefer cooking my food. Healthier. Kita tidak tahu apa yang mereka masukan ke dalam masakan mereka.”
“Ya, benar. So, pagi ini kamu juga mau masak?”