“Bagaimana?” tanya Irene pada seseorang melalui telepon.
Irene tersenyum kecut. Dalam hati dia sedang memendam perasaan cemburu yang luar biasa. Mungkin saja rasa itu telah membakarnya sedemikian rupa. Memang tidak baik mencurigai pasangan sendiri. Tapi dia benar-benar mengkhawatirkan hubungannya.
“Baiklah. Kapan kamu balik ke Jakarta?”
Tuuuutttt..
Sambungan terputus. Irene jadi kesal sendiri. Dia tidak menyukai orang yang baru saja diajak bicara. Tingkah laku dan sikapnya sungguh tidak bisa ditoleransi. Arogan! Sering kali Irene berpikir, Kenapa ada orang seperti dia. Sayangnya, dia membutuhkan bantuan orang itu.
“Ada apa sayang?” suara seorang wanita muncul cari belakang Irene.
“Tidak apa-apa, Ma,” jawabnya. “Ma, aku berangkat kerja dulu, ya?” katanya kemudian, lalu mengambil tas yang tadi dia letakkan di atas meja ruang tamu.
“Bukankah ini masih terlalu pagi?”
“Ada banyak hal yang harus Irene urus, Ma.”
“Tentang persiapan pertunanganmu? Atau tentang pernikahan?” Wajah mamanya menggoda, mengembangkan senyuman yang mengharapkan suatu berita bahagia.
Langkah Irene terhenti. Dia lalu berbalik menatap mamanya. Irene berjalan mendekat lalu memeluknya.
“I wish, Mama. Tapi belum untuk saat ini. Irene harus mengurus resto dulu.”
“Arman terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Katakan padanya, Mama tidak ingin anak Mama ditelantarkan. Kalian juga harus memikirkan masa depan.”