Jam delapan malam di padepokan Lemah Putih. Semuanya berkumpul, duduk melingkar di tengah-tengah pendopo. Seorang pria berambut putih panjang berdiri di dekat tiang kayu, di bawah temaramnya lampu. Dia berdiri dan mengawasi setiap orang yang sedang duduk sila bermeditasi. Suara jangkrik mengerik menemani malam yang makin larut. Samar-samar suara hujan pun terdengar ketika turun dari langit. Lambat laun mulai menjadi deras, seperti kawanan prajurit yang datang menyerbu. Dan serbuan itu pun menyerang para pasukan jangkrik, memaksa mereka menghentikan suaranya dan mencari tempat sembunyi yang aman dari air hujan. Di sisi lain, suara kodok datang menyerang, melawan suara sang hujan. Terdengar sahutan antara kodok dan hujan. Suara-suara alam ini, yang menenangkan hati, memandu mereka ke kedalaman jiwa menemukan sejatinya hidup. Tak sekedar apa-apa yang mampu diraba, namun sesuatu yang mampu dirasa.
Sandra melangkahkan kaki menuju teras rumah di samping pendopo. Kedatangannya tepat disambut hujan. Basah, meskipun tak kuyup. Dia pun mengeringkan diri dengan sapu tangan yang dia bawa. Matanya sempat terpaku sejenak pada sapu tangan itu. Ingatannya kembali pada memorinya. Tersadar, dia pun cepat-cepat mengibaskan memori itu, membiarkannya berlalu dan menguap bersama panas tubuhnya.
Pria berambut putih dan panjang itu menyadari kedatangan seorang tamu, membiarkannya sibuk dengan dirinya sendiri yang kebasahan. Dia kembali mengamati dan mengawasi orang-orang yang ada di hadapannya. Sesaat kemudian, dia menginstruksikan orang-orang itu untuk mengakhiri meditasi mereka. Perlahan, satu-persatu mereka membuka mata, merilekskan diri, lalu duduk meluruskan kaki. Dia kemudian memanggil Sandra untuk bergabung.
Seorang perempuan paruh baya terlihat membawa satu nampan gelas berisi teh panas. Dengan kerepotan dia membawa melewati kanopi penghubung rumah utama dengan pendopo. Sandra lalu bangkit dan menghampiri perempuan itu, hendak menolong. Namun dia menolak dan menyuruh Sandra mengambil gorengan yang ada di dapur. Sandra pun berangkat ke dapur mengambil gorengan dan kembali ke pendopo membawa satu nampan berisi tiga piring pisang goreng yang baru diangkat dari penggorengannya. Teh dan pisang goreng panas menemani sarasehan malam di tengah hujan.
Hujan nampaknya tak kunjung berhenti. Terlihat ketika malam semakin larut dan saat sarasehan rampung, hujan masih saja turun. Beberapa nekat untuk pulang dengan memakai jas hujan, dan sisanya memilih tuntuk menginap. Banyak kamar yang tersedia, yang memang disediakan bagi tamu yang datang berkunjung. Sering kali adalah teman dari tempat yang jauh, yang membutuhkan tempat menginap ketika mereka sedang ada acara di Solo. Kebanyakan memang teman-teman sesama seniman. Atau terkadang sanak keluarga yang datang berlibur.
“Kenapa datang terlambat?” tanya pria berambut putih itu, yang diketahui sebagai Ki Sukirto, seniman kawakan yang sangat disegani di antara para seniman nasional dan bahkan internasional. Namanya sudah sangat dikenal di dunia seni khususnya tari sebagai salah satu empu tari. Selain menjadi dosen pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta, dia juga merupakan penari profesional yang sudah melanglang buana memperkenalkan budaya tari Indonesia. Dia juga dikenal sebagai pemilik Padepokan Lemah Putih. Di padepokan itu dia mengajarkan murid-muridnya tari yang mengutamakan wirasa dalam setiap gerakannya. Meditasi menjadi kunci utama dalam olah rasa yang dia ajarkan. Keseimbangan antara hati dan pikiran membuahkan gerak yang tak hanya dilakukan oleh fisik, namun juga diikuti oleh rasa yang muncul dari dalam jiwa penarinya.
“Ada tamu, Ki. Maaf, saya tidak ikut latihan tadi,” jelas Sandra.