Hidangan sudah tersaji di meja makan sementara si empunya rumah duduk santai di ruang keluarga. Ketika jam besar di rumah Irene berdentang, jarumnya menunjukkan pukul delapan malam. Delapan kali dentangan meyakinkan waktu yang ditunjukkannya. Irene duduk di teras rumah sambil memegang ponselnya. Dia tidak memperhatikan saat ibunya datang menghampiri.
“Dia masih belum datang?” tanya ibunya.
“Belum, Ma. Mungkin sebentar lagi.”
Jam tujuh, Arman berjanji akan datang ke rumah Irene untuk makan malam bersama keluarganya. Tapi kini jam sudah menunjukkan jam delapan malam, dan dia masih belum terlihat batang hidungnya. Udara di luar berhembus dan membuat Irene yang hanya memakai gaun tanpa lengan jadi merinding kedinginan.
“Ayo masuk saja. Di sini dingin,” ajak Ibunya.
“Tidak apa-apa, Ma. Irene tunggu di sini saja.”
Irene merasa bersalah pada orangtuanya karena menunggu sedemikian lama. Dia merasa kecewa dengan Arman karena kejadian malam ini. Tak seberapa lama kemudian, terdengar suara klakson dari luar gerbang. Penjaga yang bertugas di rumah Irene pun membukakan pintu gerbang. Dia sudah hafal dengan siapa tamu yang datang. Arman, calon menantu majikannya.
Arman memarkirkan mobilnya tepat di depan Irene dan ibunya. Raut wajah bersalah ditunjukkan saat dia menghampiri kedua perempuan itu.
“Maaf, Tante. Saya datang telat,” ucapnya, lalu menjabat tangan dan mencium pipi Ibu Irene.
“Kamu kemana saja? Kami sudah menunggu,” tanya perempuan paruh baya itu.
“Maaf sekali lagi, Tante. Ada pekerjaan yang harus saya selesaikan malam ini juga. Maaf sudah membuat Om dan Tante menunggu.”
“Kamu terlalu sibuk, Arman. Kapan kamu ada waktu untuk anak saya?” semburat kekhawatiran muncul di wajah Ibu Irene.
Timbul perasaan tidak enak di hati Arman yang tak mampu disembunyikan ole ekspresi wajahnya. Ya, aku memang sangat sibuk, Tante, batin Arman.
“Ma, tidak perlu seperti itu,” sergah Irene. Dia tidak suka dengan sikap ibunya yang demikian. “Ayo kita masuk!” ajaknya kemudian.
Mereka masuk ke ruang tamu. Di seberang ruangan, Ayah Irene beranjak dari sofa, seakan hendak menyambut Arman.
“Aku sudah lapar,” katanya. “Kita langsung makan saja. Ma, apa makanannya sudah dihangatkan lagi?”
“Sudah.”