Pagi hari, Sandra terbangun oleh suara kicau burung yang bersahut-sahutan di dekat jendela kamarnya. Tempat ini tak begitu jauh dari pusat kota. Tak lebih dari setengah jam, bisa segera dicapai dengan menaiki motor atau mobil. Agak sulit dicapai oleh kendaraan umum, kecuali taksi. Namun dari itu semua, keasrian tempat ini sangat menenangkan. Tempat yang sering kali dicari untuk melepaskan diri dari penatnya suasana kota.
Padepokan ini dibangun di atas tanah seluas satu hektar. Untuk bangunannya sendiri menempati seperlima bagian dari luas tanah. Sisanya digunakan untuk menanam berbagai macam tanaman pangan, buah-buahan, tanaman herbal dan juga bunga-bungaan. Istri Ki Sukirto memang seseorang yang sangat menyukai kegiatan berkebun. Sekitar padepokan terlihat seperti perkebunan dengan berbagai tanaman yang tumbuh subur dan terawat dengan sangat baik. Tak hanya bermanfaat bagi penanamnya, pohon-pohon yang rindang menjadi habitat baru burung-burung liar, bahkan tupai pun ikut mendiami pepohonan itu.
Tanah luas nan asri pun mendukung untuk menjadi lokasi lari pagi. Sandra berganti pakaian, memakai celana panjang hitam yang biasanya dia pakai untuk latihan silat dan kaos lengan pendek. Satu gelas air putih sudah dia habiskan sebelum melakukan pemanasan dan lari pagi. Ponselnya dia rekatkan di lengan kiri, lalu dia pun mulai lari menjauhi padepokan. Aplikasi penghitung detak jantung dan jarak pun mulai bekerja.
Sebuah jalur sengaja dibangun untuk mereka yang ingin menikmati suasana asri, entah hanya sekedar jalan-jalan atau lari. Sandra melewati jalur itu, menembus pepohonan di kanan-kirinya. Kembali suara burung-burung bekicauan dan hembusan angin pagi yang segar menerpa tubuh Sandra. Sungai kecil buatan mengalir tak jauh dari jalur yang dilalui Sandra. Tiba-tiba seekor tupai melompat tepat di hadapan Sandra. Dia pun terhenti karena kaget. Nafasnya terengah-engah. Sesaat Sandra menarik nafas dalam, dan menghembuskannya perlahan. Mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdetak kencang. Rasa haus terasa, namun sayang tak ada air yang bisa diminum segera. Sandra melirik ke arah jam tangan sport miliknya. Masih cukup pagi. Setelah mengamati sekelilingnya, Sandra mulai berlari lagi. Kini kembali ke padepokan.
Di kejauhan, terlihat Ratih sedang mengeluarkan sepeda dari garasi. Saat hampir mencapai pendopo, suara panggilan menyahut dari ponsel Sandra. Segera dia raih ponselnya. Matanya meyakinkan diri tentang siapa yang sedang meneleponnya.
“Halo?” sapa Sandra.
“Hai!” balas orang di seberang. Suara seorang pria. “Sudah bangun?” tambahnya.
“Ya,” jawab Sandra. “Maaf aku pergi mendadak.”
“It’s okay. Jam berapa kamu pulang?”
“Jam sepuluh aku berangkat dari sini. Kamu sudah sarapan, J?”