Kepala Arman mulai terasa pusing. Dia duduk di sofa, lalu merebahkan tubuhnya. Sesaat kemudian dia terlelap. Sebuah siluet tubuh wanita yang menari di kala Senja menghampiri mimpinya. Serasa kerinduan menyelimuti hati. Arman lalu terbangun dan tersadar. Rupanya hanya mimpi. Dia merasa perempuan itu adalah Sandra. Namun dia mulai mengingat satu hal tentang siluet itu. Kenangan masa lalunya tentang tarian Senja yang menghantarkan matahari terbenam memenuhi pikirannya. Siluet tubuh itu milik Senja teman kecilnya, dan bukan Sandra yang baru saja dikenalnya.
Satu minggu telah berlalu dan Arman masih bergelut dengan satu kata, yang kini telah berubah menjadi delapan baris kombinasi angka. Usahanya belum selesai. Tekatnya sudah bulat untuk menemukan nomor Sandra. dia lalu menghubungi nomor keempat. Empat kali nada panggil, tak ada yang menjawab. Lalu saat nada panggil kelima, suara seorang pria menyahut. Ah, salah sambung lagi! batinnya.
“Halo? Ini siapa?” tanya pria itu.
“Ehmm,, maaf mungkin saya salah sambung.”
“Anda mencari siapa?”
“Saya mencari teman saya, seorang wanita.”
“Namanya?”
“Sandra.”
“Ohh.. dia masih di atas panggung. Coba telepon lagi sekitar sepuluh menit. Siapa tahu dia sudah selesai.”
“Oo.. oke. Nanti saya hubungi lagi.”
“Maaf ini dengan siapa?”
Arman terdiam. Dia bingung harus mengatakan apa. Tiba-tiba saja grogi.
“Bilang saja dari Chef.”
“Baiklah. Akan saya sampaikan.”
“Terima kasih!”
Arman bersorak girang. Dia langsung meloncat dan tertawa-tawa bahagia. Usaha keempat berhasil dan dia tidak perlu lagi meneruskan sisa daftar selanjutnya. Nomor Sandra sudah ketemu. Dia pergi ke dapur mengambil jus jeruk dari dalam lemari pendingin dan satu buah gelas, lalu membawanya ke ruang keluarga. Ditaruhnya jus jeruk dan gelas itu di atas meja. Dia merasakan lega dan bahagia. Usahanya selama berminggu-minggu ini telah terbayar dan dia menemukan apa yang dia cari. Lalu tanpa disadari, tubuh seorang perempuan dengan latar belakang Sandra mampir di kepalanya.
Tunggu dulu! Kenapa mimpi itu malah muncul kembali? batinnya. Siluet itu milik Senja, bukan Sandra. Sepertinya kepalaku sedang kacau.”
Beberapa kali kenangan tentang Senja muncul dalam ingatannya. Meskipun begitu, Arman terbuai dengan keindahan memori itu. Senja dan Sandra seolah seperti orang yang sama. Mereka menyukai hal yang sama, kata Arman dalam hati. Mereka sama-sama suka menari. Sandra dewasa seorang penari, dan dia juga pernah melihat Sandra kecil menari sebelumnya dengan latar belakang matahari terbenam. Wajar saja keduanya menjadi rancu di dalam pikirannya. Sempat terbersit andai Sandra dewasa ini adalah Senja teman kecilnya. Dia penasaran, akankah dia akan jatuh cinta lagi padanya.
Dia lalu menuangkan jus jeruk ke dalam gelas dan meminumnya. Sepuluh menit telah berlalu sejak dia menelepon nomor Sandra. Dia sudah bersiap untuk menghubunginya lagi. Layar ponsel dalam genggamannya sudah menunjukkan nomor ponsel Sandra dan tinggal menekan tombol panggil.
“Hatciiihh!”
Arman kembali bersin. Dia lalu menghubungi Sandra, berharap bahwa nomor itu benar-benar milik Sandra yang dia temui seminggu yang lalu.
“Halo!” sapa suara seorang wanita. Arman tersenyum lega. Ini benar-benar suara Sandra.
“Halo.. Sandra.”