Mendung menggelantung di langit senja. Arak-arakan mega berjejer berwarna kelabu. Ada yang berwarna abu terang, namun ada juga yang berwarna abu gelap. Kumpulan awan cumulus semakin menghitam. Hawa yang tadinya lembab panas, kini telah berubah menjadi dingin. Angin yang berhembus membawa kelembaban dari langit, lalu turun ke bumi. Tak seberapa lama, kilat-kilat cahaya pun mulai menampakkan wujudnya di antara mega, disusul dengan suara gemuruh laksana langit runtuh.
“Langit akan runtuh!” jerit seorang anak perempuan dari tengah kebun sayur. Neneknya yang sedang memetik sayur memandang cucunya itu dengan senyuman tersungging. “Langit akan runtuh, Nek!” jeritnya lagi sambil berlari ke arah neneknya. Dia kemudian mendarat di pelukan neneknya sambil menangis ketakutan.
“Tidak akan!”
“Itu! Langitnya mau runtuh!”
“Itu cuma awan mendung, nduk, bukannya runtuh.”
“Tapi waktu itu langitnya runtuh. Sama seperti itu.”
Ingatan nenek itu kembali pada peristiwa setahun yang lalu, saat Gunung Kelud mengamuk dan memuntahkan isinya. Bunyi gemuruh yang tak kunjung berhenti dan makin menjadi membuat para penduduk yang tinggal di kaki gunung ketakutan. Statusnya menunjuk pada level Siaga yang membuat sibuk, tak hanya warga sekitar gunung namun juga para petugas penanggulangan bencana. Mereka sudah menghimbau warga untuk segera mengungsi setidaknya dua puluh kilometer dari titik puncak. Biarpun begitu, tak semua warga pergi mengungsi dan meninggalkan rumah mereka. Anak-anak dan para wanita serta orang-orang tua pergi mengamankan diri sambil membawa barang kebutuhan seadanya sementara para suami dan pria bertahan menjaga harta benda. Di saat-saat genting seperti ini tak jarang ada saja maling yang memanfaatkan situasi untuk menjarah rumah yang kosong karena ditinggal mengungsi pemiliknya.
Malam itu seorang pria dengan anak perempuan dan istrinya masih bertahan di rumah kecil mereka. Si nenek sudah selesai mengepak pakaian ganti untuk dibawa mengungsi. Suara gemuruh semakin sering terdengar dan bunyinya kencang. Di tengah hiruk pikuk orang yang panik, terdengar suara ledakan di kejauhan, lalu disusul dengan guncangan di tanah tempat mereka berpijak. Anak-anak mulai menangis dan para wanita menjerit ketakutan. Suara sirine terdengar tak jauh dari rumah si pria itu.
“Bawa Senja sama ibu. Nanti aku menyusul!” kata si pria pada istrinya.
“Mas mau ke mana?” tanya istrinya dengan wajah khawatir bercampur takut.
“Aku mau mengamankan ternak kita dulu, dan juga harta benda kita. Kalau sampai semuanya hilang, kita tidak punya apa-apa lagi.”