Jendra membangunkan Sandra yang berteriak-teriak histeris. Matanya masih terpejam. Sepertinya dia mimpi buruk. Berulang kali mencoba membangunkan Sandra namun dia belum bisa dibangunkan.
“Senja bangun!”
Akhirnya Jendra pun membentak hingga membuat Sandra terbangun dan membuka matanya. Keringat dingin mengucur dari dahi dan pelipis.
“J..” wajah Sandra masih menyiratkan perasaan takut.
Jendra segera memeluk dan berusaha menenangkan Sandra. Dia pun menumpahkan tangisnya sambil memeluk Jendra dengan erat.
“Tenanglah! Aku di sini.”
“J..”
“Tenang! Itu hanya mimpi buruk.”
Jam menunjukkan pukul tiga pagi. Langit masih gelap dengan awan mendung yang menggantung. Suara gemuruhnya terdengar cukup kencang. Menandakan akan segera turun hujan. Semakin sering dan menjadi lebih kencang, membuat apartemen tempat tinggal Jendra dan Sandra bergetar. Kaca-kaca jendela bergetar agak kencang, mengingat letaknya yang berada di lantai sembilan.
“Kamu mau kita keluar, ke depan tivi?”
Meskipun sudah tidak menangis, isak Sandra masih terdengar. Masih dalam pelukan Jendra dan mereka pun berjalan pelan ke luar kamar tidur Sandra. Jendra menuntun Sandra untuk duduk di sofa.
“Aku akan mengambilkan minum untukmu.”
“J..”
“Biasanya kamu bisa mengatasi ini. Ingat?”
Lalu Jendra pergi ke dapur dan mengambilkan air minum untuk Sandra. Jendra menunggui Sandra, mereka duduk berdampingan. Dia kemudian menyalakan televisi sementara Sandra menghabiskan minumannya.
“Maaf,” ucap Sandra, merasa bersalah.
“Untuk apa?”
“Bikin ribut di tengah malam.”
Jendra tersenyum memandang Sandra.
“Tempat ini ada di lantai tujuh. Wajar saja jika getaran-getaran itu sangat terasa. Aku hanya tidak menyangka kalau hal itu bisa masuk ke alam bawah sadarmu dan menciptakan sebuah mimpi buruk. Kamu mimpi tentang bencana itu lagi?”
“Ya. Sangat jelas.”
“Kamu mau tidur lagi atau ingin tetap terjaga?”
Suara gemuruh masih terdengar, dan kemudian hujan pun turun dari langit.
“Mungkin lebih baik aku tidur di sini saja. Aku masih perlu istirahat untuk latihan nanti.”
“Kalau begitu aku akan menemanimu di sini. Tidur saja di pangkuanku.”
Sandra membaringkan tubuhnya di atas sofa dan menidurkan kepalanya di atas pangkuan Jendra. Sandra menggenggam tangan kiri Jendra dengan kedua tangannya dan mencoba kembali lelap dalam tidur.”J,” panggil Sandra.
“Ya?”
“Aku mendengar seseorang memanggilku dengan nama itu.”