Jendra berbaring di atas dipan kayu di belakang restoran saat Arman menghampirinya. Dia memejamkan mata dan mencoba menenangkan diri. Lelah setelah seharian bekerja diobati dengan beristirahat sejenak di atas dipan kayu ini.
Arman sudah mengganti chef jacketnya dengan kemeja serta jas. Setelan kasual yang biasa dia pakai untuk acara yang tidak begitu formal. Dia menghampiri Jendra yang masih asyik menikmati waktu istirahatnya.
“Jendra!” panggil Arman.
“Hmm..” balas Jendra, tanpa sedikitpun bergerak maupun sekedar menoleh pada orang yang memanggilnya.
“Aku off untuk service malam ini,” kata Arman. “Ada sesuatu..”
“Pergilah!” potong Jendra.
“Yakin kamu tidak apa-apa untuk..”
“Pergilah sebelum aku berubah pikiran!” sergahnya.
Arman tidak melanjutkan kata-katanya.
“Aku pergi,” pamitnya kemudian.
Arman pergi meninggalkan tempat itu dan segera bergegas menuju Taman Ismail Marzuki untuk menjemput Sandra. Sekarang jam digital ditangannya menunjukkan pukul 06.00 pm. Sandra mengatakan kalau dia akan selesai latihan sekitar jam tujuh. Namun baru saja dia mengirimkan pesan kalau latihannya sudah selesai. Dia akan pergi untuk belanja sebentar sebelum Arman menjemputnya untuk makan malam. Dia meminta Arman untuk menjemputnya jam tujuh di Taman Ismail Marzuki. Meskipun Sandra sudah menginstruksikan demikian, Arman memiliki pikirannya sendiri. Dia meminta Sandra untuk tidak pergi belanja sendiri dan menunggunya. Dia yang akan mengantar dan menemani. Dan selepas itu, mereka bisa langsung pergi makan malam.
Arman perlu waktu setengah jam untuk sampai di Taman Ismail Marzuki. Jalanan tidak begitu macet. Waktu tempuh seharusnya bisa lebih cepat andai saja tidak ada kecelakaan yang mengganggu lalulintas. Sebuah truk container bertabrakan dengan sebuah mobil pribadi. Kemacetan tak terelakkan. Polisi mengatur lalulintas sedemikian rupa agar perjalanan pengguna jalan tidak terganggu.
Sandra sedang mengobrol dengan seorang teman pria saat Arman sampai di depan Taman Ismail Marzuki . Dia turun dari mobil dan menghampiri Sandra serta temannya itu.
“Hai,” sapaan Arman terdengar kikuk. Pria yang menemani Sandra itu akhirnya mohon diri, meninggalkan mereka berdua. Sandra mengemasi tasnya, bersiap pergi.
“Hai, Chef. Kita berangkat sekarang?” tanya Sandra.
“Ya. Kita belanja dulu?”
“Emm... mungkin lebih baik kita belanja dulu. Aku kehabisan bahan makanan. Aku dengar ada supermarket di dekat sini. Jadi aku pikir untuk pergi dulu saja sebentar sebelum supermarket itu tutup.”
“Ya. Aku baru saja melewatinya. So, ayo kita pergi!” ajak Arman.
Arman membukakan pintu untuk Sandra. Bagi Sandra, rasanya tidak biasa dengan perlakuan yang seperti itu. Dia bertanya dalam hati, apakah semua pria kota seperti Arman? Dia bukan tipe perempuan yang suka dengan perlakuan romantis. Hal yang demikian malah membuatnya jadi tidak simpati. Pernah beberapa pria mendekati dan menunjukkan hal-hal romantis. Bukannya membuat dia jadi suka, tapi malah membuatnya jadi muak. Gombalan orang yang sedang jatuh cinta terkadang berlebihan. Perlakuannya juga demikian. Ibarat orang yang memancing ikan, keasyikannya hanya ada pada proses untuk mendapatkannya. Saat ikan itu tertangkap, seolah hanya sampai di situ saja pencapaiannya. Mereka lupa mencari cara untuk mempertahankannya. Seperti tahi ayam, hangat pada saat baru dikeluarkan. Sejauh ini, Sandra tak banyak menaruh minat pada pria yang berusaha mendekatinya. Namun dari semua pria itu, hanya satu pria yang berhasil membuka hatinya lagi.
“Sudah sampai!” kata Arman, yang menyadarkan Sandra dari lamunannya. Tempatnya memang sangat dekat, tak lebih dari lima menit mereka sudah sampai.
Sandra segera keluar sebelum Arman membukakan pintu untuknya. Mereka masuk ke dalam gedung, mengambil troli dan masuk ke dalam area supermarket.
“Mau belanja apa?” tanya Arman.
Sandra lalu mengambil daftar belanjaan yang sudah disiapkan. Mereka berjalan menyusuri lorong yang menyediakan berbagai macam minuman, mulai dari soda hingga jus buah dalam kotak. Sandra berdiri di depan rak jus. Arman membantunya memilih dan mereka melanjutkan belanja setelah selesai dengan minuman.
Malam ini, mereka menjadi lebih akrab dari sebelumnya. Kedekatan mereka sangat terlihat dalam candaan saat memilih barang. Sebagai seorang chef pro, Arman memberikan saran dan pertimbangan tentang bahan-bahan makanan yang hendak dibeli Sandra.
“Ahh! Seafood!” sahut Sandra, girang saat melihat berbagai macam produk laut yang segar berjajar rapi di stan makanan laut. Dia juga mencantumkan seafood dalam daftarnya.
“Kamu tinggal dimana?” tanya Arman tiba-tiba.
“Di Frazer Residence Menteng,“ jawab Sandra dengan tenang.
Arman tampak agak kaget. Dia tidak menyangka kalau Sandra tinggal di sana.
“Ada seorang temanku yang juga tinggal di sana. Siapa nama teman kamu?”
“Jenifer!”
“Jenifer?” Arman mengucapkan ulang nama itu dengan nada bertanya pada dirinya sendiri.