Arman datang membawa satu buket bunga krisan putih. Dia duduk di barisan kursi penonton VIP dan menikmati pertunjukkan Sandra. Acara yang diselenggarakan oleh Komunitas Seni 86 rupanya menarik banyak penonton. Mereka memenuhi setiap kursi di Gedung Taman Ismail Marzuki. Suasana sangat tenang, tidak ada sedikitpun suara berisik dari penonton yang menyaksikan pertunjukan di itu. Arman datang terlambat. Dia melewatkan bagian awal yang dimulai sepuluh menit yang lalu.
Penampilan yang menakjubkan, batin Arman. Rupanya dia melewatkan beberapa waktu dalam hidup untuk menikmati pertunjukkan semacam ini. Mata dan pikirannya terpukau pada sosok seorang wanita yang saat ini sedang menari di atas panggung. Dia mengenali Sandra, meski wajahnya terlihat agak berbeda dengan riasan dalam pertunjukkan ini. Cantik, katanya dalam hati.
Dering suara ponsel menyala, memecahkan keheningan di dalam gedung. Arman buru-buru mematikannya. Dia lupa kalau di pintu masuk tadi sudah diperingatkan untuk mematikan ponsel atau mengubahnya dalam modus diam. Jika dia ingin memotret, dia tidak boleh menyalakan blitz kamera. Panitia juga memperingatkannya untuk tidak makan dan berisik di dalam gedung.
Orang di samping Arman, meski dalam cahaya yang sangat terbatas mengingat lampu utama yang dimatikan, memandang kesal pada Arman.
“Maaf!” ucapnya, lalu dia mematikan ponselnya. Tak sekaliapun dia melihat siapa yang menelepon dan membuatnya cukup panik.
Arman kembali menikmati pertunjukkan. Sandra masih menampilkan tarian dengan gerakan pelan yang dinamis. Dia kemudian menyenandungkan sebuah tembang Jawa sambil tetap menari. Dalam balutan kemben[1] dan senandung yang terdengar menyayat hati, suasana mistis muncul dari diri Sandra dan terasa memenuhi seisi gedung. Adegan berikutnya menyajikan dua orang pria yang datang sambil membawa masing-masing sebilah pedang. Ada percakapan yang terdengar cukup sengit di antara mereka bertiga. Sandra mempertahankan diri dengan mengeluarkan sebuah cundrik[2] dari balik stagen[3] yang melilit pinggangnya. Satu wanita melawan dua orang pria. Sebuah pertarungan yang tidak adil.
Keheningan ini, membuat Arman menonton dengan kusyuk, mengamati setiap adegan dengan seksama. Mata maupun perhatiannya tak tergoda oleh apapun di sekitarnya, bahkan oleh kedatangan seorang pria yang duduk di belakangnya. Tak sedikitpun dia menoleh.
Pria itu datang saat adegan terakhir hampir selesai. Sepuluh menit kemudian, sebuah tepukan mengisyaratkan berakhirnya pertunjukkan. Panggung gelap, lampu utama penonton mulai menyala. Lalu orang-orang memberikan standing ovation[4] dengan semangat, pertanda puas dengan sajian yang ditampilkan barusan. Panggung kembali menyala, namun kali ini kosong. Pembawa acara masuk dan mengucapkan terima kasih atas sambutan para penonton. Dia mulai memperkenalkan satu-persatu para pemainnya. Arman kembali duduk, sama seperti yang lain. Dari atas panggung, Sandra menyisir bangku penonton dan menemukan Arman di sana. Tangannya melambai menyapanya, namun dia kemudian terhenyak dengan penemuan lainnya.
Acara benar-benar berakhir. Para penonton mulai meninggalkan bangku dan berjalan keluar ruangan. Arman tak langsung meninggalkan gedung. Dia mencari Sandra di ruang ganti pemain untuk memberikan pujian dan buket bunga yang dia bawa. Beberapa penonton rupanya juga berlaku demikian. Mereka juga mengajak pemain untuk berfoto bersama.
“Permisi!” kata Arman saat melewati rombongan gadis yang berdiri menghalangi jalannya.
Sandra sedang terlihat menelepon seseorang ketika Arman berjalan mendekatinya.
“Aku telepon lagi nanti. Bye!” katanya, lalu mengakhiri pembicaraan. “Hai Chef!” sapanya pada Arman.
“Hai!” balasnya, lalu menyerahkan buket bunga krisan putih itu pada Sandra. “Selamat ya! Penampilan kamu keren,” ucapnya.
“Terima kasih, Chef,” kata Sandra.
“Ini pengalaman pertamaku melihat pertunjukkan drama seperti itu,” ujarnya.
“Aku harap Chef tidak kecewa. Kadang pertunjukkan teater bisa sangat membosankan.”
“Hmm. Teater? Kamu sebut itu teater? Dan bukan drama?”
“Seni peran memiliki beberapa bentuk, Chef.”
“Well, kalau begitu bagaimana kalau kamu menceritakan hal itu padaku sambil makan malam?”