“Kamu sudah selesai membersihkan semuanya?” tanya Ayah Jendra.
Kata-kata ayahnya itu menggema di dalam pikirannya. Perjalanan malam ini sarat dengan kenangan. Tak terasa dia tertidur di ruang tunggu karena lelah yang sangat. Panggilan untuk penumpang pun diperdengarkan. Jendra menyadari itu panggilan untuknya. Dia lalu menggendong tas ranselnya dan berjalan menuju petugas pemeriksa. Dia lalu menyerahkan tiketnya.
“Silakan naik lewat pintu belakang!” kata petugas itu.
Mengikuti langkah penumpang lain, Jendra melewati lorong yang membawanya masuk ke dalam kabin pesawat. Jendra memastikan nomor tempat duduknya lalu mencari-cari.
Seorang wanita tua tengah duduk di kursi tempat dia seharusnya duduk. Dengan sopan dia pun meminta wanita itu untuk pindah. Kini setiap penumpang telah duduk di kursi masing-masing. Namun kemudian datang seorang wanita dengan terburu-buru, masuk ke dalam kabin dan segera duduk di kursinya.
Dua orang pramugari dan seorang pramugara telah siap dalam posisi untuk mendemonstrasikan tata cara keselamatan penerbangan. Jendra tidak memperhatikan mereka. Justru yang menarik baginya sekarang adalah penumpang perempuan terakhir yang masuk kabin pesawat dengan terburu-buru. Sempat selama beberapa saat dia mengamati perempuan yang tengah sibuk sendiri dengan barang bawaannya itu. Jendra merasa sangat familiar dengan wajahnya. Namun observasinya hanya sesaat, karena pria di sebelah perempuan itu menghalangi pandangannya. Dan sebuah guncangan pun membuatnya tersadar dan kembali pada dirinya sendiri.
Pesawat yang ditumpangi Jendra malam ini seolah mengantar ke hari-hari dimana ayahnya mengajarkan semua keahlian memasak yang dia miliki kepada dirinya. Watak ayahnya yang keras menjadi alat untuk menempa mental. Keahlian yang dia miliki menjadi sumur pengetahuan baginya tentang dunia memasak profesional.
“Kemarilah!” suruh ayahnya.
Ingatan Jendra kembali lagi pada saat ayahnya mengajari tentang membuat sup. Masakan yang sederhana namun membutuhkan kecermatan. Terkesan hanya makanan yang didominasi dengan kuah saja, tapi jika dimasak dengan benar, bisa menjadi makanan yang mengundang selera dan enak disantap dan bahkan memerikan khasiat.
Kali ini nada suara ayahnya terdengar lebih pelan. Berbeda dengan waktu service, suaranya meninggi ketika memberikan instruksi kepada para line cook-nya. Ketegasan yang dimiliki menjadi Sandrata yang ampuh untuk membuat setiap orang yang bekerja di bawah arahannya menjadi segan dan hormat. Dan sosoknya pun menurun kepada putranya.
“Kamu sudah siap untuk pelajaran resep sup pertamamu?”
“Iya, Chef!”
“Bagus! Malam ini kita akan membuat sup krim jagung. Resep yang cukup sederhana untuk pelajaran memasak pertamamu. Aku ingin melihat, apakah kamu bisa melakukannya. Sup itu terlihat mudah, tapi membutuhkan kecermatan. Kalau kamu salah menambahkan bumbu, rasanya jadi tidak seimbang. Bahkan jika takarannya salah pun, juga bisa mengubah rasa. Karena itu kamu harus memperhatikan baik-baik.”
Jendra kecil memperhatikan apa yang dilakukan ayahnya. Bumbu-bumbu disiapkan di mangkuk-mangkuk kecil di atas meja. Bumbu rempah yang disiapkan ayahnya untuk masakan kali ini hanya sedikit. Namun dalam pelajaran memasak kali ini, ayahnya ingin sekaligus memperkenalkan bumbu rempah yang sering kali dia gunakan untuk memasak. Pelajaran memasak Jendra yang pertama adalah mengenal bumbu. Sebelumnya Jendra hanya melihat ayahnya meracik dan tidak tahu apa saja nama-namanya. Di tengah-tengah tugasnya mencuci perabot, sering kali dia mencuri pandang dan dengar tentang bumbu-bumbu yang digunakan ayahnya untuk memasak. Karena itu dia mengenali beberapa yang ada di hadapannya. Tapi saat dia ketahuan, Ayah Jendra pasti memarahinya. Bukan karena dia tidak boleh belajar, tapi hal itu membuatnya tidak fokus pada apa yang sedang dikerjakannya. Ayahnya pernah memperingatkan bahwa perabotan yang tidak bersih akan merusak cita rasa.