KALA SENJA

R. R. Danasmoro
Chapter #47

BAB 46

Suasana rumah yang ditinggali Jendra dan ayahnya terlihat suram. Dokter yang memeriksa ayahnya baru saja keluar dengan ditemani seorang perawat. Dia menghampiri Jendra yang saat itu sedang duduk tertunduk di ruang tamu. Arman duduk di dekatnya sementara teman-teman sekolah berada tak jauh dari dirinya. Tetangga yang penasaran dengan kesibukan di rumahnya pun ikut datang.

“Jendra,” panggil dokter itu. “Ayahmu ingin bicara.”

Beberapa waktu yang lalu Jendra merasa sangat lemah. Hatinya runtuh dengan kenyataan bahwa ayahnya tak bertahan lama. Sakitnya makin parah dan tidak menunjukkan tanda-tanda membaik. Seusai sekolah, dia menggantikan ayahnya bekerja di restoran. Mentornya sedang sekarat saat ini, namun pelajaran belum selesai. Masih banyak hal yang belum diajarkan ayah padanya.

Tanpa bersuara, Jendra masuk ke dalam kamar dimana ayahnya sedang terbaring lemah. Ada rasa takut di dalam dirinya. Takut untuk bertemu ayahnya yang sekarat dan takut kehilangan.

“Jendra..” panggil ayahnya dengan suara yang lemah. “Bisa kamu ambilkan aku air minum?” pintanya kemudian.

Jendra mengambilkan segelas air putih. Dia kemudian mendekati ayahnya, membantunya duduk untuk minum dari gelas yang dia pegang. Hanya seteguk, dan dia minta untuk dibaringkan lagi. Jendra meletakkan kembali gelas itu ke atas meja. Dia kemudian duduk di sebelah ayahnya.

Ayahnya mengeluarkan buku dari balik selimut yang membungkusnya. Jendra heran, kapan ayahnya menyembunyikan buku itu di situ. Selama dia merawatnya, dia tidak pernah menemukan buku itu di sana. Buku itu diulurkan pada Jendra, yang kemudian dia terima dengan banyak pertanyaan di dalam hatinya.

“Simpan buku itu. Jika kamu memiliki kesempatan, kembalikan pada yang punya.”

Ayahnya kemudian terbatuk. Jendra mencoba menenangkannya. Dia tahu buku itu bukan milik ayahnya, karena ada sebuah tanda tangan dari pemilik yang sebenarnya. Chef Majid.

“Buku itu.. milik partner Chef Henry. Dulu saat kamu masih bayi, ibumu dan aku bekerja pada mereka. Ketika bertemu dengan ibumu, aku seorang tukang masak yang baru saja belajar. Ibumu adalah pelarian, dia meninggalkan rumah karena bertengkar dengan kakekmu, yaitu ayah dari ibumu. Kami bertemu di Surabaya, sebagai pelarian. Aku juga pergi meninggalkan rumah saat itu. Kami merasa saling membutuhkan, lalu hidup bersama. Dari kebersamaan kami, lalu muncullah kamu, Jendra, seorang bayi mungil yang semakin mewarnai hidup kami. Tapi kehidupan begitu keras kepada kita. Meskipun ada cinta, tapi dia tidak bisa membuat perutmu kenyang. Karena itu aku minta pada Chef Henry untuk memperbolehkan ibumu bekerja di restoran. Dia pun diterima untuk bekerja sebagai pelayan. Hanya saja kami tidak bisa bekerja di waktu yang sama. Kamu tahu kalau di tempat kita bekerja ada dua jam kerja, bahkan hingga saat ini?”

“Iya, ayah.”

“Seperti itu juga keadaan saat itu. Ayah bekerja di pagi hingga sore, sedangkan ibumu bekerja dari jam enam hingga tengah malam dan kadang dini hari. Awalnya aku tidak merasa curiga kenapa ibumu bekerja dengan jadwal yang demikian. Tapi belakangan, ayah melihat ibumu sering pulang dengan perasaan takut. Dia tidak mau kusentuh, dan kadang menangis sendiri di dalam kamar mandi.”

Mata ayah Jendra berkaca-kaca mengingat kenangan masa lalunya itu. Dia terlihat nelangsa[1]. Rasa sesal telah memenuhi hatinya. Jendra menghapus air mata yang menetes dari ujung mata ayahnya. Hampir saja dia ikut menangis, namun dia buru-buru menghalangi dengan mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya.

“Aku merasa curiga dengan kejadian yang menimpa ibumu. Lalu aku putuskan untuk menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi padanya,” Ayah Jendra terbatuk-batuk, menahan emosi yang melua di dalam hatinya.

“Sudahlah, Ayah. Itu sudah terjadi.”

Lihat selengkapnya