KALA SENJA

R. R. Danasmoro
Chapter #48

BAB 47

Padepokan Lemah Putih terasa lebih tenang dari sebelumnya. Sandra sedang melakukan meditasi terakhirnya sebelum memulai kegiatan esok pagi. Malam ini Jendra sibuk di dapur padepokan dengan dibantu Ratih. Mereka sedang memasak sesuatu. Aroma masakan terbang keluar melalui jendela, melewati kebun bunga di luar dapur dan sampai di area pendopo.

Sudah tiga jam lebih Sandra duduk bersila menghadap ke arah Barat. Ketenangan menyelimuti meditasinya malam ini. Suara-suara binatang malam menemani dirinya yang tengah masyuk, terhanyut dalam aliran energi yang mengelilingi tubuhnya. Namun rupanya, ketenangan itu terusik oleh aroma sedap masakan yang menggoda hidungnya. Pikirannya mulai tidak fokus, yang berakibat pada tubuhnya. Dia bergerak, seakan gelisah dengan sesuatu hal. Ki Sukirto yang menungguinya pun menyambuk pelan punggungnya dengan sebuah rotan. Sandra mulai kembali fokus pada kegiatannya. Sungguh tidak adil jika dia digoda dengan bau makanan, batinnya.

Jendra menyiapkan sup buatannya di atas meja dapur. Ratih menyiapkan peralatan makan dan membawanya ke pendopo untuk santap malam.

“Romo, makan malamnya sudah siap,” kata Ratih.

Ki Sukirto hanya menggangguk. Dia masih mengamati Sandra yang menjadi semakin gelisah.

“Mungkin tidak semua orang bisa tahan terhadap bau makanan,” katanya kemudian. “Selesaikan saja meditasimu. Percuma kalau pikiranmu tidak fokus karena kelaparan.”

Perkataan Ki Sukirto itu disambut dengan bahagia. Sandra segera menyelesaikan meditasinya. Jendra membawa sup panas yang baru dimasaknya. Malam ini tak hanya Sandra, Jendra dan keluarga Ki Sukirto saja yang ikut makan. Dua penampil tari 24 jam lainnya juga ikut makan malam bersama mereka.

“Kamu masak apa, J?” tanya Sandra penasaran.

“Sup ayam ginseng,” jawab Jendra. Dia menuangkan sup buatannya ke dalam mangkuk, lalu menyerahkannya pada Ki Sukirto. Sandra kecewa karena dia tidak mendapat giliran pertama.

“Biarkan yang tua terlebih dahulu. Mana sopan santunmu?” kata Jendra.

“Makananmu membuatku lupa bersopan santun,” sahut Sandra. “Masakan Jendra selalu enak kan, Ki?”

“Selalu!” jawab Ki Sukirto, yang kemudian menyuapkan sesendok sup ke mulutnya. Kedatangan Jendra membawa kebahagiaan tersendiri pada dirinya. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di padepokan ini, dia memberikan warna dalam keluarganya. Istrinya merasa memiliki sosok seorang anak laki-laki yang didambakannya. Kematian anak sulungnya membuat kehidupan istrinya kekurangan cahaya. Selama hidup, anak laki-lakinya itu sangat dekat dengan ibunya. Sebuah kecelakaan lalulintas merenggut nyawanya. Kini hanya Ratih yang mereka miliki. Kekosongan yang ada di hatinya pun akhirnya diisi oleh Jendra. Dia mengajari istri Ki Sukirto memasak, dan begitu juga sebaliknya.

Saat itu dia menginap di padepokan. Pertemuannya dengan keluarga Ki Sukirto adalah salah satu hasil pencarian akan Senja dan ibunya. Kedua orang yang dia cari itu selama ini tinggal di Padepokan Lemah Putih. Beberapa bulan Jendra tinggal bersama mereka, bersama Sandra, ibunya dan keluarga Ki Sukirto. Selama tinggal di sana, dia dan sepasang suami-istri itu saling mengajari tentang berbagai resep masakan. Dari kebersamaan itulah mereka menjadi dekat, layaknya ibu dan anak. Dan di padepokan ini, dia menemukan ibu yang dia cari dan bahkan dipertemukan dengan ibu baru.

“Setelah ini segeralah kalian tidur,” suruh Ki Sukirto pada para penampil. “Besok kita berangkat jam empat pagi.”

“Kamu ikut ke sana juga, J?” tanya Sandra, sambil menikmati sup buatan Jendra dengan sangat lahap.

Lihat selengkapnya