Jendra sedang menyuapkan sesendok sup ke mulut Sandra saat tiba-tiba mata penampil itu terbelalak. Jendra heran dengan ekspresi wajah yang tidak biasa itu. Jelas yang membuat dia seperti itu bukanlah dirinya. Apapun itu, sesuatu yang sedang berada di belakangnya membuat Sandra bereaksi demikian.
Dalam posisi duduk, tangannya masih bergerak menari, namun mata yang tadi sempat membelalak kini telah hilang. Secara bergantian dia melihat ke arah Jendra, lalu kembali ke sesuatu yang ada di belakangnya. Dengan tanda yang dikirim Sandra, dia bisa mengetahui apa yang harus dilakukannya. Jendra pun berbalik. Orang yang sangat dikenalnya sedang berjalan naik ke Pendopo, memanggul tas ransel di punggungnya.
“What is he doing here?” tanya Jendra.
“Aku pikir kamu tahu, J,” kata Sandra.
“Aku tidak tahu. Tapi apapun yang dia lakukan di sini, dia tidak boleh mengganggu dirimu.”
Senyum terkembang di bibir Sandra.
“Aku akan baik-baik saja, J.”
Arman berjalan mendekati mereka saat Jendra berpaling dan menyuapkan sendok terakhir pada Sandra. Tentu saja Arman melihat adegan itu. Timbul pertanyaan dalam dirinya tentang hal-hal yang belakangan ini terjadi pada diri Jendra. Apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran dan hati Jendra saat ini?
“Kamu tidak bilang kalau akan datang,” kata Jendra.
“Apa aku harus bilang padamu dulu?” sahut Arman.
Jendra menyuruh seseorang membawa pergi wadah kotor yang dipegangnya, lalu mengambil kursi untuk Arman.
“You dance all day long?” tanya Arman pada Sandra.
“Ya, Chef. Maaf, aku harus berganti pakaian.”
“Aku baru datang dan kamu sudah pergi?”