KALA SENJA

R. R. Danasmoro
Chapter #53

BAB 52

Kelima penari kini telah berkumpul di atas Teater Terbuka, tempat penyelenggaraan upacara penutupan Tari 24 Jam. Masih tiga puluh menit lagi sebelum acara peringatan hari tari sedunia itu ditutup. Sandra beserta keempat penari lainnya masih menari dengan diiringi tabuh-tabuhan alat musik yang dimainkan para pendukung. Seniman tari dan pemusik ikut serta meramaikan penutupan. Semua kegiatan kini berpusat di venue Teater Terbuka. Mata-mata yang masih mengantuk pun dipaksa untuk terbuka, menyaksikan detik-detik menuju akhir acara. Arman dan Jendra duduk di tempat duduk penonton bersama pengunjung lainnya. Mereka turut menjadi saksi terlaksananya tarian selama dua puluh empat jam yang dilakukan Sandra.

She will make it[1]!” kata Jendra. Sebuah senyum terkembang di bibirnya. Tanpa dia ketahui, Arman memandanginya dengan perasaan heran.

Enam puluh detik menuju akhir, pembawa acara meminta para penonton untuk count down bersama-sama. Tepat di detik ke sepuluh, mereka memulai hitung mundur dengan diiringi tabuhan dengan tempo yang semakin cepat. Di detik terakhir, mereka pun bersorak. Para penari mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada masing-masing, pertanda hormat terakhir sebagai penutup. Para penonton bertepuk tangan dan memuji kelima penari yang berhasil menari hingga akhir tanpa ada satu pun yang mundur.

“Ayo kita ke sana!” ajak Jendra.

Setiap pengunjung menyalami para penari, tak terkecuali Jendra dan Arman. Lelah jelas terlihat di masing-masing wajah penari. Sandra malah terlihat agak pucat. Menari selama dua puluh empat jam membuat Sandra amat kelelahan. Namun tekatnya sudah bulat dan kini impiannya telah tercapai. Tepat selama dua puluh empat jam dia menari tanpa henti.

“Kamu tunggui dia di sini. Aku akan berkemas sebentar, lalu kita pulang,” suruh Jendra. Kemudian dia pergi.

“Pulang ke mana?” Arman bertanya pada Sandra. Dia heran dengan maksud Jendra.

Sandra juga merasakan heran dengan Jendra. Dia terang-terangan mengatakan hal itu di depan Arman. Sempat ada rasa khawatir jika rahasia di antara dia dan Jendra akan terbuka. Jika pulang yang dia maksud adalah ke padepokan, rahasia mereka tentu akan terbongkar. Arman pasti mengetahui jika selama ini dia membantu Jendra untuk mendekati Arman dan memperoleh buku resep darinya.

“Kenapa Chef ke sini?” tanya Sandra, mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Aku ingin memastikan sesuatu.”

“Tentang apa?”

“Tentang kalian.”

Sandra terkejut. Apa yang ingin Arman ketahui?

“Jendra tidak pernah seperti ini. Setidaknya, aku tidak pernah melihat dia seperti ini. Dia tidak pernah dekat dengan perempuan sebelumnya. Dan saat bertemu denganmu, dia tampak sangat berbeda. Sejauh yang aku tahu, hanya satu orang yang dekat dengannya selama ini. Meskipun bukan sebagai kekasih.”

“Maksud, Chef?”

“Dulu kami selalu bersama. Aku, Jendra dan dia. Seorang teman perempuan yang istimewa. Aku pikir, mungkin karena kamu mirip dengan teman kami itu, dia jadi menyukaimu.”

Sandra tersenyum.

“Jadi menurut Chef, dia menyukaiku?”

“Aku melihat kalian berdansa tadi. Dan tampaknya, kamu juga menyukainya. Bukankah seperti itu?”

Sandra tertegun mendengarnya. Jelas dia tidak merasa melihat Arman di Teater Besar. Namun lampu redup di atas panggung dan gelap di bangku penonton tentu bukan situasi yang bagus untuk mengetahui siapa saja yang ada di sana. Dan lagi pula, dia tidak memperhatikan hal semacam itu. Dia hanya berkonsentrasi pada dirinya sendiri.

“Kamu begitu mirip dengannya, Sandra.”

“Dengan siapa?”

“Teman masa kecil kami. Kamu bahkan sangat mirip dengan dia. Aku tidak yakin dengan apa yang aku rasa dan pikirkan. Tapi aku merasa kamu seperti dia.”

Lihat selengkapnya