“Ibu Rukmini,” panggil Jendra. Mata ibu itu terlihat sangat redup. Cahaya yang biasanya terpancar cerah kini sedikit demi sedikit mulai memudar. Sakit yang dideritanya telah merusak semangat dan hidupnya. “Ibu memanggilku?”
Ruang kamar yang tak seberapa luas itu menjadi tempat terakhir bagi Ibu Rukmini. Beberapa bulan terakhir sakitnya semakin parah. Kanker paru-paru yang sudah lama dideritanya kini mengalahkannya hingga dia tak mampu bangkit lagi. Jendra duduk di samping perempuan bernama Rukmini itu. mereka hanya berdua. Sandra sedang keluar berbelanja. Pagi hari ini terlihat cerah di luar, namun tidak di ruang kamar itu.
“Ibu memohon maaf padamu, Nak,” kata perempuan yang sudah sekarat itu. “Aku sudah sangat menyakitimu.”
“Ibu, itu sudah terjadi. Tidak perlu dipikirkan lagi,” ujar Jendra, mencoba menenangkan.
Jendra memahami beban yang diderita perempuan yang ternyata adalah ibu kandungnya itu.
Tujuh bulan yang lalu dia mengungkapkan keinginannya untuk menikahi Sandra pada Ibu Rukmini. Dia memohon restu dan berharap bisa menjaga mereka berdua. Ibu Rukmini terkejut kala itu. bukan ekspresi bahagia yang kemudian muncul mengikuti keterkejutan itu, melainkan perasaan sedih dan bersalah karena selama ini dia tidak menceritakan hal yang sebenarnya pada Jendra dan Sandra. Ada rahasia yang masih disembunyikannya yang saat itu menuntut untuk segera diungkapkan.
“Kamu tidak bisa menikahi Senja,” ucap Ibu Rukmini, menanggapi niatan Jendra. “Dia saudarimu, Nak.”
Seakan tersambar petir di siang bolong. Saat mendengar tanggapan itu, Jendra merasa hidupnya hancur dan tak ada semangat. Ada perasaan marah, karena mengetahui bahwa Ibu Rukmini adalah ibu kandungnya. Sosok yang selama ini dia benci karena pergi meninggalkanya. Meskipun ayahnya menceritakan kebaikan ibunya, tetap saja kepergian perempuan yang telah melahirkannya itu menjadi alasan kenapa dia begitu benci padanya.
“Anda.. ibuku?” tanyanya kala itu, tak percaya.