"Pa, nanggung banget pindah sekarang, sumpah!" Byantara menghempas bokongnya di sofa single dihadapan Damar. "Setahun lagi aku selesai SMA. Setelah itu terserah, mau pindah kemanapun ayo aja. Tapi jangan sekarang. Temen-temenku di sini semua."
"Nanti kamu bakal ketemu teman baru juga, kan, di sana." Damar menanggapi kekesalan anaknya dengan santai. Ia melanjutkan membaca berita online melalui iPadnya.
"Tapi gak gampang, Pa. Harus penyesuaian, adaptasi, belum lagi kebiasaan anak sana yang beda dengan anak-anak di sini."
"Kebiasaan mana yang beda? Sama-sama makan nasi, sama-sama minum air, sama-sama suka yang cantik," Damar terkekeh saat menyebut kalimat terakhirnya.
"Atau, kamu diam-diam udah punya pacar, jadinya gak mau LDR an?" Damar menatap serius putra sulungnya.
"Apaan sih, Pa? Pacaran aja gak pernah!" ketusnya pelan.
"Bagus kalau begitu, gak usah pacar-pacaran. Ada yang cocok, langsung aja ajak nikah," Damar kembali tertawa melihat wajah sang anak yang mendadak masam.
Sejak kelas empat Sekolah Dasar ia sudah menetap di kota ini. Kala itu dia tak masalah dibawa pindah orang tuanya kemana pun. Hanya saja di awal-awal masuk sekolah, Byantara selalu mengeluh tak punya teman, karena bahasa menjadi kendala komunikasi mereka. Walau di dalam kelas proses belajar mengajar menggunakan bahasa Indonesia, tapi di luar kelas mereka menggunakan bahasa daerah yang Byan tak mengerti artinya.
Namun ia kini sudah nyaman dengan kota ini, dengan situasinya, bahasanya, orang-orangnya. Rasanya berat untuk pindah dan kemudian harus beradaptasi kembali di tempat baru.
"Mumpung pengunduran diri papa udah disetujui dan ini tahun ajaran baru, pas banget kan, untuk memulai hidup yang serba baru?" Damar mendengar sulungnya itu menghela nafas berat. "Kerjaan papa di sini udah selesai. Saatnya mengabdi pada perusahaan keluarga kita. Kasihan Aunty Dee, udah capek, mau resign katanya. Kamu juga belajar yang bener, biar nanti bisa gantiin papa."
Byantara memejamkan matanya, meresapi kalimat yang diucapkan sang papa. Ia paham, telah lama Danisha, tantenya, meminta Papanya untuk mengambil alih kepemimpinan perusahaan keluarganya yang bergerak dibidang ekspor impor mebel dan furniture itu. Namun baru sekarang dapat terealisasi.
Byantara yakin, sekuat apapun keinginannya untuk tetap tinggal di kota ini, itu tak akan berhasil, apalagi bila sampai harus berdebat dengan sang mama. Pasrah, adalah jalan terbaik.
---
"Kenapa di sekolah ini sih, Buk? Gak ada temenku yang mendaftar SMA di sini. Mana jauh lagi dari rumah," Aysha sekali lagi mengajukan keberatan pada sang ibu.
"Ini kan sekolah bagus. Ibu, Aunty Shafa dan Aunty Dee, dulu kami bertiga sekolah di sini, ketemunya di sini. Fasilitasnya lengkap, ekskulnya banyak. Ibu yakin, kamu bakal betah dan bakal tambah pinter sekolah di sini."
Aysha mendengus mendengar jawaban Ara. Ia padahal sudah sepakat dengan teman-teman SMP nya untuk mendaftar di sekolah yang sama, agar bisa melanjutkan persahabatan mereka. Namun apa daya, sang ibu malah mendaftarkannya di SMA Tunas Bangsa milik keluarga Shafa, sahabat sang ibu.
Ara mengetuk pintu ruang kantor kepala sekolah yang setengahnya merupakan kaca gelap tembus pandang. Dari luar tampak Shafa menoleh ke arah pintu dan melambaikan tangannya meminta Ara masuk. Ara merangkul lengan Aysha untuk ikut masuk dengannya.
"Hai, Ra, hai, Sayang. Kenapa cemberut, nih, anak gadis aunty?" Shafa menyambut kedatangan Ara dan Aysha dengan saling mencium pipi keduanya bergantian.
"Masih ngambek, merasa kejauhan kalau sekolah di sini," Ara tertawa pelan sambil menoleh ke arah Aysha.
"Maaf ya Aunty, Aysha seneng kok ama sekolahnya, hanya saja karena jauh, teman Aysha gak ada yang daftar sampai ke sini. Jadinya nanti Aysha gak punya temen deh."
Shafa tertawa mendengar jawaban Aysha, ia menyilahkan tamunya untuk duduk di sofa agar dapat mengobrol lebih santai.
"Aunty paham banget tuh, soal cari temen baru. Gampang-gampang susah. Tapi, 'kan kamu anaknya supel, gampang disukai juga, in sha Allah gak akan ada masalah," senyum Shafa pada Aysha.
"Oh iya Fa, gue numpang ngisi daya ponsel bentar dong, Fa, sambil kita ngobrol," Ara mengeluarkan ponselnya kemudian diserahkannya pada Aysha. "Lu ada charger nya kan, Fa?"
"Ada tuh, di bawah meja, Ay. Yang kabel putih paling atas, untuk iPhone."
Aysha beranjak menuju meja kerja Shafa, untuk mengisi daya ponsel Ibunya itu. Ia harus berjongkok, karena ternyata, kabel berwarna putihnya ada dua,
"Jadi, mereka daftar disini juga?" Ara bertanya pelan pada Shafa.
Shafa mengangguk sekali. "Hari ini juga mau ke sini antar berkas. Baru otewe sih, tadi emaknya nelpon."
Ara mengguman pelan. "Terus, Bang Farraz jadi datang, Fa?"
"Jadi, lusa in sha Allah. Personil lengkap ama anak bini nya, mereka mau sekalian lanjut liburan keluarga ke Bali, kalau gak salah. Mumpung belum mulai sekolah."