“Beberapa orang datang untuk tinggal, tapi sebagian hanya mampir untuk membuat luka dan pergi.”
Langit di atas sekolah seperti biasa, biru pucat dengan awan tipis-tipis yang seakan melayang malas. Tapi hatiku tak secerah itu. Hari ini, entah kenapa, aku merasa gugup sejak bangun tidur. Bukan karena ulangan. Bukan karena presentasi. Tapi karena… kabarnya dia akan datang.
Dan seperti takdir yang gemar bercanda, dia benar-benar datang.
Reyhan Aryaputra. Mantanku.
Dia berjalan masuk ke ruang OSIS, tempat rapat panitia acara perpisahan akan dimulai. Suasana ruangan mendadak sunyi. Mungkin hanya perasaanku, atau mungkin memang semua orang juga sadar kalau ini kali pertama aku dan dia berada di ruangan yang sama… setelah itu.
Aku pura-pura fokus membuka buku catatan, padahal detak jantungku membentur dadaku seperti peluru.
Dia tidak menyapaku. Aku juga tidak menyapanya. Tapi satu lirikan matanya—sekilas saja—cukup untuk membuatku mengingat semuanya. Terlalu banyak yang pernah kami bagi: tawa, rindu, bahkan tangis.
Dan sekarang? Kami duduk berhadapan, dipisahkan oleh meja dan tumpukan formalitas.
“Jadi, bagian dekorasi nanti akan dikoordinasikan oleh Keyra dan Reyhan ya,” kata Kak Hani, ketua panitia, tanpa sadar melempar bom waktu ke antara kami.
Aku menoleh pelan, dan dia juga menoleh. Tatapan kami bertemu, lalu sama-sama buru-buru menghindar.
Aku tersenyum kecil. Palsu. Terkendali. “Siap, Kak,” ucapku.
Dia hanya mengangguk.