Lalu lintas yang tengah dihalang lampu merah masih penuh dan berhimpit-himpit serupa biasanya. Nanti ketika lampu hijau mengambil alih, berupa-rupa kendaraan itu saling berlomba melaju paling cepat, paling depan, dan paling nyaring suara klaksonnya.
Sebuah mobil berwarna hitam turut melaju di tengah-tengah. Seratus meter berselang, lajunya memelan, lalu berbelok ke arah kanan, lalu kiri, lalu kanan, lalu kanan lagi, lalu berhenti. Mobil itu berhenti persis di depan sebuah pagar aluminium berwarna kuning pudar sebelum seorang perempuan bernama Lana keluar dari sana.
Pandangan Lana langsung tertuju pada gembok yang mengikat kedua ujung rantai motor bekas yang merapatkan pagar berwarna kuning tersebut. Seingatnya, dulu tidak pernah ada benda itu di sana. Pagar itu tidak pernah digembok. Kalau sekarang sudah digembok, maka jangan bilang kalau bangunan di dalam sana memang tidak lagi dihuni atau bahkan telah diratakan dengan tanah?
Lana menggeleng. "Enggak, enggak."
Ia lekas mendekat, lalu menggedor-gedor, bahkan sempat berusaha melepas paksa gembok di pagar itu saking menggebu-gebunya.
"Permisi!" Lana kembali menggedor sambil menarik-narik gembok itu dengan paksa. Ketika ia hampir berteriak lagi, tiba-tiba terdengar suara motor yang berhenti tidak jauh dari posisinya, persis di belakangnya.
Lana langsung berbalik dan mendapati remaja laki-laki berseragam putih-abu tidak beraturan tengah berjalan ke arahnya. Laki-laki itu memperbaiki posisi topinya yang bukan topi sekolahan, lagi dipasang terbalik ke belakang. Napasnya berdesakan. Selain keringat, di sisi wajahnya juga tampak beberapa lebam dan luka berdarah. Paling parah, ia punya senjata tajam yang tidak sengaja mengintip keluar dari balik saku celananya dan itu secara mutlak membuat Lana merasa terancam hingga kakinya refleks mundur selangkah.
"Lagi cari siapa?" tanya laki-laki itu.
Dengan raut waspada, Lana melangkah mundur sekali lagi. "Bukan urusan kamu."
"Hah?" Lalu dengan anggukan santai, laki-laki itu tetap berdiri di sana sembari memandangi Lana, seolah ia tidak akan pergi padahal mereka tidak punya urusan.
Lana menelan ludahnya susah payah sembari berkata, "Bisa tolong pergi?"
Mereka berakhir saling pandang.
"Nggak bisa," balas laki-laki itu. Sembari menunjuk ke arah pagar aluminium, ia lanjut berkata, "Kan saya tinggal di sini."
Lana segera menautkan alisnya, tidak percaya. "Kamu tinggal di sini?"
"Iya," balas laki-laki itu. "Saya abangnya Intan, kok."
"Intan?"
"Iya, Intan. Kamu lagi cari Intan, 'kan?"
"Enggak. Saya nggak kenal."
"Oh, ya?" Laki-laki itu menatap Lana bingung "Kamu bukan temennya Intan?"
"Bukan."
"Serius bukan?"
"Bukan."
Laki-laki itu berakhir mengangguk-angguk, ber-oh juga sedikit. "Kirain kamu temennya Intan."
Lana tidak membalas. Ia masih betah menatap laki-laki di hadapannya dengan gelagat waspada yang tidak surut.
"Terus kamu ini temennya siapa?" Laki-laki itu memandangi Lana dari atas hingga bawah, sebelum berpindah pada mobil Lana yang diparkirkan persis di belakang motornya. Mobil mahal, bisa jadi seharga ginjal tambah jantung. "Nggak mungkin kamu temen saya."
"Kita nggak kenal."
"Bener juga." Laki-laki itu tersenyum kali ini, mendekat ke arah Lana sembari menyodorkan tangan. "Saya Cakra."
Namun Lana tidak kunjung menyahut, tidak juga menerima uluran tangannya. Mendapati keraguan itu, maka Cakra berbalik ke motornya, kemudian menarik kunci motor yang sepaket dengan anak-anak kunci lain yang ia tinggalkan di sana.
Setelahnya, ia kembali ke hadapan pagar dan mengaitkan salah satu dari anak-anak kunci tersebut pada gemboknya. Begitu terbuka, ia melirik Lana. "Kunci gemboknya satu geng sama kunci motor saya. Liat, 'kan?"
Namun Lana tetap tidak merespons.