Kalau Takdir Kita yang Tulis

aydife
Chapter #2

2

Sewaktu kecil, Lana tidak paham kalau ia terlahir dari keluarga kaya raya. Ia tumbuh, berbaur, dan hanya berseliweran di lingkungan yang seluruh orang-orangnya punya kehidupan serupa sepertinya.

Ia kira, semua orang─terkhusus anak-anak sepantarannya memang punya kehidupan seperti itu: bersekolah di sekolah terbaik, segala kebutuhannya terfasilitasi, dan didampingi masing-masing asisten serta sopir pribadi.

Lana tidak paham kalau hanya orang-orang dengan golongan strata sosial tertentu saja yang selalu mampu bepergian ke luar negeri, ke tempat-tempat mahal, lalu membeli barang, makanan, atau apa pun yang ia suka tanpa khawatir tidak bisa makan tiga hari. Lana tidak paham itu semua, setidaknya sampai usianya menginjak tujuh dan ia bertemu Naya.

Waktu itu dalam perjalanan sepulang sekolah, matanya tidak sengaja menyorot pada mobil odong-odong yang memuat banyak anak-anak di atasnya. Ia dilanda rasa penasaran hingga lekas minta berhenti dan merengek ingin dinaikkan ke sana.

Sang oma yang menyayanginya setengah mati sempat tidak mengizinkan, tetapi karena Lana terus-menerus merengek dan tidak mau dibuat mengerti, akhirnya ia diberi izin. Ia dinaikkan ke mobil odong-odong itu dan di sanalah ia bertemu Naya.

Naya, anak perempuan dengan seragam merah putih biasa─tanpa rompi dan dasi khusus seperti milik Lana─itu ia dapati mengenakan sepatu penuh noda, tanda habis menjejak pada tanah yang basah.

Dengan polos, Lana lekas menegur, "Sepatu kamu kenapa kotor banget?"

"Oh iya." Naya tertawa kecil, berpikir jika tindakan itu bisa menutupi perasaan malunya. "Ini kena becek setiap lewat di gang."

"Terus kenapa nggak dicuci?"

"Karena sekarang lagi musim hujan. Kalau dicuci, takutnya nggak kering. Sepatuku cuma ini, jadi kalau basah, aku nggak punya sepatu lain yang bisa dipakai."

Lana tampak bingung. Jalan pikirannya tidak bisa memahami alasan Naya. "Kalau begitu sepatu kamu ditambah lagi aja. Tinggal datang ke toko dan ambil berapa pun sepatu yang kamu mau."

"Memangnya boleh langsung ambil?"

"Iya, boleh. Aku biasanya begitu."

"Kok aku enggak?" Naya memasang tampang murung yang bertanya-tanya. "Kalau habis ambil sepatu, pasti dimintai uang. Kalau nggak ada uangnya, sepatunya juga nggak boleh diambil. Kalau diambil padahal nggak ada uangnya, berarti namanya mencuri. Kata bapak mencuri itu dosa."

"Masa?" Lana terikut bingung, membingungkan hal yang berbeda dengan Naya. "Uang itu apa memangnya?"

"Kamu nggak tahu uang?" tanya Naya, terkejut. Ia bahkan memandangi Lana dari atas hingga bawah seolah bertanya-tanya bagaimana anak itu bisa punya barang-barang bagus sementara ia bahkan tidak tahu uang itu apa. "Kalau mau beli sesuatu, kita mesti bayar pakai uang. Aku mau beli sepatu, tapi belum punya uangnya. Kata bapak, sepatu mahal. Satu harga sepatu bisa buat makan tiga hari. Jadi, kalau beli sepatu dulu, berarti kita harus tahan lapar juga tiga hari."

Lana hanya mengangguk paham. Sepulangnya dari sana, ia lekas mendatangi bundanya yang tengah terbaring di atas kasur untuk ditanyai, "Bunda, kita punya uang?"

Lihat selengkapnya